Hari Senin tidak pernah Inaya rasakan se-excited ini. Kemarin setelah melakukan kencan tak sengaja dengan muridnya, Inaya sempat berjalan-jalan menghabiskan waktu sampai sore hari bersama Tristan.
Kemarin mereka hanya mengisi waktu dengan jalan-jalan sembari beberapa kali melontarkan candaan. Tristan ternyata orangnya sangat asik diajak ngobrol.
Terlebih yang membuat dirinya nyaman, Tristan tidak pernah memanfaatkan keadaan apalagi mengancam soal foto dan video syurnya bersama pak Rahmat.
Tristan orangnya fair. Itulah yang membuat Inaya tidak berpikir panjang untuk menumpahkan seluruh cerita dan masalah yang ada di hidupnya.
"Sayang, kamu mau berangkat sekarang? Mau mas anter?" ujar Bara menawarkan diri.
Lelaki berstatus suaminya itu merasa bersalah karena kemarin terlambat menjemput Inaya, sampai-sampai istrinya itu sudah sampai di rumah terlebih dahulu.
"Gak usah, mas. Aku bisa berangkat sendiri, kok," jawab Inaya dengan nada datar.
Dia bergegas pergi ke sekolah dengan menggunakan motornya. Ia tak ingin moodnya yang sedang baik dikacaukan oleh sikap sok perhatian Bara. Diberi kesempatan berkali-kali tapi dikecewakan berkali-kali pula.
Kini setelah menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menit Inaya sampai di sekolah tempat ia bekerja. Ia lalu bergegas menuju ke meja kerjanya, dan seperti biasa ia menemui pak Rahmat.
Sejak hari Sabtu dirinya lost kontak dengan lelaki itu karena ponselnya rusak. Namun saat ia mask ke ruangan kepala sekolah, ia disambut dengan datar.
"Bapak!" sapa Inaya dengan manja. Yang disapa hanya melirik sekilas sebelum pandangannya kembali mengarahkan ke koran di hadapannya.
Inaya dapat merasakan perubahan sikap kekasih gelapnya itu. Ia pun berjalan perlahan. "Pak, Naya kangen sama bapak."
Ia memposisikan dirinya di belakang kursi pak Rahmat. Memeluk lehernya seraya mengecup pipi kekasihnya yang sudah agak mengendur.
Pak Rahmat menutup koran yang ia baca, lalu hembusan angin kasar keluar dari saluran pernafasannya.
"Kalo kamu kangen sama bapak, gak mungkin kamu gak kasih kabar sama sekali kemarin."
Pak Rahmat berdiri, meninggalkan Inaya yang masih terpaku dengan sikap dinginnya.
"Pak, kemarin hp Naya rusak. Baru beli lagi. Maaf kalo Naya lupa ngabarin. Naya pikir lebih baik ngomong langsung di sekolah biar lebih jelas, tapi sikap bapak malah kayak gini," ucap Inaya penuh dengan kekecewaan.
Pak Rahmat yang kini berada di depan jendela menoleh ke arah Inaya. Belum sempat dirinya berbicara, Inaya sudah melangkah kakinya dari tempatnya berdiri.
"Ya, sudah. Kalo bapak gak mau Naya ke sini, Naya pergi. Maaf udah ganggu waktu bapak. Permisi." Inaya berjalan melewati pria paruh baya itu.
Namun ketika posisinya masih berada pada jangkauan pak Rahmat, tangannya tiba-tiba saja ditarik. Inaya yang tidak siap terhuyung ke arah pak Rahmat.
Dengan sekali gerakan, pak Rahmat langsung mencium bibir Inaya. "Mmmhhh..." Sesaat Inaya bingung dengan situasi yang ia alami. Tapi merasa pak Rahmat menciumnya dengan begitu dalam membuatnya luluh.
Ia pun membalas ciuman itu dengan penuh nafsu. Ciuman yang sarat akan kerinduan meskipun mereka hanya tidak bertemu dua hari, tetapi mereka seperti tidak bertemu selama bertahun-tahun.
"Mmmhhh...ssscccppp...sssppp..." Begitu menikmatinya, Inaya mengalungkan tangannya di leher pak Rahmat.
Lidah mereka menari-nari di rongga mulut Inaya. Ciuman berakhir ketika mereka sama-sama kekurangan oksigen. Pandangan mereka saling bertemu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Lendir Di Sekolah
RomanceInaya, seorang guru muda yang baru saja menikah, bertemu kembali dengan pak Rahmat, ayah dari teman masa kecilnya dulu yang pernah merawatnya juga. Pak Rahmat datang menjabat sebagai kepala sekolah di tempat Inaya mengajar. Kedekatan yang dulu perna...