Setelah cerita ini tamat di Wattpad, bakal kujadikan versi cetak.
Nabung yuk, biar bisa beli versi cetaknya nanti ><
•
Gisel tertawa geli melihat ekspresi anaknya. Lucu sekali. Dari semua anak-anaknya, hanya Raka yang lebih beda—bukan beda mengarah ke negatif. Namun, sifatnya yang paling nyeleneh dan tidak bisa ditebak.
Hanya saja ... Gisel kurang banyak berinteraksi dengan putra keempatnya itu. Mulai sekarang, jika dia diberi umur panjang, Gisel akan lebih banyak menghabiskan waktu bersama Raka. Jika bisa.
Ah, dia jadi ingat mimpinya itu.
Pada itu, Gisel sudah mengira semua itu nyata, yang dimana ia berdiri di pinggir jalan. Kerumunan—bisa dilihatnya, orang-orang yang tengah terkejut bahkan histeris. Gisel bingung, ia hilang arah saat itu. Apa? Apa yang terjadi? Dia bertanya-tanya, mengapa semua orang di sana begitu?
Mendapat insting, Gisel melangkah ke tengah jalan yang lebih banyak dikerumuni orang di sana. Tanpa diduga, jantungnya berdegup kencang tak normal, ia tergesa-gesa berlari dan menubruk badan orang-orang yang menghalangi pandangannya.
Semakin dekat, genangan darah di jalan semakin tampak banyak. Suara sirene ambulance pun terdengar mendekat. Sebagian orang-orang yang hanya melihat mulai menjauh untuk memudahkan petugas rumah sakit membawa korban kecelakaan barusan.
Gisel mematung. Kepalanya pening, berputar-putar seketika. Wajahnya pucat pasi, darahnya berdesir hebat, jantung semakin berdetak tak beraturan, tulang lutut pun lemas tidak sanggup lagi menahan berat badannya. Itu ... darah dagingnya..
Anaknya.. anaknya.. bersimbah darah di sana.
Dia tak sadarkan diri. Terkulai lemas bak sudah tidak bernyawa lagi.
Mengerikan. Itu mengerikan.
Penyesalan, sesak, dan rasa sakit menghantamnya dalam-dalam. Bukan lagi hilang arah, Gisel nyaris hilang akal saat itu.
Bahkan wanita itu tidak bisa mendengar suara-suara riuh ricuh sekitar. Ia langsung menangis histeris. Mencoba berdiri, berlari menghampiri anaknya..
"RAKAAA!!"
"Bunda?"
Kembali dari kesadaran, Gisel mengerjapkan matanya. Menormalkan ekspresi, ia bertanya lembut. "Ah, iya? Ada apa, sayang?" Dielus rambut sang putra keempatnya.
Dengan memiringkan kepala, Raka kembali bertanya, "Kenapa melamun tiba-tiba?"
Gisel menggelengkan kepala. "Gak papa. Bunda.. Bunda cuma.." Oh, Tuhan. Dia harus menjawab apa?
Raka kembali menunduk pada buku gambar, mencoret-coretnya membentuk abstrak. "Jangan melamun," gumam anak itu.
"Iya," balas Gisel, tersenyum sembari mengusap kilat setetes air mata yang tanpa sadar jatuh ke pipinya.
Tak berlangsung lama, Raka mengeluarkan setangkai permen dari sakunya. Kali ini, bukan permen tangkai yang berbentuk bulat seperti biasa. Namun, bentuk hati berwarna pink jambu.
"Raka, makan cookiesnya dulu. Permennya nanti aja, ya?" kata Gisel. Tidak baik juga jika anaknya terlalu kecanduan permen. Mungkin sekarang dia tidak kenapa-kenapa. Tapi untuk ke depannya, itu bisa saja menjadi penyakit untuknya.
Raka menggeleng. "Bunda cobain." Anak itu malah menyodorkan permennya pada mulut sang Ibunda.
Gisel hendak mengeluarkan suara. Namun, melihat Raka dengan ekspresi berharap seperti itu. Ia pun menerimanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Raka Alandra (The End)
Teen Fiction"Dengan cara apa lagi agar aku bisa mendapatkan kasih sayang?" Namun... "Ya Tuhan! Terima kasih sudah mengulang masa laluku, sekarang aku tidak akan bersikap seperti dulu lagi. Aku tidak mau mati muda!