Bastian dan Athan saling pandang mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Raka.
Sungguh? Anak itu tidak tahu apa yang barusan dia minum?
Raka yang tak kunjung mendapat jawaban tambah kebingungan dan panik. Jangan-jangan itu memang benar racun? Oh, astaga. Apakah dia akan mati dua kali?
Raka memejamkan mata, siap akan jatuh sebelum Athan segera menahan pinggangnya. "Itu bukan racun," Suara Athan menjawab dengan sedikit ketus.
Raka melek lagi, dia sedikit mengangkat kepalanya menatap Athan. "Oh, bukan ya?" Kemudian ia memperbaiki posisinya kembali menjadi berdiri.
Bastian yang melihatnya termenung sejenak. Anak keempatnya itu ... ada-ada saja tingkahnya. Ia terkekeh kecil. "Kamu kenapa ke sini?" tanyanya.
"Ambil minum," jawab Raka memegang lehernya, ia masih merasakan rasa pahit campur aduk di tenggorokannya. Minuman apa itu? Raka tidak bisa mendeskripsikan rasanya secara spesifik.
"Kenapa minum yang di gelas Bang Athan?" tanya Bastian, lagi.
"Warnanya merah. Aku kira itu minuman manis." Setelah menjawab, dia mengernyitkan dahinya sebentar. Jadi, yang di gelas tadi minuman Athan?
Raka sedikit tersentak saat Athan menyodorkan gelas berisi air bening. Setelahnya dia maju selangkah, lalu meminum air di gelas itu dengan tangan Athan.
Athan mengangkat alisnya, cukup terkejut atas perbuatan adiknya. Dia hanya mengambil air putih karena Raka terus mengeluh pahit. Bermaksud setelah dia menyodorkannya, Raka akan menerima dan meminumnya sendiri.
Athan lekas bergerak agar Raka lebih mudah untuk meminum air. Tangan kirinya memegang dagu Raka dan tangan kanannya membantu memegang gelas untuk mengantarkan air masuk ke dalam mulut adiknya.
Seperti sedang meminumi seekor kucing.
Selang beberapa detik, air di gelas itu tandas. Sepertinya Raka memang sangat kehausan.
"Makasih," ucap Raka pada Athan.
Bastian mendekat pada Raka setelah Athan berdiri untuk mengembalikan gelas. Ia menempelkan tangannya pada dahi sang putra. "Masih hangat."
"Lain kali jangan minum sembarangan, ya. Apalagi minuman seperti itu, tidak baik untuk anak kecil," tuturnya halus.
Raka mengangguk. Tiba-tiba dirinya mengantuk ditambah kepalanya yang cukup pusing. Lantas, Raka berbalik ingin kembali ke kamar. Namun, Bastian malah menahan pergelangan tangannya, membuat Raka mendesis pelan.
"Lepasin, jelek," kata anak itu spontan. Ayolah, da sudah sangat mengantuk.
Bastian sedikit melotot. "Apa katamu?" tanyanya memastikan tanpa melepaskan cekalannya.
Raka mencoba melepaskan cekalan dari Bastian sekuat tenaga. "Lepasin!"
Bukannya melepaskan, Bastian mengangkat badan Raka dan menggendongnya ala koala. "Biar ayah antar, kalau naik tangga sendiri nanti gelinding."
"Nggak mau! Nggak mau!"
Setelah kepergian mereka berdua, sekarang tinggal Athan yang menunduk sambil mencengkram kuat-kuat gelas yang ia pegang.
Tak lama, darah merembes keluar dari tangan pria itu.
Ya, gelas tadi pecah akibat cengkeramannya.
•••
Raka menatap langit-langit kamar dengan posisi telentang. Pikirannya jatuh pada saat umurnya enam belas tahun, ketika dia diusir dari rumah tanpa toleransi sedikitpun.
Ia berjalan di jalanan tanpa tujuan. Tak ada makanan, tak ada siapapun. Sampai terdengar teriakan-teriakan nyaring dan klakson mobil yang memekakkan telinga saat dirinya ditabrak.
Suaranya berisik sekali.
Nyaring. Melengking. Dan menakutkan.
Memikirkan itu, Raka pusing sendiri.
Dia baru saja sehat dari demam. Raka tidak mau sakit lagi.
Mengenyahkan semuanya, Raka berubah posisi menjadi miring. Huh, dirinya bosan sekarang. Hari ini tidak ada sekolah, tidak ada Kay, tidak ada Ivan, tidak ponsel-tunggu ponselnya ke mana, ya?
Terakhir kali Raka melihatnya saat dia baru mengulang waktu.
Raka buru-buru beranjak dari ranjang untuk mencari ponsel yang sudah lama tidak ia lihat.
Sudah lima menit Raka mengelilingi kamar, tapi benda yang ia cari tak kunjung ketemu. Wajah anak itu sudah memerah dan peluh yang membasahi dahinya.
"Mana, sih?" kesalnya sambil menyenderkan tubuh pada lemari. Jangan-jangan ada siluman yang mengambil ponselnya, atau ada pencuri jelek yang mengendap-endap masuk kamar?
Udahlah. Raka capek. Raka ikhlas saja ponselnya hilang.
Oh, Ivan! Raka akan meminta bantuannya!
Hoh? Perasaan tadi diikhlaskan?
Baru saja dia hendak keluar dari kamar, Ivan sudah muncul di depannya dengan pakaian sekolah.
Seperti siluman saja.
Tapi dipikir-pikir, mana ada siluman pakai baju sekolah?
"Raka, adek abang!" Ivan langsung mendekapnya tanpa izin. Raka semakin kesal, dia coba mendorong Ivan hingga pelukannya terlepas.
Ivan tertawa kecil, kemudian mengelus kepala adiknya. "Kenapa banyak keringat gini? Kamu habis ngapain?"
"Ponselku hilang" jawab Raka mendongak menatap Ivan.
Ivan mengangkat alisnya. "Kok bisa?"
Raka menatap Kakaknya datar. "I don't know."
"Bentar, coba abang telpon nomor kamu, ya." Ivan mengeluarkan ponselnya dari dalam saku. Sementara Raka yang mendengarnya berbinar senang. Kakaknya pintar juga.
The signals on the bus go blink blink blink, blink blink blink, blink blink
The signals on the bus go blink blink blink.. all through the down~Tunggu? Itu nyanyian cocomelon, kan?
Ivan menatap adiknya menahan tawa, sementara Raka memalingkan wajah menahan rasa malu. Sial, dia belum sempat mengganti nada dering ponselnya.
"Coba cek bawah kasur, suaranya dari sana kayanya," suruh Ivan. Mereka pun lekas melihat bawah kasur.
"Itu itu itu!" tunjuk Raka pada sebuah ponsel malang yang terbaring sendirian. Ternyata Raka terlewat untuk mengecek di bawah kasur kamarnya
Ivan membantu mengambilkannya. "Kenapa bisa di sana?"
Raka mengambil ponselnya, mengelusnya dengan sayang. "Pasti karena tikus siluman."
Masih saja tentang siluman..
Wkwk.
Berapa nih dapet THR kemarin?
Vote dan komentarnya, beb 💋

KAMU SEDANG MEMBACA
Raka Alandra (Segera Terbit)
Teen Fiction"Dengan cara apa lagi agar aku bisa mendapatkan kasih sayang?" Namun... "Ya Tuhan! Terima kasih sudah mengulang masa laluku, sekarang aku tidak akan bersikap seperti dulu lagi. Aku tidak mau mati muda!"