28

10.2K 812 40
                                        

Hujan mengguyur kota A dengan deras. Griffin yang baru saja selesai mandi itu pun pergi keluar dari kamarnya. Ia memandang sekitar dengan malas. Karena sejak semalam ia dengan yang lainnya menginap dirumah kakek neneknya, atas permintaan orang tua itu.

Yang membuatnya malas itu hanya satu. Yaitu pria diujung sana yang sedang berjalan. Dan pastinya tujuannya sama dengan dirinya. Ayahnya.

"Minggir."

Vinscho tersenyum. Tak ingin melepaskan tangannya dari handle pintu. Begitupun Griffin yang tak ingin mengalah. "Biar paman saja yang membangunkan ayahmu. Lebih baik kamu membangunkan kedua adikmu itu."

"Mereka bisa bangun sendiri."

"Kalau begitu kamu duluan saja. Paman akan membangunkan ayahmu. Lagipula saya ada keperluan dengan dia."

Griffin mengerutkan dahinya tak suka. Mereka saling memandang dengan tajam. Tak ada yang ingin mengalah satupun.

"Kalian ngapain didepan pintu?" Tanya Kalyan dengan heran. Memandang keduanya aneh saat tatapan nya turun melihat kedua tangan yang seperti berpegangan.

Vinscho juga Griffin yang kompak melongok kebelakang itu dengan cepat melepaskan pegangan pada handle pintu. Tak lupa decihan sarat akan tak suka.

Elard yang berada dibelakang ayahnya itu menggigit pipi dalamnya. Seakan mengerti sesuatu. Ia tadi mengikuti ayahnya yang katanya akan membangunkan si bungsu. Tapi tak menyangka akan melihat pemandangan bodoh ini.

"Ayah?"

Kalyan melihat pada Nio yang keluar dari pintu dipojok lorong. Anak itu menghampiri ayahnya. Benaknya terheran menanya-nanyakan kenapa pada berkumpul disini. Apa dia melewatkan suatu momen?

"Baru aja ayah mau bangunin kamu. Udah mandi?"

Nio mengangguk. Dia menggandeng jemari ayahnya dan menariknya untuk pergi dari sini. "Aku udah laper. Ayo cepet."

Kalyan tersenyum gemas. Mereka pun pergi menuju ruang makan. Diikuti yang lainnya. Elard melihat tautan tangan adiknya dan ayahnya. Ia merotasikan kedua matanya tak suka. Griffin yang juga melihat itu berdecak. Merasa kalah dengan adiknya yang seenaknya baru saja datang. Sedang dipaling belakang, Vinscho menghembuskan nafasnya. Ia tak boleh mengalah pada anak yang masih bau kencur.

•—•

"Rokok?"

Kalyan menggeleng. Menolak tawaran papinya itu. Sedang sang papi, Luzinors, pun tak lagi berbicara. Hanya diam menyesap rokoknya dengan khidmat. Memandang rintik-rintik hujan yang masih saja betah membasahi bumi dengan air nya. Sehabis sarapan pagi ia mengajak anaknya itu untuk bersantai di teras rumah. Ditemani secangkir kopi dengan asap yang mengepul juga mengeluarkan aroma yang nikmat.

Kalyan meneguk kopinya. Dengan tekstur yang mewah juga rangkaian rasa yang kompleks menggelitik lidahnya nikmat. Walau mungkin secangkir susu lebih menggodanya. Sesekali tak apa rasanya meminum kopi.

Tak ada percakapan diantara orang tua dan anak. Hanya keheningan dengan mata yang dimanjakan akan guyuran hujan yang jatuh mengenai tepian kelopak bunga dengan indahnya. Bahkan saat asap rokok dihembuskan dan mengepul di langit-langit itu tak mengganggunya.

"Seminggu lagi cucuku akan masuk Sma."

"Iya, pi." Kalyan menggangguk.

Luz kembali menghisap rokoknya dalam-dalam. Lalu membuang asap itu dengan perlahan. Mencoba meresapi akan citra rasa ini.

"Dia semakin tumbuh dewasa. Bahkan tingginya sudah melebihi mu."

Kalyan setuju. Ia pun tak menyangka tumbuh kembang anak itu begitu pesat. Tapi sedikit tak terima, karena semua anaknya sudah melebihi dirinya sendiri.

"Tak sepertimu dahulu. Sudah Sma tapi banyak rekan bisnis papi yang mengira kamu masih Smp.  Dan tak jarang satu atau dua orang mengiranya kamu masih Sd."

"Papi mau bernostalgia atau mengejekku?"

Luz menoleh kesamping. Menatap anaknya yang sedang bersedikap tangan dengan memalingkan wajahnya. Lihat kan.

"Dasar bocah." Gumamnya. Ia melempar puntung rokok itu. Membuat bara api yang tadinya masih menyala harus terpadam karena terpaan air hujan. "Zey, melihat kalian yang semakin akur, papi senang. Karena papi juga bahagia melihat kamu yang kian bahagia. Tapi, papi berharap, kamu tidak terlalu terlena dengan ini semua."

Kalyan melirik papinya. Mendengar ucapan papinya itu membuatnya tersadar dan kembali pada kenyataan bahwa ia hanyalah pendatang baru disini. Hanya orang asing yang tak mengerti dengan drama maupun rahasia keluarga ini.

Seandainya saja ia tau apa yang dimaksud dengan semua ini.

Dirinya pun sadar, bahwa ia semakin terbawa arus. Terlena akan kehidupan yang kian semakin nyata. Tergelung dalam ombak dan jari jemarinya seolah tak bisa menggapai ke tepian.

Ingatan ingatan lama seolah kian terkikis akan resapan nyata pada kehidupannya yang baru.

Kenapa?

Ahh siapa? Kenapa seolah ia melupakan dua sosok penting dalam hidupnya. Ia mencoba menggali ingatannya. Tapi hanya kekosongan yang didapatnya.

Kenapa dirinya tak bisa mengingat kedua nama orang itu?

Kenapa tak ada yang dapat diriya ingat? Sial.

Siapa sebenarnya dirinya ini. Kenapa yang dapat ia ingat hanyalah... Kenyataan bahwa dirinya bernama asli Kalyan.

Hanya Kalyan...

—a y a h—

Ayah?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang