“Aqeela,” suara Harry pelan banget, sambil narik tangan Aqeela pelan dari kursi tunggu rumah sakit.
Aqeela noleh, masih kelihatan capek. Rambutnya agak berantakan, matanya merah tapi bukan karena nangis—lebih karena kurang tidur. Dia masih duduk di sebelah tempat tidur Flavio yang belum juga sadar, padahal dokter bilang kondisinya mulai stabil.
“Gue anterin pulang, ya?” tawar Harry lembut.
Aqeela ngangguk, tapi sebelum dia bisa berdiri, ponsel Harry bergetar. Sekali. Dua kali. Lalu disusul deretan notifikasi panggilan dan pesan masuk.
Harry ngeliat layar ponselnya, terus nunduk dikit, mukanya berubah. “Gue ada urusan urgent banget, Qeel. Dari kantor bokap. Lo bisa tunggu bentar? Gue bakal ke sini lagi kalau udah kelar.”
Aqeela cuma ngangguk pelan. Tapi sebelum dia jawab, ada satu suara lain yang terdengar lebih cepat dari pikirannya.
“Gue anterin dia.”
Noel.
Dia berdiri beberapa langkah dari mereka, satu tangan di saku jaketnya, dan satu lagi megang kunci mobil. Wajahnya gak berubah—tetep datar dan dingin, seperti biasa.
Harry ngelirik Noel sebentar, lalu natap Aqeela.
“Lo yakin?” tanya Harry.
Aqeela cuma gumam pelan, “Iya.”
Dan akhirnya, dia duduk di kursi penumpang mobil Noel.
---
Selama perjalanan pulang, suasananya hening banget. Cuma suara mesin dan jalanan malam yang terdengar.
Noel gak nyetel lagu, gak nyoba ngobrol, bahkan gak ngelirik Aqeela sama sekali. Tangannya mantap di kemudi, matanya lurus ke depan. Padahal biasanya Noel selalu punya sesuatu buat dikomentarin—dari cara Aqeela duduk sampai gaya rambutnya hari itu.
Tapi kali ini, dia... diem.
Aqeela ngelirik sebentar. “Lo kenapa?”
Noel gak jawab langsung. Cuma bilang, “Gak apa-apa.”
Aqeela nyender dikit ke jendela. “Lo bisa jawab seperlunya, tapi jangan bohong, Noel.”
Noel nghela napas pelan, masih gak nengok. Tapi akhirnya dia buka mulut.
“Lo pernah ngerasa gak penting, Qeel?” tanyanya tiba-tiba.
Aqeela bingung. “Maksud lo?”
“Lo udah ada di semua bagian hidup seseorang. Tapi ujung-ujungnya, dia bahagia sama orang lain. Dan lo cuma jadi... bayangan.”
Aqeela diam.
Noel ngelirik sebentar, lalu balik fokus ke jalan. “Gue tahu gue bukan cowok baik. Gue kasar, ngatur, dan egois banget. Tapi gue pikir, selama gue ada buat lo, lo akan ngerti. Gue pikir... itu cukup.”
Hening. Cuma ada suara hujan kecil mulai turun di atas kaca mobil.
“Tapi ternyata enggak,” lanjut Noel pelan. “Lo bahagia sama dia. Bukan sama gue.”
Aqeela nelen ludah pelan. Suara Noel... gak seperti biasanya. Gak sekeras atau sedingin biasanya. Tapi pelan dan patah.
“Noel...” gumam Aqeela.
“Gue gak marah. Gue cuma...” Dia berhenti, nahan napas. “Gue cuma capek pura-pura gak peduli tiap kali lo sebut nama Harry. Gue pura-pura gak liat waktu lo senyum ke dia. Tapi ternyata, makin gue tahan, makin nyakitin diri gue sendiri.”
Mobil berhenti pelan di depan rumah Aqeela. Hujan turun makin deras, tapi Noel masih belum matiin mesin.
Aqeela masih belum turun.
“Noel, gue gak pernah niat nyakitin lo...”
“Nope. Gue tahu. Lo gak pernah salah. Lo gak pernah minta gue buat suka.” Noel akhirnya noleh ke Aqeela. Mata coklat gelapnya keliatan sayu di bawah lampu jalan. “Tapi perasaan itu tumbuh. Dan sekarang, gue cuma mau lo tahu...”
Dia berhenti sebentar.
“Gue sayang lo, Qeel. Dari dulu. Dan mungkin sampe nanti. Tapi gue juga sadar, yang lo cari bukan gue.”
Aqeela nahan napas. Tangannya menggenggam tali tas di pangkuannya, erat.
Noel senyum kecil, tipis banget. “Gue cuma minta satu hal... jangan pernah bilang ‘maaf’. Karena gue gak nyesel sayang sama lo.”
Dan sebelum Aqeela sempat jawab, Noel turun dari mobil, jalan ke sisi pintu penumpang, dan bukain pintu mobilnya di tengah hujan.
Dia nawarin tangan. “Ayo. Lo harus masuk, keburu sakit.”
Aqeela nyari kata-kata. Tapi gak ketemu.
Dia cuma bisa narik napas pelan, ngerasain hangatnya tangan Noel di tengah hujan yang dingin.
Dan ketika dia masuk ke rumah, ninggalin Noel yang masih berdiri di luar mobilnya, Aqeela sadar...
Kadang, cinta paling tulus itu bukan yang ditunjukin dengan kata-kata.
Tapi yang diam-diam nungguin lo pulang.
Meski bukan pulang ke dia.

KAMU SEDANG MEMBACA
HARQEEL
FanfictionAqeela nggak pernah benar-benar peduli sama Harry. Buat dia, cowok itu cuma "salah satu anak Asrama" yang kebetulan ada, tapi nggak pernah masuk dalam radarnya. Harry terlalu pendiam, terlalu dingin, dan lebih sering tenggelam dalam laptopnya daripa...