42. HARQEEL

3.6K 145 7
                                        


Aqeela duduk di ujung kasur, punggungnya bersandar ke dinding sambil nunduk ngeliatin layar HP. Cahaya layar itu jadi satu-satunya penerang di kamarnya malam itu. Lampu mati, suasana hening. Tapi isi kepalanya ribut banget.

Ada dua nama yang belakangan ini susah keluar dari pikirannya.

Noel.
Harry.

Dua cowok dengan cara perhatian yang beda.
Yang satu udah ada dari lama, selalu ada—walau kadang caranya bikin Aqeela pengen tonjok dia di jidat. Yang satu lagi, datangnya baru, tapi bikin hati Aqeela kayak dapet pelukan setiap kali diajak ngomong.

Noel...
Dia selalu ada. Nungguin, ngejagain, bahkan di saat Aqeela sendiri gak sadar dia lagi butuh dijaga.

Tapi Harry...
Dewasa, tenang, penuh pertimbangan, dan dia gak pernah minta lebih. Dia cuma hadir, dan itu aja udah cukup buat bikin Aqeela nyaman.

Aqeela ngerasa kayak orang jahat.

Karena dia gak bisa milih.
Karena dia takut... siapapun yang dia pilih, ujung-ujungnya akan ada yang tersakiti.

“Apa gue egois?” gumamnya pelan, suara setipis napas.

Dia gak mau ngerusak hubungan baiknya dengan siapapun. Tapi, makin dia mikirin, makin dia bingung... siapa sebenarnya yang hatinya pengen genggam lebih erat?

Daripada makin tenggelam di pikirannya sendiri, Aqeela akhirnya ngebuka chat. Jemarinya ngetik cepat.

Aqeela ke Noel:
“Noel, bisa bahas bentar soal Flavio?”

Aqeela ke Harry:
“Har, ada waktu buat ngobrolin soal kasus Flavio?”

Bukan chat romantis. Bukan curhat perasaan. Tapi obrolan penting. Mungkin, dengan ngebahas hal yang lebih konkret, Aqeela bisa narik pikirannya keluar dari drama cinta segitiga ini.

Chat dikirim. Ditatap beberapa detik, lalu dia buang napas panjang.

Flavio.
Lagi-lagi pikirannya lari ke sana.

Tadi sore dia denger kabar dari Noel soal kondisi Flavio yang mulai stabil, tapi masih butuh observasi. Luka batinnya jelas gak bisa sembuh kayak luka fisik. Semua orang ngomongin dia, maki-maki dia, dan sekarang... dia terkapar di rumah sakit.

Aqeela masih inget jelas. Gimana Flavio selalu jadi cewek yang kuat, yang berisik, yang kadang annoying tapi juga loyal banget. Tapi setelah semuanya terungkap, cewek itu berubah jadi bayangan dirinya sendiri.

Dan Aqeela sadar... dia punya andil besar dalam perubahan itu.

“Flavio...” bisik Aqeela, lirih.

Dia ngerasa bersalah.
Bukan karena dia buka suara. Tapi karena dia lupa kalau gak semua orang sekuat yang dia kira.

Aqeela nutup matanya sebentar, nyandar lebih dalam ke dinding.
Apa dia harus berhenti?
Mundur dari semua yang udah dia mulai?
Mungkin... kalau dia berhenti, Flavio bisa pulih lebih cepat. Mungkin Flavio bisa berubah... pelan-pelan. Dengan cara yang gak bikin dia diinjak-injak orang banyak.

Tapi di sisi lain, Aqeela tahu... kebenaran gak bisa digantungin begitu aja.

Tiba-tiba HP-nya bergetar. Balasan masuk.

Noel:
“Gue bisa. Ketemu di taman  jam 7?”

Harry:
“Tentu bisa. Tapi Qeel... lo yakin lo siap?”

Pertanyaan Harry bikin Aqeela diem.
Apakah dia siap?

Dia gak tahu.

Tapi satu hal yang dia tahu, dia gak mau diem. Karena kalau dia diem, dia bakal jadi bagian dari sistem yang ngelindungin kesalahan. Dan itu bukan Aqeela yang selama ini dia kenal.

Aqeela balas cepat ke dua-duanya.
“Oke. Kita ngobrol Besok pagi.”

-------

Pagi-pagi banget, Aqeela udah berdiri di pinggir taman tempat biasa dia jogging. Udara masih dingin, embun masih nempel di rumput, dan langit masih setengah ngantuk. Tapi dia udah siap—setidaknya, dia pura-pura siap.

Dia duduk di bangku panjang deket lintasan, tangan masuk jaket, nunduk, sambil nunggu dua nama yang dari kemarin muter-muter di pikirannya.

Gak lama, langkah kaki Noel kedengeran dari kejauhan. Dia dateng duluan, masih pake hoodie hitam yang nutupin setengah wajahnya, rambutnya berantakan, tapi dia tetep kelihatan tenang—seolah gak ada yang berat.

“Pagi,” katanya datar.

“Pagi, El,” jawab Aqeela pelan.

Baru beberapa menit kemudian, Harry nyusul. Pakai jaket abu-abu, rambutnya rapi, ekspresinya serius tapi tetap kalem. Matanya langsung nyari Aqeela begitu dia nyampe.

“Qeel,” sapanya sambil ngangguk pelan ke arah Noel.

“Noel,” tambahnya, sopan tapi tegas.

Noel ngebales dengan anggukan singkat. Gak ada yang berusaha basa-basi. Aqeela tahu ini bukan sesi ngobrol santai.

Mereka bertiga diem sebentar, sampe akhirnya Aqeela narik napas panjang.

“Gue ngajak ketemu karena... gue beneran kepikiran soal Flavio,” kata Aqeela pelan. “Gue tahu apa yang dia lakuin salah, dan dia harus tanggung jawab. Tapi... dia juga temen gue. Gue liat dia sekarang—dan itu bukan Flavio yang biasa gue kenal.”

Harry dengerin tanpa potong, sementara Noel nyender ke bangku, tatapannya ke rerumputan.

“Gue takut... dia bakal makin jatuh,” lanjut Aqeela, suaranya sedikit bergetar. “Gue takut dia gak bisa bangkit lagi kalau semua orang terus nyudut dia tanpa kasih ruang buat berubah.”

Harry akhirnya buka suara, pelan dan tenang. “Empati lo besar, Qeel. Dan itu bagus. Tapi jangan sampai empati itu bikin lo lupa kalau lo juga punya luka. Flavio bukan cuma salah satu korban, dia juga pelaku. Dia punya kesempatan buat jujur dari awal, tapi dia milih buat nutupin.”

Aqeela diem. Dia tahu itu bener.

Noel akhirnya ikutan ngomong, suaranya pelan tapi dalem. “Tapi Flavio juga manusia. Dan... gue ngerti perasaan Aqeela. Dia cuma gak pengen ada orang lagi yang rusak gara-gara kebenaran yang nyakitin.”

Harry nengok ke Noel. “Gue juga ngerti. Tapi jalan buat sembuh itu bukan dengan kabur dari tanggung jawab.”

Aqeela nunduk, tangan ngegenggam kuat di pangkuannya.

“Jadi... kalian pikir gue harus lanjut?” tanya Aqeela lirih. “Walau itu mungkin bikin Flavio makin dibenci orang?”

Harry noleh ke arah Aqeela, ekspresinya lembut tapi tetap tegas.

“Gue pikir lo harus jujur sama diri lo sendiri dulu, Qeel. Kalau lo berhenti karena takut Flavio makin sakit, lo gak akan pernah selesai sama diri lo sendiri. Tapi kalau lo lanjut karena lo tahu itu yang benar, dan lo jalanin dengan hati-hati, lo bisa bantu dia sembuh sambil tetep berdiri di sisi yang bener.”

Noel ngelirik Aqeela, mata cowok itu sayu. “Gue bakal dukung apa pun pilihan lo, Qeel. Tapi jangan lupa... lo juga butuh pulih.”

Aqeela akhirnya ngangkat kepala. Matanya kena mata Harry, terus ke mata Noel.

Dan di situ... dia tahu. Mereka gak pernah benar-benar ninggalin dia. Mereka ada, bahkan di tengah semua kebingungannya. Mereka peduli, dengan cara yang beda.

Tapi sekarang bukan waktunya mikirin siapa yang lebih dia sayang.
Sekarang waktunya mikirin... siapa yang paling butuh ditolong.

Dan jawabannya... bukan cuma Flavio. Tapi juga dirinya sendiri.

HARQEELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang