27 - Demam

34.3K 1.4K 40
                                        

Tandai kalau ada typo!

Makasih buat yang udah mau ninggalin jejak vote di part¹ sebelumnya😘

Selamat membaca~

Netra Givana terarah pada Alvaz yang duduk tepat di depannya, menatapnya dalam.

"Dia gak sebaik dirinya yang sekarang, dia bahaya"

Perkataan itu Givana simpan baik-baik dalam ingatannya.

Hari ini Givana terpaksa tidak masuk sekolah karena tiba-tiba dirinya terkena demam tinggi. Dan Alvaz disini, untuk mengurusnya.

"Giva" suara Alvaz terdengar.

Givana tersentak kaget. Ia lupa jika dirinya sedang di suapi bubur oleh Alvaz. Givana-pun kembali membuka mulutnya menerima suapan dari Alvaz.

Itu adalah suapan terakhir. Alvaz menaruh mangkuk pada meja dan mengambil segelas air putih.

"Minum"

Givana menerima sodoran air itu dengan baik.

Alvaz menarik sebuah obat penurun demam. Membukanya, lalu menyerahkannya pada Givana.

Givana menerimanya dan meminumnya dengan cepat.

"Kalau demamnya gak turun-turun kita kerumah sakit" ujar Alvaz.

Sungguh luar biasa. Alvaz pandai berakting, lelaki itu menampilkan raut wajah seolah dirinya sangat khawatir.

Givana mengangguk menanggapi.

"Istirahat lagi, kalau ada sesuatu panggil aja, ya?"

Lagi, Givana mengangguk.

Selanjutnya Alvaz mendekatkan wajahnya mencium pucuk rambut Givana penuh kasih sayang.

"Cepet sembuh" setelah itu Alvaz bangkit, pergi dari ruangan itu, meninggalkan Givana dengan diamnya.

"Gue ragu dia bahaya, sikapnya semanis itu" batin Givana bersuara.

Givana memijat pelipisnya yang kembali dilanda pening. Astaga, demam sangat merepotkan.

Ceklek

Pintu kembali terbuka. Menampilkan Aiden yang masuk bersama Aidan.

Dahi Givana berkerut samar. Kenapa semua Abangnya ada di rumah? Apakah mereka tidak sekolah? Atau mungkin hari ini kebetulan jadwal kelas siang?

"Rades astaga, sakit lo?" Heboh Aiden dengan sedikit menaikkan suaranya.

Givana mendengus kesal. Ribut sekali.

Aiden dan Aidan berjalan mendekat pada Givana. Setelah berada di depan gadis itu, tangan Aiden terulur untuk menyentuh dahinya.

Transmigrasi Ephemeral MaidenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang