Tandai kalau ada typo!
_____
[ Happy reading ]•
•
•
Givana memilih berdiam diri di sebuah taman yang ada di belakang sekolah.
Dengan mata terpejam menikmati suasana taman yang terasa begitu tenang. Givana masih berpikir, apakah benar jika dirinya yang asli sudah mati?
Apakah dirinya masih bisa untuk kembali pulang? Kalaupun bisa, Givana bingung. Dirinya harus kembali pada dunianya yang kejam itu? Tapi disini Givana atau lebih tepatnya Alena, sendiri. Disini hanya orang-orang asing yang tiba-tiba berstatus menjadi orang-orang terdekatnya.
Dan juga, hanya Alvaz yang menyayanginya, sepertinya. Itupun bukan untuk Alena, tapi Givana.
"Sahaga, gue berharap lo bahagia. Gue berharap lo bisa lepas dari Rania" lirih Givana.
Givana tertawa pelan "Anehnya, cowok sekejam lo tunduk sama cewek playing victim kayak dia"
"Ah, gue kangen Kakek, dia udah mati belum ya? Gue harap udah" ucapnya dengan tersenyum.
Tak!
Givana sontak membuka matanya dan meringis sakit. Astaga, siapa yang berani melempar sebuah kerikil kecil padanya?
Givana memutar kepala guna melihat sang pelaku. Sialan, orang tak dikenal. Givana mendengus kasar "Ngapain lo disitu?" Tanya Givana ketus.
Seseorang itu menghampirinya "Liatin lo tadinya, takut mati" jawabnya.
Dia menjulurkan tangannya "Kavan Airlangga" ucapnya berniat memperkenalkan diri.
Givana menatap uluran tangan itu tanpa berniat menjabat. "Givana" balasnya.
Kavan tersenyum tipis seraya menarik kembali tangannya.
"Amnesia, ya?"
"Hm"
Kavan tertawa kecil "Masih sama" gumamnya.
"Lo sendiri, ngapain disini?" Tanya Kavan.
"Berak" jawab Givana tanpa malu.
Kavan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Oh"
"Gue boleh duduk?"
Givana melirik sekilas "Terserah" balasnya.
Mendapat persetujuan, Kavan segera mendudukkan dirinya di samping Givana.
"Lo mau denger cerita gak?" Tanya Kavan.
Givana terdiam sejenak. Tidak buruk, pikirnya.
"Diamnya lo gue anggap iya" ujar Kavan. Givana hanya diam saja, memang benar, dia menyetujui untuk mendengarkan cerita lelaki itu.
"Lo kangen seseorang?" Tanya Kavan.
"Iya" jawabnya jujur.
"Siapa?"
"Abang gue" jawab Givana. Kavan hanya orang asing, tidak mungkin mengetahui kehidupannya bagaimana dan keluarganya siapa.
"Gue juga kangen seseorang, bedanya gue kangen Mama" ujar Kavan.
Givana memasang telinga baik-baik, waktunya mendengarkan cerita.
"Mama gue meninggal sembilan tahun yang lalu, di bunuh" lanjut Kavan.
Givana mengernyit, apakah ini tidak menyangkut privasi? Tidak salah, Kavan sendiri yang menceritakannya.
"Di hadapan gue langsung"
'Woah' batin Givana tersenyum, ini termasuk cerita yang menarik.
"Padahal.. Mama yang selalu ada buat gue, Mama yang selalu ngelindungi gue, Mama yang selalu kasih gue rasa sayang setiap waktu" nada bicara Kavan terdengar mengecil.
"Tapi sayangnya Mama harus terbunuh di tangan Papa"
Boom, luar biasa. Bagaimana rasanya menjadi Kavan? Givana menggeleng untuk menepis pikiran itu.
"Lo mau tau fakta?" Tanya Kavan. Bibir lelaki itu tak melunturkan senyum sedari tadi.
Givana terdiam memberi isyarat jika dia ingin tahu.
"Gue anak haram"
Bola mata Givana membulat sempurna. Kenapa Kavan bisa mengatakan itu padanya? Apakah dia tidak takut Givana menyebar fakta itu? Walaupun tidak akan dilakukannya.
Kavan terkekeh ringan "Lo pasti mikir kenapa gue kasih tau lo, kan?"
Tanpa sadar Givana mengangguk.
"Gue tau lo bisa jaga rahasia. Tapi, bukan itu alasannya. Gue ngasih tau orang yang belum tau" ujar Kavan.
Givana mengangkat alisnya bingung "Maksudnya?"
Senyuman tipis terukir di wajah lelaki itu "Semua orang tau kalau gue anak haram. Gue juga mau lo tau fakta itu"
"Tapi.. kenapa?" Givana heran, kenapa memberitahunya? Bukankah lebih baik tidak tahu?
"Gue mau semua orang tau kalau gue di besarkan tanpa Ayah" lanjutnya.
Bingung kembali melanda Givana. Bukankah itu kekurangan? Kenapa Kavan terlihat membanggakannya?
"Artinya, orang-orang harus tau kalau gue punya Ibu yang hebat. Mama besarin gue sendiri, Mama lewatin segala rintangan buat gue, Mama tetap pertahanin gue walaupun dengan berbagai kesulitan, walaupun tanpa seseorang yang mendampingi" jelas Kavan.
Givana tidak menyetujui perkataan Kavan barusan. Jika memang itu alasannya, Kavan tak seharusnya mengumbar aibnya.
"Mama bilang, gue yang jadi penyemangatnya. Gue harus jadi anak yang kuat"
"Kami hidup berdua, sebelum pria brengsek datang dan hancurin hidup kami"
"Dia datang sama istri sahnya, dia datang buat ngasih tau kalau Mama cuma penghalang, dia datang buat ngasih tau kalau gue gak berarti, dia minta Mama buat menjauh dari hidupnya"
"Tapi Mama gak terima, Mama selalu memohon buat dia mau nerima kami. Dia risih, Mama semakin di benci. Sampai akhirnya dia mutusin buat bunuh Mama"
Tanpa di minta, air mata Kavan turun. Givana melihatnya, Ia hanya diam. Tidak tahu harus melakukan apa.
"Gue di buang, gue berusaha bertahan hidup dengan cara gue sendiri"
"Bahkan gue pernah jadi pengemis, dan gue harap lo gak menjauh dari gue karena fakta ini" ujar Kavan menatap Givana.
"Gue berjuang dari umur delapan tahun"
"Sesakit itu hidup di pandang rendah sama orang-orang"
Kavan tersenyum miring "Mereka yang gak tau apa-apa selalu ikut campur"
"Di umur gue yang ke lima belas, dua tahun lalu, gue di tarik masuk kedalam keluarga Ayah, sama Kakek"
"Tapi ternyata gak sesuai harapan. Mereka jahat, sampai sekarang" dua kalimat terakhirnya terdengar seperti bisikan.
"Ah, gue harap lo gak menjauh dari gue setelah tau semua fakta ini"
Bibir lelaki itu terangkat untuk tersenyum. "Karena kita saudara"
•
•
•Thanks...

KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi Ephemeral Maiden
Teen Fiction"Tarik pelatuknya, Haga. Gue mau mati sekarang." ~ Tak pernah Alena bayangkan, akhir hidupnya justru datang dari tangan kakaknya sendiri. Namun alih-alih mati, ia justru terbangun di dunia asing-terjebak dalam tubuh seorang figuran dari novel yang b...