[26] Inner Child

767 126 117
                                    

“Ze…!” 

Terselip nada takut dalam suara panggilan itu. Gavin melempar begitu saja bungkus rokok beserta koreknya di meja. Zeze membalikkan setengah badannya. Sebelah tangannya masih mencengkeram pagar balkon dengan erat.

“Um?” Mata kucingnya mengerjap.

“Jangan di situ. Sini." Tangan Gavin terulur. Menarik pelan Zeze agar duduk bersamanya di sofa letter L. 

Alih-alih membiarkannya duduk sendiri, Gavin menarik Zeze untuk duduk di antara pahanya, dengan kaki mereka yang sama-sama berselonjor. Ia menyandarkan tubuh Zeze ke dadanya, lalu bersama-sama menatap langit malam yang berpadu dengan cahaya lampu kota.

“Masih sedih?” tanya Gavin dengan nada rendahnya. Sejak kepulangan Fiyu dan Haldan, Zeze tampak lebih banyak merenung. Entah apa yang dipikirkannya, tapi Gavin tidak akan membiarkan Zeze sendirian dengan perasaan-perasaan yang mengganggu seperti ini.

“Nggak, aku cuma mikir…, gimana ya Mas, seandainya kita punya anak?”

Pertanyaan itu menimbulkan jeda. Pembahasan tentang anak tentu saja memerlukan banyak pertimbangan. Terutama tentang kejelasan status hubungan mereka di mata semua orang.

“Apa yang kamu pikirkan soal anak?” tanya Gavin.

“Banyak. Banyak hal yang aku pikirkan." Zeze mendongak, menatap garis dagu Gavin. “Aku pengin punya anak sama Mas. Pasti lucu banget. Tapi, apa aku mampu ya Mas, jadi ibu yang baik? Aku pernah dikecewakan sama ekspektasiku sendiri. Aku jadi takut ngasih harapan sama anakku nanti."

“Nggak apa-apa, kamu butuh waktu dan kesiapan," ucap Gavin menenangkan sembari membelai perutnya.

“Mas mikir gitu juga nggak?”

Gavin menarik napasnya. "Banyak hal yang pasti perlu dipertimbangkan juga. Tapi maksud mempertimbangkan di sini, lebih kepada … bagaimana nanti kita bisa pindah ke komplek perumahan supaya ada tempat bermain yang luas untuk anak kita. Lalu … sekolah mana yang terbaik dan cocok untuk dia. Kemudian bagaimana nanti aku bisa membahagiakan kalian berdua, bertiga, atau bahkan berempat. Tentu banyak yang aku pikirkan, Ze. Tapi bukan dalam konteks yang menakutkan. Justru aku ingin mempersiapkan yang terbaik untuk kamu dan anak kita nanti."

Zeze mengulum senyum. “Kalau aku mau belajar dulu, boleh nggak, Mas? Aku lagi belajar jadi istri yang baik sekarang. Pasti butuh waktu untuk aku bisa jadi ibu yang baik juga," ucapnya lirih.

Alih-alih menjawab, Gavin malah mengecup jemari Zeze. Dan Zeze sudah hafal betul mana tindakan suaminya yang mengandung sebuah jawaban.

"Pelan-pelan ya, Mas,” imbuhnya meminta.

“Ze…, yang mengandung, kamu. Yang punya badan… kamu. Aku nggak akan memaksa untuk kita harus punya anak. Diri kamu yang paling penting."

Zeze tersenyum pada rasa hangat yang muncul dari semua kalimat pria itu. “Tapi Mas tenang, aku udah banyak belajar menjadi istri yang baik, kok.” Zeze terkekeh malu. “Awalnya aku searching di google, nonton seminar di YouTube, sama … di kasih banyak ilmu dari Mbak Tiara," ujarnya lugu.

Mendengar nama Tiara, Gavin mengernyit curiga. Jika dibandingkan Melky, Tiara lebih frontal. Apa yang diajarkannya?

Zeze memutar tubuhnya setengah menghadap Gavin dengan telapak tangan yang kini meraba pundak suaminya. “Pokoknya …," Zeze mulai mengecup garis rahang Gavin. “Aku … akan bikin ….” Saat Gavin menunduk, Zeze mengunci tengkuknya. "… Mas suka.”

THE NIGHT BETWEEN USTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang