── .✦ Enam belas

8.7K 594 38
                                        

Aroma obat-obatan menyengat memenuhi ruang ICU bernuansa putih tempat Arsa terbaring. Bunyi ritmis alat deteksi jantung menjadi latar konstan, menandai stabilnya kondisi pria itu yang baru siuman satu jam lalu.

"Lyora mana?" tanyanya lirih.

"Pacar gue nggak dateng?"

Jendra dan Raka saling pandang, lalu menggeleng pelan. Bukan menanyakan kondisinya, bukan bertanya apakah ia selamat, yang Arsa cari justru seseorang yang sejak awal tak pernah menjenguknya.

Raka mendesah, nada malas merayap di suaranya. "Lo masih aja mikirin dia? Orang tua lo aja nggak ngerestuin."

Arsa mencoba bangkit dengan tubuhnya yang gemetar, "Gue mau ketemu dia."

"Lo jangan gila, Sa." Raka menahan bahunya. "Wajah boleh oke, tapi otak lo bener-bener kosong."

"Dia bukan siapa-siapa lo lagi," tambah Jendra, ikut mendorong Arsa kembali ke ranjang. "Berhenti mikirin Lyora."

"Dia pacar gue!" Arsa menepis tangan mereka. Sakit di tubuhnya tak ada artinya dibanding rasa kehilangan yang menggerogoti pikirannya. Lyora harusnya di sini. Menemaninya. Bukan mereka. Sehari tak bertemu sudah cukup membuatnya gila, dan kini, ia bahkan tak tahu sudah berapa lama terbaring di rumah sakit.

"Lyora harusnya di sini. Dia yang harusnya nemenin gue bukan kalian, minggir lo pada!" Arsa mendorong keduanya.

Raka mendengus kasar. "Brengsek, nyesel gue jenguk lo. Temen sendiri tapi pikirannya udah kayak orang sinting."

"Lo mau ke mana?" tanya Jendra, menahan langkah Raka yang mulai pergi.

"Pulang," jawab Raka dingin. "Toh kehadiran kita nggak penting. Dia malah nyari cewek yang udah jelas-jelas nggak cinta lagi."

"Lyora masih cinta sama gue." Tatapan Arsa menohok ke arah Raka. "Cepat atau lambat, dia bakal jadi istri gue. Gimanapun caranya."

"Udah gila anaknya," gumam Raka ke Jendra yang hanya menarik napas kasar, menahan emosi.

"Tante Beby kemarin ke rumah Lyora," ucap Jendra. "Gue nggak tahu detailnya, tapi waktu pulang... pipi nyokap lo berdarah."

Arsa tertegun. Alisnya menaut, matanya membulat. "Berdarah? Mama gue kenapa?!"

Jendra mengangkat bahu. "Mungkin ribut. Mungkin sempat main tangan. Gue juga nggak tahu pasti. Tapi satu hal, Sa... gue harap lo berhenti ngejar Lyora. Kasihan keluarganya."

Tanpa aba-aba, Arsa mencabut selang infus dari tangannya. Darah menetes, tapi ia tak peduli. Jendra dan Raka terbelalak. Belum lagi mengingat kondisi Arsa yang masih jauh dari kata pulih, luka perban di dahinya yang bocor akibat menghantam stir mobil cukup kuat tapi pria itu menulikan pendengarannya tak mengindahkan perkataan mereka.

"Lo gila, Sa! Gila beneran!" Raka buru-buru menahan tubuh Arsa, tapi Arsa mendorongnya hingga nyaris terjengkang.

"Kalau ada Cakra, dia udah bikin lo pingsan daripada lo keras kepala begini brengsek!" Raka membentak.

"Jangan halangin gue! Gue mau ketemu Lyora sekalian cari tahu pria malem itu yang bikin gue kayak sekarang."

"Pria? Siapa yang lo maksud, sih?" Raka tidak paham, menoleh ke arah Jendra dan sang empu juga sama bingungnya.

Arsa mendesah kasar. "Malem itu gue ketemu Lyora, tapi seorang pria nggak jelas asal usulnya ganggu gue sama Lyora. Luka di tubuh gue bukan karena kecelakaan tapi pria telanjang itu penyebabnya."

Hening.

Tidak ada jawaban. Hingga waktu mendekati sepuluh detik, Raka membalas dengan raut wajah tidak terbaca.

That Naughty Monster is My BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang