Chapter 6. Back to the Hell

11 2 2
                                        

Jaegar tiba bersama Nicholas di sebuah kos-kosan. Keduanya berjalan menuju kamar nomor 8, tempat dimana Aerish dan Nicholas tinggal selama ini. Saat masuk, mata Jaegar langsung disuguhkan dengan ruang tamu sempit yang merangkap jadi kamar Nicholas saat ini.

"Kak Sera udah tidur paling di kamar," ujar Nicholas. "Lo sih ngajakin gue ngobrol, Bang. Jadi lama kan gue di jalan," imbuhnya menyalahkan Jaegar.

"Sempit amat," gumam tuan muda Asher itu.

"Iya, emang, Bang. Maaf ya."

Jaegar langsung klarifikasi, "eh gak gitu, cok. Ngapa lu minta maaf dah. Gue yang harusnya minta maaf, mulut gue agak sampah emang," ucapnya.

"Nah itu sadar." Nicholas puas walau mendapat pukulan kecil dari Jaegar. "Lu asik tau, Bang. Dari dulu gue pengen banget punya kakak cowok, atau minimal Kak Sera tuh jadi adek aja lah, biar gue yang jadi kakak. Gue ngerasa gak enak banget lihat Kak Sera kerja banting tulang untuk biaya sekolah gue. Gue aslinya pengen kerja, tapi Kak Sera selalu marah. Gue disuruh fokus sekolah, kalau bisa sampe kuliah."

Mendengar keluh kesah Nicholas, membuat hati Jaegar sedikit tersadarkan bahwa Aerish memang bukanlah gadis biasa.

"Emang bapak lu kemana?" tanya Jaegar kemudian.

"Gak tau. Dari kecil gue udah diurus sama Kak Sera. Kalo gue tanya, Kak Sera juga bilang gak usah nanyain yang gak ada, gitu katanya."

"Lo ngomong sama siapa, Nic?" Suara Aerish terdengar dari dalam kamar.

"Ini nih, sama mantan bos lo yang songong itu," sahut Nicholas membuat kepalanya menjadi sasaran empuk bagi Jaegar, lagi dan lagi.

Mereka berdua melihat ke arah pintu kamar saat tubuh Aerish keluar dari sana. Terlihat menahan sakit di kaki, Aerish berjalan agak susah. Matanya bertemu dengan mata tajam milik Jaegar yang kini penuh frustasi.

"Aerish..." Jaegar tiba-tiba bisu. Kalimat-kalimat yang terangkai dengan baik di kepalanya tadi, kini lenyap begitu saja saat melihat wajah teduh milik Aerish.

"Obat merahnya mana?" Aerish mengalihkan pandangan ke arah Nicholas. Bocah enam belas tahun itu segera memberikan bungkusan kresek putih pada kakak perempuannya.

"Kak, ini nih ada mantan bos lo. Mau didiemin aja?" tanya Nicholas.

"Iya, terus mau apa? Lo yang ngajak dia ke sini 'kan? Ya udah, ajak ngobrol sana." Aerish hendak bangkit masuk kembali ke kamar untuk mengobati luka di lutut dan sikunya, namun di tahan oleh Jaegar.

"Gue minta maaf, Ay."

"Dimaafin," sahutnya tanpa menoleh ke Jaegar.

"Dia emang gitu, Bang. Tenang aja, gitu-gitu kakak gue maha pemaaf," sahut Nicholas menenangkan Jaegar yang putus asa.

"Ini gue dimaafin gak?"

"Kalo dia bilang iya berarti iya. Kalo enggak ya enggak."

"Serius lu?"

"Eh gini-gini gue yang hidup bertahun-tahun sama dia, Bang. Sifat dia tuh di luar kepala, hapal betul gue," ucap Nicholas. "Udah malam, lu pulang aja. Udah dimaafin 'kan?"

"Lu ngusir gue, Cil?" Jaegar merasa diusir cepat-cepat.

"Bukan gitu, kocak. Emang lu mau tidur di tempat beginian? Kamar lu lebih nyaman kali."

"Gue nginep deh kalo boleh."

"Yakin lu bisa tidur?"

"If we never try, we never know 'kan?"

***

Benar kata bocah itu, Jaegar sulit tidur. Jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah dua pagi, namun mata Jaegar tidak mengantuk sekali pun. Beberapa saat kemudian, dia pura-pura tidur saat Aerish tiba-tiba keluar kamar.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 25 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

PLAYING WITH FIREWhere stories live. Discover now