46. HARQEEL

2.8K 98 2
                                        

Aqeela berdiri di depan kafe kecil yang dulu sering dia datengin bareng Flavio. Tangannya dingin, bukan karena cuaca, tapi karena deg-degan yang gak bisa dia sembunyiin meski udah latihan dialog puluhan kali di kepala.

Flavio udah duduk di dalam, nyender di kursi pojok dekat jendela. Sama seperti dulu, tapi juga... bukan. Ada jarak yang gak kelihatan, tapi kerasa banget.

Aqeela tarik napas, masuk, dan duduk di seberangnya.

Flavio langsung buka suara. “Thanks udah dateng.”

“Gue juga mau bilang makasih... karena lo gak ngilang,” jawab Aqeela pelan.

Mereka diam sebentar. Heningnya lebih ke canggung, beda jauh sama vibe Aqeela sama Harry. Tapi itu wajar. Ini bukan tentang cinta lagi—ini tentang menyelesaikan luka.

“Qeel...” Flavio mulai, suaranya serak. “Gue gak akan banyak alasan. Apa yang gue lakuin... nyakitin lo banget. Gue tahu itu. Dan lo gak harus maafin gue.”

Aqeela menatap Flavio, mata mereka ketemu sebentar. Lalu dia tersenyum—bukan senyum manis, tapi... lega.

“Gue udah maafin lo, Vio. Beneran.”

Flavio keliatan kaget. “Lo... yakin?”

“Yakin. Bukan karena lo minta, tapi karena gue butuh. Gue gak mau bawa luka ini terus. Gue capek jadi orang yang marah terus.”

Flavio nyandar lebih dalam ke kursi. “Gue nyesel.”

“Gue tahu. Tapi maaf gak selalu berarti kita bisa balik kayak dulu, kan?”

Flavio mengangguk. “Gue ngerti.”

Aqeela melirik keluar jendela. “Lo pernah jadi bagian hidup gue yang paling penting. Tapi sekarang... gue cuma pengen jalanin hidup tenang. Gak benci siapa pun. Gak nunggu jawaban dari masa lalu.”

Flavio tertawa kecil, pahit. “Gue terlalu lama mikir kita bisa balik, bisa ngulang. Tapi ternyata yang gue lakuin justru bikin lo makin jauh.”

“Dan sekarang gue makin tahu,” Aqeela lanjut, “bahwa gak semua orang yang kita sayang, harus jadi tujuan akhir. Kadang mereka cuma mampir, ngasih pelajaran, terus pergi.”

Flavio menunduk, nyembunyiin ekspresi yang gak bisa dia tahan. “Gue seneng denger lo ngomong gitu. Walau... sakit juga.”

Aqeela tersenyum tipis. “Sakit itu bukti kita pernah peduli.”

Flavio angkat kepalanya. “Lo bahagia sekarang?”

Aqeela terdiam sesaat, lalu jawab jujur. “Belum sepenuhnya. Tapi gue lagi menuju ke sana. Dan gue ditemenin sama seseorang yang sabar... yang gak maksa gue buat buru-buru sembuh.”

Flavio ngangguk lagi. “Gue seneng denger itu.”

“Gue juga harap lo bisa nemuin tenang lo sendiri, Vio. Gak usah nyari pengganti. Cari diri lo dulu.”

Mata Flavio berkaca-kaca, tapi dia tahan. “Gue bakal coba.”

Aqeela berdiri, ambil tasnya. “Gue gak akan ngilang. Tapi gue juga gak bisa balik. Kita gak harus jadi musuh. Tapi kita juga gak harus jadi temen.”

Flavio berdiri juga. “Gue ngerti.”

Mereka berdiri di hadapan satu sama lain. Dulu, mereka pelukan. Sekarang, cuma senyum kecil—yang cukup buat nutup lembaran panjang penuh luka.

“Take care, Vio.”

“Lo juga, Qeel.”

Dan dengan itu, Aqeela melangkah keluar kafe. Langit masih abu-abu, tapi hatinya jauh lebih terang.

Karena akhirnya, dia bisa bilang: dia udah selesai.

Dan Flavio? Dia akan tetap jadi bagian dari masa lalu Aqeela.

-----

Tiga hari setelah pertemuan terakhirnya dengan Flavio, Aqeela berdiri di belakang rumah Noel. Angin sore meniup pelan rambutnya yang dikuncir setengah. Di tangan kirinya ada segelas teh hangat, di tangan kanan... ada rasa lega yang belum sepenuhnya bisa dia jelaskan.

“Lo yakin mau ngomong hari ini?” suara Harry pelan dari belakang, menghampiri.

Aqeela mengangguk. “Yakin. Gue butuh mereka denger langsung dari gue, bukan dari orang lain.”

Harry ngelihat wajah Aqeela yang udah gak setegang biasanya. Matanya gak segalau kemarin-kemarin. Dan itu cukup jadi jawaban bahwa Aqeela bener-bener udah mutusin sesuatu—bukan karena dorongan emosi, tapi karena perenungan.

Beberapa jam kemudian, mereka udah duduk berempat di salah satu co-working space kecil di sudut kota. Noel mukanya bingung tapi nurut. Jolina datang terakhir, kelihatan curiga. Apalagi pas liat Aqeela duduk dengan posisi tegak dan tatapan yang serius.

“Ini bukan interogasi, kan?” canda Jolina, berusaha mecahin suasana.

Aqeela senyum dikit. “Bukan. Tapi ini tentang keputusan yang bakal gue ambil.”

Harry langsung duduk lebih tegak. Noel diem aja, tapi matanya gak lepas dari Aqeela. Dia tahu ini pasti penting banget.

Aqeela buka suara, pelan, tapi jelas. “Gue gak jadi ngebawa kasus ini ke jalur hukum.”

Suasana langsung sunyi. Kayak semua suara di luar ruangan mendadak hilang.

Noel nyengir gak percaya. “Hah?”

Jolina geleng. “Lo... serius?”

Noel masih diem, tapi rahangnya ngencang dikit. Dia tahu ini bukan keputusan impulsif, tapi tetap aja, gak mudah buat dicerna.

Aqeela narik napas. “Gue tahu, mungkin ini keliatannya bodoh. Mungkin kalian ngerasa Flavio harus tanggung jawab secara hukum, harus dapet pelajaran. Tapi... gue capek.”

Noel nunduk, tangan mengepal. “Tapi lo yang paling sakit, Qeel. Lo korban di sini.”

“Gue tahu,” jawab Aqeela pelan. “Tapi justru karena itu, gue pengen selesai dengan cara gue sendiri. Gue udah ketemu dia. Gue udah denger penyesalannya. Dan itu cukup buat gue.”

Jolina masih keliatan shock. “Qeel... lo yakin dia gak akan ngelakuin hal kayak gitu lagi ke orang lain?”

Aqeela mandang Jolina lurus-lurus. “Gak ada yang bisa jamin. Tapi yang gue tahu, saat ini... gue gak mau terus nyeret luka ini ke mana-mana. Gue pengen hidup tenang. Gue pengen fokus ke hidup gue, bukan hidup dia.”

Noel akhirnya buka suara. Suaranya tenang, tapi firm. “Gue ngerti, Qeel. Sulit, tapi gue ngerti. Selama lo tahu batas aman lo, dan lo ngelakuin ini karena lo udah sembuh... bukan karena lo nyerah.”

Aqeela senyum kecil ke Noel. “Gue gak nyerah. Gue milih.”

Harry akhirnya mengangkat kepala, masih terlihat berat nerimanya. Tapi dia juga tahu: ini bukan tentang egonya. Ini tentang perempuan yang dia sayang.

“Gue... gak suka keputusan lo,” kata Harry jujur. “Tapi gue dukung lo. Karena lo berhak milih cara buat sembuh.”

Jolina, setelah lama diam, akhirnya nyender ke kursi. “Gue butuh waktu buat nyerna. Tapi... kalau lo bahagia dan bisa tenang, gue ikut tenang.”

Aqeela ngelihat satu-satu dari mereka. Hatinya anget. Tiga orang di depannya mungkin gak sepenuhnya setuju, tapi mereka gak ninggalin dia. Mereka tetap ada. Mereka tetap peluk dia—dengan cara masing-masing.

“Gue cuma pengen hidup tenang,” ucap Aqeela pelan, tapi tegas. “Bukan buat Flavio, bukan buat siapa-siapa. Tapi buat diri gue sendiri.”

*****
akuu post ulang dari bab 44 karena anehh banget, masa bab 44 nya di atas bab 22 (WATTPAD KENAPASIII) apa cuma aku doang?

HARQEELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang