16 -

54.3K 2.5K 18
                                        

Tandai kalau ada typo!

[ Happy reading ]

~

-

Givana melirik sinis kala Dariel tersenyum tipis ke arahnya.

"Buat lo," Haira menyodorkan sebuah gantungan kunci berbentuk api berwarna merah muda.

Givana menerimanya dan menatap gantungan itu lekat-lekat.

"Lucu amat, apinya warna pink," ujar Givana.

"Gak tau, dari Gibran," ucap Haira.

Givana langsung menoleh, kaget. "Hah? Gibran? Kok bisa?"

Haira mengulum senyum. "Dia beli dua gantungan kunci, buat gue sama adiknya. Tapi adiknya udah gak ada," ujarnya.

"Gak ada? Pergi maksud lo?"

"Meninggal," jawab Haira.

Givana terpaku. Jadi untuk apa Gibran memberinya gantungan ini? Dan… adiknya?

"Kok?"

"Dia keinget adiknya aja, tapi lupa kenyataan kalau adiknya udah meninggal. Dan katanya, Gibran keinget temen gue, yaitu lo. Kata dia, kasih aja," jelas Haira.

Raut wajah Givana perlahan meredup. Datar. Ia tidak bodoh untuk percaya begitu saja pada alasan itu.

"Maaf, adiknya udah lama meninggal?" tanya Givana.

Haira mengangguk. "Sekitar lima tahun yang lalu."

"Kalau boleh tau, karena apa?"

"Kalau kata Gibran, ketabrak."

Givana menatap Haira lekat-lekat. Tak ada raut mencurigakan di wajah itu.

"Eh, tau gak sih?" ucap Haira.

"Apa?" tanya Givana.

"Gue masih inget dulu, kalau lo ketemu Gibran suka takut-takut karena kata lo serem. Padahal Gibran selalu nampilin senyuman."

"Dan gue seneng lo bisa ngobrol sama dia kemarin," lanjutnya dengan mata berbinar.

Givana mengangkat sebelah alis. Takut? Dan… senang? Aneh sekali. Apakah Haira tidak takut ditikung olehnya?

"Kenapa seneng?" tanya Givana.

"Ya seneng lah. Lo nih ya, pernah sampe nangis cuma gara-gara Gibran ulurin tangan buat kenalan."

"Oh ya?" Haira mengangguk.

"Dan lagi—

KRING!!

Bel berbunyi. Terpaksa, pembicaraan mereka harus berakhir di situ.

Transmigrasi Ephemeral MaidenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang