Gedung sekolah berdiri seperti biasa, megah, tenang, dan menyimpan ribuan cerita di dinding-dindingnya. Dua hari sudah berlalu sejak semuanya meledak. Dua hari yang dipakai Aqeela buat menata ulang dirinya—walaupun belum sempurna, tapi cukup untuk melangkah.
Suara langkah kakinya menggema di lorong. Di kanan-kirinya, bisik-bisik itu sudah terasa seperti dentuman. Tatapan sinis menusuk dari berbagai arah, seolah dia makhluk aneh yang tak seharusnya ada di sini.
“Eh, itu dia kan?”
“Pede banget balik sekolah…”
“Gak malu apa, sih?”Kata-kata itu tidak dikeluarkan pelan. Mereka ingin Aqeela dengar. Mereka ingin dia patah lagi. Tapi dia terus berjalan.
Di sampingnya, Noel dan Harry berjalan beriringan. Harry dengan wajah datarnya yang bikin orang mikir dua kali buat nyenggol. Noel dengan tatapan tajamnya yang gak biasa. Hari ini, mereka bukan sekadar teman. Mereka jadi tameng.
“Abaikan, Qeel,” bisik Harry pelan. “Mereka gak punya apa-apa buat dijatuhin, makanya mulut mereka tajem.”
Aqeela mengangguk, tapi jantungnya tetap berdebar keras.
“Kalau lo gak kuat, kita keluar lagi sekarang juga,” tambah Noel di sisi satunya. “Gue gak akan biarin lo sendirian.”
Dan untuk pertama kalinya sejak pagi itu, Aqeela tersenyum kecil. “Gue gak mau kabur lagi.”
Langkah mereka bertiga terhenti ketika sebuah tawa keras terdengar di ujung koridor. Flavio berdiri di sana, bersandar di loker dengan gaya sok asiknya, seolah gak ada yang terjadi. Jolina di sebelahnya, mainin rambut sambil ngelirik tajam ke arah Aqeela.
“Wah, pahlawan kesiangan udah balik,” kata Flavio keras, cukup buat satu lorong denger.
Beberapa orang ketawa, beberapa lagi cuma saling pandang. Tapi Aqeela tetap berdiri di sana, menatap Flavio lurus-lurus. Detik itu, Harry melangkah maju satu langkah—Noel langsung pegang lengannya.
“Gue yang urus,” kata Noel dingin. Dia maju, berdiri tepat di depan Flavio. “Coba lo ulangin, Flav.”
Flavio tertawa. “Chill, Gue cuma ngucapin selamat datang.”
“Gak usah sok ramah kalau hati lo busuk,” ucap Noel pelan tapi tajam. “Dan jangan pikir semua orang takut sama lo.”
Flavio nyengir sinis. “Lo siapa sih, sok jago banget?”
“Noel,” jawab Noel datar. “Nama yang cukup buat ngeguncang sekolah ini kalau gue pengen. Jadi lo pikir baik-baik sebelum ngelucu lagi.”
Flavio terdiam. Bahkan Jolina pun berhenti ketawa.
“Lo boleh bikin dia jatuh kemarin. Tapi hari ini, dia balik lagi. Dan setiap langkahnya, ada yang jagain.”
Noel menoleh ke belakang. Harry udah berdiri di samping Aqeela, tangannya masuk ke saku, tapi rahangnya mengeras.
“Kalau lo cowok, tanggung jawab. Tapi lo jelas bukan,” tambah Harry pelan, tapi suaranya tajam.
Mereka bertiga melanjutkan langkah. Aqeela gak bicara, tapi genggaman tangannya mengepal di samping badan. Dia tahu, ini belum selesai. Tapi untuk pertama kalinya, dia merasa... gak takut.
Di kelas, kursi-kursi terasa lebih dingin. Beberapa orang masih bisik-bisik, tapi gak ada yang berani ngomong langsung. Aqeela berjalan pelan ke mejanya. Harry dan Noel sempat ngelirik satu sama lain.
“Lo di sini aja, duduk sama gue,” kata Harry tiba-tiba.
Aqeela menoleh, bingung. “Lo gak duduk di depan?”

KAMU SEDANG MEMBACA
HARQEEL
FanfictionAqeela nggak pernah benar-benar peduli sama Harry. Buat dia, cowok itu cuma "salah satu anak Asrama" yang kebetulan ada, tapi nggak pernah masuk dalam radarnya. Harry terlalu pendiam, terlalu dingin, dan lebih sering tenggelam dalam laptopnya daripa...