Tandai kalau ada typo!
_____
• Happy reading ••
•
Givana tersenyum, tenang dan tak terburu-buru, saat memandang orang-orang yang kini mengisi ruang di hadapannya.
Alvaz bilang, keluarganya akan pulang malam ini—Ayah, Ibu, dan si kembar. Ia juga sudah menceritakan bahwa hubungan dalam keluarganya memang tak pernah benar-benar hangat. Dan sekarang, mereka ada di hadapannya.
Di sebuah sofa di ruang tengah, duduk Ayahnya, Brian Nendara, bersebelahan dengan istrinya—Lauren Flanders. Tak jauh dari mereka, si kembar, Aidenniel Sagaragas dan Aidan Kalvino, tampak duduk berdampingan.
Dengan wajah sombongnya, Aiden menatap ke arah Givana dan Alvaz yang duduk bersebelahan. Sementara itu, Aidan tampak acuh tak acuh terhadap perkumpulan keluarga ini—lelaki itu hanya fokus pada camilan di tangannya.
"Gimana sekolah kamu, Giva?" tanya Brian, memecah keheningan.
Givana melirik Alvaz sekilas, seolah mencari dukungan diam-diam, sebelum akhirnya menjawab, "Baik."
"Kamu Alvaz?" tanyanya pada Alvaz, yang sejak tadi sudah tampak tak nyaman.
"Baik," jawab Alvaz singkat, dingin.
"Dasar anak durhaka! Kal-
"Dasar anak durhaka! Kal—"
"Aku butuh sesuatu deh" potong Givana cepat. Ia tahu persis ke mana arah ucapan Lauren—makian untuk dirinya dan Alvaz."Givana! Kamu nggak sopan!" tegur Brian dengan nada tegas.
Givana mengalihkan pandangannya pada Brian. Wajahnya polos, seolah tak tahu apa-apa.
"Aku cuma mau ngajak Tante Lauren ngobrol, Pa," ujarnya ringan."Kamu bisa bicara setelah Mama kamu selesai!" hardik Brian, nadanya meninggi.
Aidan berdecih sinis "Emang dasarnya-
Aidan berdecis sinis. "Emang dasarnya—"
Plak.
Givana menepukkan telapak tangannya ke meja, seolah baru membunuh nyamuk.
"Ah, nyamuk nih," ujarnya santai. "Nggak oke banget sih, di rumah kita masih ada nyamuk. Papa nggak beli pembasmi serangga, ya?" ucapnya, mengalihkan topik tanpa mengubah ekspresi.
Alvaz tersenyum tipis mendengar ucapan adiknya itu. Sepertinya amnesia benar-benar telah mengubahnya.
"Givana!" seru Brian lagi, kali ini lebih tegas.
"Apa, Pa?" sahut Givana santai, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa bersalah.
"Setelah amnesia, kamu juga kehilangan sopan santun, ya?!" bentak Brian, menatap Givana tajam.
Givana hanya mengusap pipinya sekilas, lalu menjawab enteng,
"Iya, kali."Prang!
Jantung Givana berdegup kencang. Untung saja ia sempat menghindar—wanita gila itu nyaris melemparkan gelas ke arahnya.
"Tante, astaga… hati-hati dong," ucap Givana dengan wajah seolah takjub. "Tapi keren juga sih, kok bisa melesetnya sejauh itu? Lemparannya niat banget, ya."

KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi Ephemeral Maiden
Teen Fiction"Tarik pelatuknya, Haga. Gue mau mati sekarang." ~ Tak pernah Alena bayangkan, akhir hidupnya justru datang dari tangan kakaknya sendiri. Namun alih-alih mati, ia justru terbangun di dunia asing-terjebak dalam tubuh seorang figuran dari novel yang b...