Eak, eak. Aku double up nih. Anggap aja THR dariku.
Sekali lagi, eak!
Btw, di part sebelumnya banyak banget yang ngumpat. (╥﹏╥)
Eak.
Apasih.
•
Athan dan Evan berlari keluar dengan tergesa-gesa sambil membawa Kay untuk dibawa ke rumah sakit menggunakan mobil. Mereka tidak bisa menunggu lebih lama pihak rumah sakit itu ke sini, takut kalau si bungsu akan bertambah kenapa-napa.
Ivan hendak menyusul tiga saudaranya. Tapi, ia langsung mematung di tempat. Kepalanya dengan cepat menoleh pada tempat di mana sebelum itu berdirinya sang adik ... keduanya.
Ke mana?
Ke mana dia?
Ke mana adiknya?!
"Raka!" Ivan kelimpungan. Tuhan, bagaimana bisa dia lupa dengan anak itu.
Ivan menaiki tangga menuju kamar Raka, berdoa dalam hati semoga sang adik ada di kamar dan tidur dengan tenang di sana.
Nihil. Tidak ada siapapun. Bahkan kamar itu sangat sunyi, seperti tidak ada kehidupan.
Ivan terus mengecek semua ruangan mansion, semuanya sudah ia kelilingi untuk menemukan Raka. Namun, dia tidak mendapatkan hasil apapun.
Ivan sudah menitikkan air mata, perasaan bersalah dan sesak menyeruak dalam hatinya. Dengan segera ia keluar mencari sang adik tanpa perduli dengan penampilannya yang seperti orang gila.
"Raka, kamu di mana? Maafin Abang.."
•••
Sudah sepanjang jalan ia telusuri, sudah beberapa puluh kali ia bertanya pada orang lain untuk menemukan adiknya.
Tapi tidak ada jejak, tidak ada yang tahu.
Ivan tidak bisa berpikir jernih. Perasaannya bercampur-cemas, menyesal, dan tidak enak menjadi satu. Yang dipikirkannya hanya Raka. Di mana anak itu?
Ivan duduk di halte bus sendirian. Kakinya sudah sangat lelah. Malam juga kian larut, tapi tidak ada yang mengabarkan informasi tentang adiknya dari orang suruhannya.
Benar-benar tidak bisa diandalkan.
Dering ponsel membuyarkan ratapannya, Ivan mengeluarkan ponselnya dari saku. Tanpa melihat siapa yang memanggil, Ivan langsung menekan tombol jawab.
"Ivan, bawa anak itu ke sini."
Suara dingin itu, Ivan muak mendengarnya.
"Anak siapa? Anak siapa, hah?!" bentak Ivan dengan mata berkaca-kaca.
"Raka. Anak itu harus diberi pelajaran, karena dia Kay sampai pingsan," jawab Athan dari seberang, sembari melirik Kay yang terbaring di ranjang pesakitan.
Di ruang tunggu ada Evan yang duduk sambil melamun.
Ivan menggigit bibir bawahnya. Perasaan bersalah terhadap adik keduanya semakin meningkat. "Anak itu gak ada! Nggak ada! Dia pergi, lo puas?!"
"Sekarang, kita gak tahu dia di mana. Kita gak tau dia baik-baik aja atau gak. Lo pasti seneng kan dia ngilang? Iya, bener, lo pasti seneng banget kan?" Suara Ivan terdengar parau dan putus asa.
"Lo benar-benar brengsek! Kembaliin adek gue!" Ivan berteriak keras dengan air mata yang mengalir di pipinya.
Tut!
Panggilan diputuskan sepihak oleh Ivan, kemudian ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ivan kalut. Dia hanya menginginkan adiknya.
"Kasihan ya anak kecil tadi."

KAMU SEDANG MEMBACA
Raka Alandra (The End)
Teen Fiction"Dengan cara apa lagi agar aku bisa mendapatkan kasih sayang?" Namun... "Ya Tuhan! Terima kasih sudah mengulang masa laluku, sekarang aku tidak akan bersikap seperti dulu lagi. Aku tidak mau mati muda!