37.HARQEEL

3.5K 198 14
                                        


Aqeela berdiri pelan, menghindari bunyi yang bisa ngebangunin Flavio. Cewek itu masih tidur dengan posisi meringkuk, hoodie-nya ditarik nutupin sebagian wajah. Di balik semua luka dan kebencian yang sempat dia lempar, malam ini... dia cuma kelihatan kayak anak cewek biasa yang capek dan kosong.

Langkah Aqeela turun dari rumah pohon agak gemetar. Udara malam udah mulai lembap, dan rumput di bawah udah dingin banget. Dia jalan pelan ngelewatin ilalang, ngelewatin danau yang permukaannya tenang banget, kayak cermin.

Pikirannya masih muter.

Wajah Flavio.

Suara retak di ujung kata-katanya tadi.

"William nyelipin nama lo di setiap ulang tahun yang dia datengin, Qeel..."

Kalimat itu masih ngambang di kepala. Luka, iri, penyesalan... semuanya campur aduk di mata Flavio waktu dia ngomong. Dan Aqeela bisa ngerasain, untuk pertama kalinya—bukan kemarahan. Tapi kesedihan yang lama banget ditahan.

Beberapa menit kemudian, suara mesin mobil terdengar dari kejauhan. Lampu sorot nyorot ke arah jalan setapak kecil menuju danau. Harry keluar dari mobil, pakai jaket hitam, rambutnya agak acak karena angin. Tapi matanya... tetap tajam, tetap fokus. Dan ada sedikit lega waktu dia liat Aqeela berdiri di sana, nunggu.

"Astaga, Qeel." Dia jalan cepat ke arah Aqeela, tapi nggak langsung marah. Cuma narik napas dalam dan berdiri di depannya. “Lo gila banget.”

Aqeela nunduk. “Maaf…”

“Gue ngerti lo pengen jawaban langsung dari Flavio. Tapi lo tahu gak, pas lo ilang, semua yang udah kita susun bisa bubar dalam satu detik?”

Aqeela nggak nyaut.

“Gue, Noel, bahkan Jolina… kita udah di ujung tali. Satu gerakan kecil bisa jadi bumerang. Dan sekarang lo muncul dari hutan sambil bilang ‘Flavio tidur di rumah pohon’? Itu gila, Qeel.”

Aqeela akhirnya berani liat ke arah Harry. “Tapi ini penting, Har. Gue harus tahu langsung dari dia. Bukan dari rekaman. Bukan dari gosip. Tapi dari mulut dia sendiri.”

Harry ngehela napas. Lama. Tapi dia nggak debat. Cowok itu cuma ngelirik jam tangannya, lalu buka pintu mobil. “Ayo. Gue anter lo pulang.”

“Lo nggak bakal nanya gue cerita lengkapnya?”

“Bakal. Tapi bukan sekarang. Lo kelihatan capek. Dan gue juga. Besok pagi, kita bahas sama Noel. Lengkap. Tapi sekarang… kita pastiin lo sampai rumah dulu.”

Mereka masuk ke mobil dalam diam. Mesin dinyalain, dan mobil perlahan mundur dari jalan tanah. Aqeela masih melirik ke luar jendela, ngeliat siluet rumah pohon dari kejauhan. Samar, tapi hangat. Ada cerita yang akhirnya bisa ditutup. Dan walaupun luka belum sembuh, setidaknya sekarang Aqeela tahu: dia bukan satu-satunya yang ngerasa kehilangan.

“Har…” suara Aqeela pelan.

“Hmm?”

“Lo marah gak sama gue?”

Harry nggak langsung jawab. Tapi senyumnya kecil waktu dia nyaut, “Gue gak marah. Gue cuma... khawatir. Lo penting, Qeel.”

Aqeela noleh pelan. Matanya nemu tatapan Harry di kaca spion. Dan untuk pertama kalinya malam itu, dia ngerasa aman.

Lebih aman dari rumah pohon.

Lebih aman dari kenangan sama William.

Lebih aman dari luka yang sempat coba dia tutup-tutupin sendiri.

Aman... karena ada seseorang yang tetap mau nyari dia, dua puluh kali.

--------

Mobil Harry melaju pelan di antara jalan kecil yang dipenuhi kabut tipis. Sepanjang perjalanan, Aqeela cuma bisa diem, memandangi pohon-pohon tinggi yang kayak ikut nyimak sisa-sisa gundahnya. Lampu dashboard menyala redup, dan suara mesin mobil jadi satu-satunya pengisi hening di antara mereka.

HARQEELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang