Bab 30

30.3K 3.7K 379
                                        

Ah udahlah, baca aja. ༎ຶ⁠‿⁠༎ຶ

Tidak ada yang tahu takdir akan berjalan seperti apa. Kadang menyenangkan, kadang menyedihkan. Semua adalah kehendak Tuhan. Makhluk-makhluk hidup pun tidak dapat menghentikan, baik atau buruknya takdir baginya.

Tuhan sepertinya sangat senang mempermainkan hidup Raka. Padahal baru saja kemarin dirinya dan sang ibunda tertawa bersama. Baru saja Raka bangga ketika dipuji sang bunda, baru saja ia meminta sesuatu padanya. Namun balik lagi, takdir tidak dapat diprediksi maupun disangkal.

Bundanya pergi. Pergi selamanya.

Ruangan itu terasa sangat jauh dilihat dari depan dengan pintu terbuka, padahal jaraknya hanya beberapa langkah, tapi seolah berada di antara jarak beberapa meter. Berpijaknya Raka di sana sekarang hanya untuk menyaksikan suster memegang kain putih, dan menutup wajah pucat seorang wanita yang telah melahirkannya ke dunia.

Tidak bisa melakukan apa-apa. Kini hanya air mata yang bekerja. Pedihnya rasa kehilangan lebih buruk dari sekadar luka menganga akibat serpihan kaca. Hatinya yang baru saja menghangat kemarin, tak menyangka bahwa sekarang akan kembali kosong menghampa.

Meskipun dirinya dan sang ibunda tak banyak melakukan hal-hal indah lainnya. Namun, seorang anak akan tetap merasa sakit mengetahui kabar jikalau ibunya telah pergi—meninggalkannya.

Ketika ranjang itu dikeluarkan dan akan dipindahkan ke ruang jenazah, ketika semua yang terdekat mengikuti disertai tangis, Raka hanya membatu, matanya kosong, bibirnya bisu. Tak ada suara masuk ke gendang telinganya, meskipun tangisan sang adik mengalun kencang di sana.

Saat Ivan mencoba meraihnya, dan memeluknya, Raka cuma bisa pasrah. Kini, sentuhan apapun tidak bisa dia rasakan.

Mengapa sesakit ini?

Sekarang, siapa yang harus disalahkan? Tuhan, siapa yang telah membuat sang ayah—Bastian meneteskan air mata? Siapa yang telah menumbuhkan rasa duka mendalam bagi si kembar dan yang pertama? Dan ... siapa yang telah membuat si bungsu menangis, merasa begitu tidak terima saat sang ibu pergi?

Raka tidak suka kata 'andai' dia benar-benar tidak suka. Andai, andai, andai.. Raka tidak pernah meminta sesuatu pada ibunya. Andai Raka melarang untuk menjemputnya dari sekolah.

Ini semua ... salahnya. Ini salah Raka.

Apa yang harus dilakukan pembawa sial ini? Haruskah menjauh dari semuanya? Yayaya, niat awalnya memang ingin menjauhi keluarganya. Namun, Raka malah hanyut dalam kehangatan yang baru dimulai. Kali ini... Raka akan benar-benar menjauh.

"Raka, bunda..." Ivan membawa kepala Raka ke dadanya, mengelus rambut sang adik.

"Ipan.. ini salahku. Bunda kecelakaan karena aku.." Raka berkata lirih dalam dekapan sang Kakak.

Ivan mengusap air mata di pipinya. Dahinya sedikit mengernyit. "Ini bukan salah ka–"

"Bunda mau jemput aku sekolah, terus kecelakaan.." Anak itu masih menangis pelan.

Ivan terdiam. Matanya memandang lurus ke depan. Fakta ini... Ivan sulit menerima. Sejenak, pikiran-pikiran negatif menghantuinya.

Perlahan, Ivan melepaskan pelukan dengan Raka.

Haha, harusnya Raka sudah bisa menebaknya.

Namun beberapa detik setelah itu, badan Raka tergerak, kembali menghantam dada bidang sang Kakak yang membawanya ke dekapan hangat. "Kamu gak salah. Bukan kamu pelaku di sini. Semuanya udah takdir. Jangan nangis terus." Ivan mengusap air mata yang mengalir dari mata adiknya. Dikecupnya pipi dan dahi Raka dengan lembut.

Pikiran negatif sebelumnya Ivan buang jauh-jauh. Karena dia sadar, tidak sepantasnya untuk menyalahkan seorang yang tidak sepenuhnya salah.

"Raka gak salah..."

•••

Alandra memang tidak koar-koar menyalahkannya. Namun, Raka merasa ada sedikit perubahan dari beberapa hari ini. Seperti Evan yang biasanya jahil kini tampak lebih sering berwajah datar. Begitupun Kay—adiknya itu yang selalu menampilkan senyuman manis di wajah pucatnya, sekarang tak lebih dari sekedar senyum segaris tipis.

Raka juga ada perubahan—semakin menjauh dari sekitar keluarganya. Semakin jarang ia berinteraksi dengan yang lainnya termasuk Ivan.

"Raka," panggil Bastian kala ini. Pria itu duduk di sofa ruang utama.

Raka yang baru saja hendak melangkahkan kakinya ke atas  tangga berhenti.

"Kemari," ajaknya dengan nada santai. Bastian heran, beberapa hari ini, putra keempatnya itu jarang terlihat dan tak acuh pada sekitar.

"Hm." Bukannya menurut, Raka malah kembali melangkah dan menaiki anak tangga.

Bastian terdiam.

Raka hanya takut. Takut membuat kecewa dan takut dikecewakan. Lagi pula, niat awalnya mengulang waktu agar bisa memperbaiki sikap dan menjauhi segalanya.

•••

Kala itu, Ivan mendapati adiknya pulang dengan keadaan basah kuyup. Wajah anak itu memerah dan bibirnya sedikit membiru. Ia kedinginan.

"Astaga, Raka! Kenapa bisa kaya gini?" Ivan datang setelah mengambil handuk. Menggiring sang adik untuk masuk dengan meletakkan handuk di punggung kecil adiknya.

"Kenapa bisa gini? Kamu dari mana aja?"

Raka tak menggubris. Ia melepaskan handuk dari punggungnya dan hendak melangkah pergi menaiki tangga.

"Raka! Tunggu!" Ivan mengejar. Kenapa dengan adiknya? Sikapnya benar-benar berubah sekarang. Ivan jadi terheran-heran dibuatnya.

"Raka, hey. Raka?" Anak itu tetap melangkah tanpa menghiraukan Ivan yang mencoba menghentikannya.

Selang detik berikutnya, Ivan hampir dibuat jantungan saat Raka nyaris saja terpeleset di salah satu anak tangga. Anak itu syok sejenak, lalu kembali melangkah hingga sampai di depan kamarnya sendiri.

Ivan masih mengikuti. "Raka, bentar. Dengerin Abang. Hey Raka."

"RAKA!" Ivan berteriak, memegang kedua bahu adiknya cukup kuat. Aura mengintimidasi menguar dari diri Ivan. Mengarahkan badan sang adik untuk menghadap dan menatapnya.

"Ada apa? Kenapa kamu menghindar, hah?!" Ia guncang pelan bahu Raka, menatap tajam serta dalam pada mata jernih di depannya.

Raka tak terpengaruh sedikit pun. Ia menatap kosong sang Kakak. "Lepasin," katanya. Bibir sedikit biru keunguan karena keinginan itu bergetar pelan.

Ivan mengusap wajahnya kasar. "Raka, Abang gak ngerti ini.. kenapa sama kamu?"

Raka mendorong Ivan sekuat tenaga. Setelah itu langsung masuk kamar, menutup pintu, meninggalkan Ivan sendirian di luar.

"Oke, Raka. Abang gak tau apa yang terjadi sama kamu. Tapi, jangan gini terus, ya." Ivan berharap, semoga besok sang adik kembali bersikap seperti semula.

"Raka, jangan lupa mandi air hangat. Pakai baju tebal biar gak kedinginan. Suhu ruangannya naikin sedikit. Kalo ada apa-apa bilang sama Abang, ya."
Ivan sempat menoleh pada pintu kamar adiknya, sebelum dia benar-benar beranjak dari sana.




















Ivan—is my type~

Tenang, konfliknya bakal ringan, seringan dompet tanpa uang.

Spam heart 500 →⁠→

Vote dan komentarnya, beb 💋

Raka Alandra (The End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang