45. HARQEEL

2.1K 94 0
                                        

Angin sore nyapu lembut pipi Aqeela, bikin rambutnya yang dikuncir rendah sedikit berantakan. Mereka duduk berdua di pinggiran danau kota, tempat yang jauh dari hiruk pikuk, cuma ada suara riak air dan sesekali burung terbang rendah di langit jingga.

Harry lagi megang dua botol teh dingin. Salah satunya dia ulurin ke Aqeela. "Nih. Gak ada cokelat, gak ada bunga. Cuma teh, biar lo gak bilang gue cheesy."

Aqeela nyengir kecil sambil nerima. "Gue apresiasi usaha lo."

Mereka duduk diam beberapa saat. Nggak banyak ngomong. Tapi keheningan itu bukan yang canggung, malah... bikin nyaman. Kadang hal paling penting gak perlu dijelasin. Cukup dirasain.

"Lo sering ke sini?" tanya Aqeela pelan, sambil ngelihat danau.

Harry menggangguk pelan "Iya,"

Aqeela menoleh. "Lo selalu bisa bikin hal sederhana keliatan dalem banget."

Harry ngangkat bahu. "Karena buat gue, hal-hal yang paling sederhana tuh yang paling berarti."

Aqeela diem. Kata-kata Harry selalu berhasil nyusup masuk ke sela-sela hatinya yang biasanya dingin dan defensif. Mungkin karena Harry gak pernah maksa. Dia datang, duduk, dan nunggu Aqeela buka pintu sendiri.

"Gue seneng hari ini," gumam Aqeela akhirnya, lirih.

Harry ngelirik, senyumnya kecil. "Gue lebih dari seneng."

Aqeela ngelirik balik, dan tanpa sadar, mereka saling tatap. Pandangan itu bukan yang canggung, tapi penuh rasa.

Harry nyamperin sedikit. "Gue boleh jujur?"

"Lo emang pernah enggak?" Aqeela senyum miring.

Harry ketawa pelan. "Gue... udah suka sama lo dari lama, Qeel."

Aqeela terdiam. Udara tiba-tiba terasa padat, tapi bukan menyesakkan-lebih ke... bikin jantung deg-degan.

"Gue tahu lo masih ragu, masih takut. Dan gue gak minta lo bales sekarang. Tapi gue cuma pengen lo tahu. Rasa ini gak main-main. Bukan cuma karena lo manis atau lucu atau kuat. Tapi karena lo... lo bikin gue pengen pulang."

Aqeela gak langsung jawab. Dia liat ke air danau, sambil nahan napas.

"Lo tahu gak," katanya akhirnya, "gue pernah mikir... gak bakal ada orang yang bisa bikin gue percaya lagi."

Harry nunduk sedikit. "Dan gue bukan orang yang pengen lo percaya sekarang juga. Gue cuma pengen lo tahu... gue akan stay."

Aqeela melirik pelan. "Lo yakin mau nunggu?"

"Yakin banget," Harry jawab tanpa ragu. "Kalau lo mau jalan pelan, gue jalanin pelan. Kalau lo perlu berhenti, gue duduk bareng lo. Gue gak akan tinggalin lo sendirian di tengah jalan."

Hati Aqeela kayak ditampar pelan-pelan tapi lembut. Gimana bisa cowok ini tahu persis cara ngomong yang bikin dia gak takut lagi?

"Gue takut kecewa lagi," bisik Aqeela.

"Gue juga," jawab Harry. "Tapi rasa takut bukan alasan buat gak nyoba."

Aqeela diem, terus tiba-tiba dia nyender lagi ke pundak Harry. Lebih erat dari sebelumnya.

"Gue belum bisa bilang gue suka lo, Har. Tapi gue... seneng lo ada."

Harry senyum, pelan-pelan banget, dan matanya hangat. "Gue gak butuh jawaban sekarang. Selama lo izinin gue buat nemenin lo, itu udah cukup."

Angin berhembus lebih pelan. Matahari makin turun ke ujung barat. Langit berubah warna jadi keemasan, dan Aqeela tahu... momen ini bukan sekadar manis. Ini... berarti.

Dia gak tahu besok akan kayak apa. Tapi hari ini, dia duduk di samping seseorang yang rela sabar, yang gak minta dibalas, cuma minta kesempatan buat hadir.

Dan itu, buat Aqeela yang udah terlalu lama hidup dalam bayangan luka, lebih dari cukup buat bikin dia percaya lagi-meski pelan.

"Lo tahu gak, Har?"

"Apa?"

"Lo... terlalu baik buat orang kayak gue."

Harry ngelirik dengan wajah serius tapi masih lembut. "Dan lo terlalu keras sama diri lo sendiri. Lo lupa... lo juga punya hak buat disayang."

Aqeela menahan napas.

Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia ngerasa... dia gak harus jadi kuat terus. Dia bisa rapuh, dan tetap diterima.

"Thanks ya," katanya lirih.

Harry nggak jawab. Dia cuma naruh tangannya di atas tangan Aqeela, ngeremas pelan. Gak perlu janji-janji manis. Cukup jadi nyata, cukup jadi ada.

Dan di antara suara riak air dan langit yang perlahan gelap, Aqeela tahu...

Mungkin, dia udah nemuin jalan pulang. Bukan tempat. Tapi seseorang. Dan nama orang itu... Harry.

---

"Kadang, pulang bukan tempat. Tapi seseorang yang bikin lo ngerasa... lo cukup."

HARQEELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang