34. HARQEEL

3.8K 204 4
                                        

Tempat itu sunyi. Jauh dari hiruk pikuk sekolah, dari sorotan kamera, dan suara-suara bising yang memekakkan kepala. Sebuah vila kecil di pinggiran kota, tersembunyi di balik barisan pohon pinus yang menjulang tinggi.

Aqeela duduk di teras, dibalut selimut hangat, menatap kosong ke arah danau yang tenang. Angin sore membelai rambutnya pelan, membawa aroma kayu basah dan bunga pinus. Tapi itu gak bisa menenangkan apa pun yang ada di dalam kepalanya.

Di balik kaca besar, Mama Mayang tampak sedang berdiskusi dengan Papa Michael. Wajah mereka tegang, mata mereka penuh kekhawatiran, tapi suaranya ditahan pelan, agar tak terdengar oleh Aqeela.

Di pojok ruang tamu, Firan, adik laki-laki Aqeela yang baru berusia dua belas tahun, duduk sambil memeluk bantal. Matanya merah, tapi dia berusaha tetap tenang. Ia sesekali melirik kakaknya dari balik jendela, seperti ingin menghampiri, tapi takut salah langkah.

Sementara itu, Harry dan Noel duduk tak jauh dari Aqeela. Mereka gak bicara. Cuma menemani. Keheningan itu terasa lebih berarti dibanding seribu kata kosong.

Aqeela menghela napas berat. "Kalian nggak harus di sini, tahu..."

Noel meliriknya, lalu menyandarkan punggung ke dinding, santai. "Gue tahu. Tapi kita mau di sini."
Harry menimpali, suaranya tenang, "Lo pikir kita bakal ninggalin lo sekarang, Qeel?"

Aqeela tersenyum tipis. Tapi senyuman itu cepat memudar. Matanya sembab. Masih ada sisa tangis di sana.

"Gue bahkan nggak tahu siapa yang harus gue percaya sekarang," ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan. "Flavio... sahabat gue sendiri, dia nyimpen semuanya sendirian."

Harry menatap danau di depan mereka. "Kadang orang nyakitin kita bukan karena mereka benci... tapi karena mereka terlalu sakit sampai nggak tahu harus nyakitin siapa. Dan sayangnya... kita yang mereka pilih."

Noel mengangguk kecil. "Tapi bukan berarti lo pantas disakitin."

Aqeela memejamkan mata, menyandarkan kepala ke sandaran kursi. Suara air danau, desir angin, semuanya terasa jauh. Yang dekat hanya rasa sesak, seperti ada batu besar menekan dadanya.

"Apa salah gue, Harry?"

Harry menatapnya dalam-dalam, suaranya pelan tapi tegas. "Nggak ada. Lo cuma terlalu baik. Terlalu percaya sama orang."

Aqeela menggeleng pelan. "Tapi tetap aja, William... dia sahabat gue. Dan gue bahkan nggak ada di sana waktu dia kritis."

Noel menyentuh tangan Aqeela, genggamannya hangat. "Itu bukan salah lo, Qeel. Semua ini... bukan salah lo."

Dari dalam rumah, Mama Mayang berjalan keluar, membawa secangkir teh hangat. Ia duduk di samping Aqeela, menaruh cangkir itu di meja kecil depan mereka.

“Minum dulu, sayang. Kamu harus tetap jaga kesehatan,” ucapnya lembut sambil mengusap punggung Aqeela.

Aqeela hanya mengangguk pelan. Saat matanya menatap wajah mamanya, akhirnya air mata itu kembali jatuh, pelan tapi dalam.

Papa Michael berdiri di ambang pintu, tangannya menyentuh pundak Firan. Wajahnya tampak tegas, tapi mata itu penuh luka. Luka melihat putrinya jatuh, terluka, dituduh, dihina—padahal hanya jadi korban dari permainan busuk seseorang.

-----

Angin sore masih berhembus lembut. Langit perlahan berubah warna jadi jingga keemasan. Aqeela masih duduk di Teras itu, wajahnya lelah, tapi matanya tetap terbuka. Seperti menolak untuk tidur… atau mungkin takut akan mimpi yang muncul saat dia memejam.

Di sebelahnya, Harry duduk bersandar, kaki disilangkan, dan tangan dimasukkan ke dalam kantong jaketnya. Ekspresinya kalem, tapi sorot matanya tajam, menyimpan banyak hal yang gak diucapkan.

HARQEELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang