39. HARQEEL

3.5K 192 2
                                        

Berita itu menyebar lebih cepat dari yang mereka kira. Bahkan sebelum pihak sekolah ngeluarin pernyataan resmi, gosip soal siapa dalang di balik kehancuran reputasi Aqeela udah beredar di mana-mana.

Dan sekarang, nama itu ada di mana-mana: Flavio.

Grup sekolah penuh sama screenshot rekaman, chat, dan narasi yang udah diolah—beberapa netral, tapi sebagian besar isinya cacian. Timeline media sosial dibanjiri postingan sindiran, video reaksi, bahkan thread panjang tentang kejamnya cara Flavio ngejatuhin Aqeela.

Di kantin, di lorong, bahkan di toilet—semua orang ngebahas hal yang sama.

"Apa-apaan tuh orang, ngancurin hidup orang kayak gitu, gila."

"Eh, yang kemarin sering bawa kamera tuh ya? Yang sok cool padahal—psikopat kali tuh."

"Makanya, karma itu ada, beb."

Aqeela duduk di kelas sambil nunduk. Gak enak banget rasanya denger nama Flavio disebut kayak gitu. Bukan karena dia udah maafin, tapi... ini bukan bentuk keadilan yang dia pengen.

Dia ngelirik ke Harry, yang duduk dua meja di belakang, lagi nulis sesuatu di laptopnya. Seolah tahu Aqeela lagi merhatiin, cowok itu angkat kepala, tatapannya nabrak tatapan Aqeela.

Aqeela berdiri, niat keluar dari kelas. Tapi langkahnya langsung ditahan suara Harry yang datar tapi tegas.

“Qeel, jangan.”

Aqeela nyaris membalik badan. “Dia dipojokin, Har. Gimana kalau—”

“Gue tahu.” Harry tutup laptopnya, berdiri. “Tapi lo juga tahu, ini bagian dari konsekuensi. Dia pernah milih buat ngancurin lo dengan sadar. Sekarang dia hadapin itu.”

“Tapi lo tahu ini bukan cuma tentang keadilan lagi... Ini udah masuk ke ranah kekejaman sosial,” suara Aqeela turun. “Dia cewek, Har. Cewek yang semua orang lagi siap serang dari segala sisi.”

Harry narik napas pelan. Dia jalan pelan ke arah Aqeela, nahan suaranya supaya tetap lembut tapi firm.

“Gue ngerti lo ngerasa kasihan. Tapi lo bukan penyelamat, Qeel. Lo bukan orang yang harus tanggung beban semua ini. Biarkan sistem yang ngurus. Kalau lo turun tangan sekarang, lo bakal dihancurin lagi. Dan Flavio juga—dia gak butuh diselamatin. Dia butuh tanggung jawab.”

Aqeela diam. Bibirnya kaku. Dia tahu Harry bener, tapi hatinya tetap gak bisa tenang.

Teriakan dari luar kelas bikin semua kepala noleh. Aqeela reflek lari keluar, Harry nyusul.

Di ujung lorong, Flavio lagi berdiri kaku, dikelilingi beberapa siswa yang maki-maki sambil ngerekam pake ponsel. Beberapa cewek bahkan lemparin kertas ke arahnya.

Flavio diam. Matanya kosong.

Aqeela langsung maju, mau nyamperin. Tapi sebelum dia sempat nembus kerumunan, Flavio tiba-tiba goyah... dan jatuh.

Gubrak.

Tubuhnya menghantam lantai keras.

Semuanya hening seketika.

Aqeela langsung nyamperin tanpa mikir. “Flavio?! Flav! Bangun, hey—”

Harry buru-buru dateng, nekenin pundak Aqeela pelan supaya mundur. “Dia pingsan. Biar gue yang angkat.”

Beberapa guru udah dateng, ngedorong kerumunan buat bubar. Aqeela masih jongkok, nahan tangan Flavio yang dingin banget.

“Gue ikut ke UKS—”

“Enggak, Qeel,” kata Harry sambil angkat tubuh Flavio ke gendongan. “Lo ikut gue ke ruang guru aja.”

“Tapi—”

HARQEELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang