Bastian terdiam sebentar melihat kelakuan anaknya. Apakah setelah bangun, dia harus bercermin dulu? Dan, dengan secepat itukah ia memejamkan mata lagi? "Raka.. kalau mau tidur, posisinya jangan begini." Bastian membantu mengubah posisi anaknya yang menyender di hardboard menjadi rebahan sempurna di atas kasur.
Raka menurut tanpa banyak bicara. "Bibirku.." guman anak itu sambil memejamkan mata.
Ivan beringsut lebih dekat, tapi tetap memberi ruang tanpa membuat Raka tidak nyaman. "Kamu, sih. Disuruh siapa makan udang?"
Raka tak menjawab.
"Jangan diulangi lagi. Itu kesalahan yang benar-benar berbahaya. Kamu punya alergi, gak lupa, kan?" Bastian menimpali.
Raka mengangguk.
Dalam hati, Bastian tahu jika Raka melakukannya bukan tanpa sebab. Dia juga tidak bisa terlalu yakin bahwa Raka sudah terlampau stres dan butuh pelampiasan dengan cara menyiksa tubuhnya sendiri.
Sial, mungkin ini karena Bastian terlalu larut dalam kesedihan atas perginya Gisel hingga anak keempatnya yang tidak bisa dibilang melakukan kesalahan sepenuhnya, merasa bersalah. Karena semua tahu, Gisel pergi berkendara waktu itu atas berkeinginan menjemput Raka.
Tapi, Bastian juga tidak bisa menyalahkan sebelah pihak. Itu adalah takdir. Bukan salah Raka. Bukan keinginan Raka.
Dahi Raka mengerut sedikit saat merasakan sebuah pergerakan terasa di dahinya. Sebuah kehangatan. Sesuatu yang sering orang-orang bilang adalah tanda sayang. "Kejadian tadi jangan terjadi lagi. Jangan buat Ayah takut."
Ternyata begini, ya, rasanya. Hangat. Nyaman. Menenangkan. Perasaan gundah gulana yang hinggap di hati seolah terbang sebebas-bebasnya.
"Selamat tidur." Hanya Ivan yang masih berada di kamar Raka. Ia mengelus rambut Raka sebentar, mencium kening sama hal seperti sang ayah sebelumnya. Terakhir, pemuda itu keluar mengikuti yang lainnya.
Kamarnya kosong sekarang. Tanpa orang, tanpa teman satupun. Hanya ada barang-barang, dan lampu yang temaram. Semua orang telah pergi, mengira jika si pemilik telah tidur. Padahal, setelah semuanya menghilang itu adalah kesempatan untuk dia membuka mata kembali.
Raka membuka matanya sebelah-mengintip sekitar sebentar, setelah itu mengerjap sempurna.
Kini, anak itu terbaring melamun dengan tatapan kosong ke langit-langit kamar. Apakah dia boleh berharap sekarang? Apakah dia boleh meminta lebih? Raka ingin menjauh. Tapi, jika terus-terusan seperti ini, hatinya seolah memaksa untuk mendekat.
Yang menjadi pertanyaan: apakah keluarganya benar-benar menyayanginya atau hanya sementara?
Namun ... coba tanyakan pada hati Raka. Apa yang lebih berharga dari harta atau keluarga? Maka dengan jujur, tanpa ditutupi gengsi, anak itu pasti akan menjawab keluarga.
Dari dulu sampai sekarang, Raka tidak benar-benar berubah. Ia masih menginginkan sebuah yang namanya keluarga, cemara, dan adil. Dari luar dia memang tampak tak peduli. Namun, jika boleh jujur dia juga ingin dipedulikan. Mengcover dengan menyebut bahwa semuanya tidak sebanding dengan permen dan uang.
Padahal ... di dalamnya Raka menginginkan sebuah keluarga.
Dia ... pembohong handal.
Apalagi dengan perubahan sikap Alandra sekarang, seolah menghalangi Raka untuk tidak menjauh.
Tapi, mengapa baru sekarang? Mengapa ketika dirinya mencoba untuk tidak peduli, keluarganya mendekat, menariknya kuat bak seutas tali?
Raka tidak tahu hidupnya untuk ke depan. Entah bertakdir bahagia atau penuh derita. Kini, Raka hanya bisa menerima. Semuanya ia serahkan pada yang maha kuasa, tak hirau akan berjalan rusak atau sempurna.

KAMU SEDANG MEMBACA
Raka Alandra (The End)
Teen Fiction"Dengan cara apa lagi agar aku bisa mendapatkan kasih sayang?" Namun... "Ya Tuhan! Terima kasih sudah mengulang masa laluku, sekarang aku tidak akan bersikap seperti dulu lagi. Aku tidak mau mati muda!