── .✦ Tujuh belas

12.8K 764 105
                                        

"Emang gila, satu keluarga itu kalau lo mau tahu. Makanya dulu gue pernah peringatin lo supaya nggak deket-deket sama Kak Arsa," ujar Roro sebelum menyuapkan sesendok lotek ke mulutnya.

Vania yang duduk di sampingnya mengangguk pelan. "Pernah ada berita heboh, kalau nggak salah Om Ridwan Wiratama selingkuh sama tiga janda umur tiga puluhan dan satu cewek seumuran kita. Tapi beritanya cuma bertahan empat hari, terus hilang gitu aja."

"Dan istrinya masih bertahan karena takut jadi gelandangan kayaknya." Vania mengecilkan suaranya diakhir agar mereka bertiga saja yang mendengar.

"Gila, duit haramnya kuat banget!" Roro menambahkan sambil mengaduk-aduk sisa loteknya dengan sendok aluminium yang sudah agak bengkok.

Siang itu, mereka bertiga nongkrong di kursi panjang kayu yang catnya mulai mengelupas, di bawah tenda kain oranye pudar yang digelar di halaman depan rumah Lyora. Tempat itu adalah warung lotek milik Salsabila, ibunya Lyora yang sederhana tapi selalu ramai pengunjung. Suasananya khas warung kaki lima: ada kipas angin kecil yang berdengung pelan tapi tidak banyak membantu, toples kerupuk yang tutupnya longgar, dan ember cuci tangan dengan sabun batangan terikat plastik.

Dari arah dapur belakang warung, terdengar suara krek-krek-krek bunyi ulekan cobek yang diadu cepat oleh Bunda Salsabila, membuat aroma bumbu kacang dan daun kemangi makin semerbak. Sesekali terdengar suara sendok bergemerincing saat adukan lotek berpindah ke piring.

"Sepuluh ribu pedesnya sedang ya, Bu!" suara ibu-ibu terdengar dari balik tenda depan, berdiri sambil menenteng tas belanja dan kipas lipat di tangan.

"Iya, Bu Yanti. Tambah kerupuknya sekepal aja, ya?" jawab Bunda Salsabila dari balik meja saji, diselingi suara ulekan yang terus berdentum cepat.

"Tambah tahu gorengnya, Bu. Suami saya doyan tahu," sambung si ibu-ibu lagi, disambut gelak tawa kecil dari beberapa pembeli lain yang menunggu di bawah tenda.

"Lisya dimana, Bu? Kok nggak kelihatan."

"Lagi tidur anaknya," jawab Salsabila.

Lyora sendiri sedari tadi hanya diam, menyimak gosip Roro dan Vania di tengah suasana warung yang hangat dan agak berisik. Kalau saja ada mesin waktu, ia ingin kembali ke masa sebelum mengenal Arsa sama sekali.

"Ly, lo dengerin kita nggak sih?" tanya Vania sambil menepuk pelan bahu Lyora, memutus lamunannya.

Lyora tersentak. "Ah... iya, gu-gue cuma nyesel aja. Dulu waktu lo sama Calista ngotot nyuruh gue jauhin Arsa, gue malah keras kepala." Ia menoleh ke Roro yang menghentikan suapannya. "Kayaknya gue terlalu oon, cuma gara-gara terpesona sama wajah gantengnya waktu pertama kali diajak ayah ke rumah mereka. Gue baru empat belas tahun saat itu."

Roro menghembuskan napas kasar. "Kak Arsa emang ganteng banget, tapi sumpah ya, dulu gue pengin banget mukul kepala lo ke tembok saking kerasnya kepala lo."

"Nggak apa-apa, Ly. Namanya juga cinta, siapa yang bisa maksa? Sekarang mendingan kita berdoa aja semoga Arsa nggak gangguin lo lagi. Gedek gue makin lama makin ilfeel sama cowok itu," omel Vania.

Lyora hanya mengangguk pelan. "Ngomong-ngomong, Widuri sama Calista ke mana? Kok nggak dateng?"

"Calista liburan ke Bali bareng keluarganya. Widuri ikut pengajian sama ibunya, sekalian dikenalin ke calon."

"Calon?" ulang Lyora dengan alis terangkat. Roro langsung mendecak.

"Makanya buka grup, Cantik," gerutunya. "Itu anak udah ngejelasin panjang lebar, bahkan nanya ke gue kenapa lo nggak online."

"Astaga! Gue lupa, ponsel gue sengaja gue matiin datanya."

"Hadeuh, dasar ngartis."

Lyora berlari masuk ke dalam rumah, meninggalkan Roro yang mencibir karena kebiasaan Lyora yang tidak suka diganggu.

That Naughty Monster is My BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang