Bab 31

31.7K 3.8K 536
                                        

Pulang-pulang dengan keadaan basah kuyup karena kehujanan, esoknya Raka terkena flu. Namun, anak itu tak keluar kamar barang selangkah pun. Ia hanya bisa terbaring dengan syal di lehernya.

Hacih!

Raka mengusap pelan hidung merahnya. Kena flu memang tidak enak, Raka benar-benar tidak menyukainya.

Apalagi sekarang dia sendirian. Tidak ada yang menemani. Ah, jika sang bunda masih ada pasti wanita itu akan yang jadi paling pertama memberinya obat seperti saat dia demam kala itu.

Tok tok tok!

Pintu diketuk. Raka melirik sebentar, enggan sekali beranjak hanya untuk membukanya.

Memangnya siapa yang mengetuk pintu? Dari beberapa hari ini, tidak ada yang memasuki kamarnya lagi karena tidak diizinkan oleh si pemilik. Meskipun hanya Ivan yang mencoba masuk.

Raka sedikit bergumam ketika ketukan pintu tak kunjung berhenti. Ia pun turun dari ranjang dan membukakan pintu untuk mengetahui maksud dari pengetuk itu.

Cukup kaget saat melihat Kay berdiri di depan kamarnya. Ada apa adiknya itu ke sini?

Kay menatap Kakaknya. Tak ada senyuman di wajahnya, hanya ada ekspresi yang sulit diartikan. "Ayo makan. Disuruh ayah." Oh.. Kay ke sini karena disuruh Bastian.

"Kay marah?" Kay yang hendak melangkah pergi langsung berhenti mendengar pertanyaan dari Raka.

Ia berbalik, menatap sang Kakak yang juga tengah menatapnya. Dirinya memang tidak menyalahkan Raka, namun hatinya masih tak terima atas kepergian sang ibunda. Karena di antara lainnya, hanya ia yang begitu dekat dengan Gisel. Mencoba melepaskan itu bukanlah hal mudah bagi Kay.

"Iya, aku marah," jawabnya, lalu dengan singkat tertawa sumbang. "Tapi gak tau harus sama siapa."

Raka terdiam. Ia terus mengamati ekspresi wajah adiknya. Ah, perasaan bersalah ini muncul lagi. Jauh lebih dalam, lebih naik ke atas permukaan.

Raka sudah sadar, jikalau Gisel dan Kay amat begitu dekat. Karena hanya sang ibunda tempat Kay mengeluh ketika kambuh dan dirawat di rumah sakit. Hubungan mereka begitu erat. Wajar saja Kay yang paling merasa kehilangan di antara lainnya.

Kay sedikit mendongak sebentar. "Coba aja aku bisa ngulang waktu, aku bakal bilang sama Kakak untuk jangan minta apapun sama bunda. Terus, aku bakal larang bunda buat jemput Kakak waktu itu."

Tidakkah Kay sadar setelah dia mengatakan itu perasaan Raka tambah hancur? Ini benar-benar menyakitkan. Raka tidak tahu harus melakukan apa, yang ia lakukan hanya bisa membatu.

Kay menghela napas. "Hah.. aku gak nyalahin Kakak. Kakak jangan ngerasa bersalah," ujarnya. "Ayo kita makan."

•••

Nyatanya, Raka tidak bisa untuk tidak merasa bersalah. Bahkan, perkataan adiknya beberapa menit lalu semakin membuatnya merasa bersalah.

Raka duduk di kursi makan sambil melamun. Jaraknya dengan keluarganya terlihat cukup jauh. Raka yang memilih untuk duduk agak jauhan dari yang lainnya. Waktu Ivan mencoba bertanya pun total diabaikan oleh si empu.

"Raka, makan." suara bariton itu membuat Raka sedikit mengerjap pelan.

Athan, yang sudah jengah melihat adik ketiganya itu sedari tadi melamun tanpa menyentuh makanannya sedikitpun pun akhirnya mengeluarkan suara—menyuruh anak itu untuk segera menyuapkan sesendok nasi, meskipun sedikit.

Semua juga merasa kalau Raka harus segera makan, melihat kondisinya yang kurang sehat.

"Kamu juga harus minum obat, Raka, agar flu-nya mereda," Bastian menyahut tiba-tiba.

Raka Alandra (The End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang