33. HARQEEL

3.8K 188 4
                                        

Aqeela masih diam di kursinya, tangannya gemetar sementara matanya tetap tertuju pada layar ponselnya. Artikel itu—berita palsu itu—masih terpampang jelas di sana, seakan menertawakan kebodohannya.

"Kenapa...?" suaranya nyaris berbisik, tapi cukup buat Noel dan Harry yang berdiri di dekatnya mendengar.

Harry bersandar di dinding dengan ekspresi dingin, sementara Noel duduk di ujung meja, tangannya bertaut di depan dada.

"Kalian tahu ini bakal terjadi, kan?" Aqeela menoleh, menatap mereka dengan mata yang masih bergetar. "Kenapa kalian gak ngehentikan Flavio?"

Harry mengangkat bahu, tatapannya tetap tenang. "Karena gue mau lo lihat sendiri siapa dia sebenarnya."

Aqeela mengerutkan kening, dadanya terasa semakin sesak.

"Tapi ini mempermalukan gue," desisnya.

Noel yang dari tadi diam akhirnya bersuara, suaranya lebih lembut dibanding Harry. "Malu karena apa, Qeel? Itu semua hoax. Lo gak lakuin apa yang mereka bilang."

Aqeela terdiam.

Dia tahu itu. Dia tahu dia gak bersalah. Tapi kenapa rasanya masih sakit? Kenapa setiap bisikan yang dia dengar di luar sana tetap menusuk?

Harry melangkah mendekat, lalu menunduk sedikit, menatap Aqeela langsung. "Lo pikir kenapa gue diem aja?" tanyanya, nadanya datar tapi menusuk. "Gue mau Flavio ngerasa dia menang. Gue mau dia percaya kalau dia bisa jatuhin lo."

Aqeela menahan napas.

"Karena pas dia udah di puncak, gue bakal jatuhin dia lebih keras," lanjut Harry, matanya berkilat tajam. "Gue bakal bales dia lebih dari apa yang dia lakuin ke lo."

Aqeela membeku.

Dia gak pernah melihat Harry seintens ini sebelumnya. Harry yang selalu tenang, selalu cool, sekarang menunjukkan sisi yang berbeda—sisi yang lebih gelap, lebih berbahaya.

"Lo orang pertama yang bisa bikin gue jatuh cinta lagi, Aqeela," suara Harry lebih pelan, tapi tetap penuh emosi. "Dan gue gak akan diem aja liat lo disakitin."

Aqeela menunduk, menggigit bibirnya.

Dia gak tahu harus merasa apa. Senang karena Harry ada di sisinya? Atau lebih bingung karena permainan ini terasa lebih besar dari yang dia kira?

Satu hal yang pasti…

Flavio mungkin mengira dia menang sekarang.

Tapi dia gak sadar, dia cuma lagi dikasih panggung—buat jatuh lebih keras nanti.

----

Langit makin gelap, gerimis mulai turun pelan-pelan. Udara jadi dingin, tapi hati Flavio jauh lebih beku dari apapun yang menyentuh kulitnya saat itu.

Dia masih jalan pelan di samping Jolina. Suaranya hilang entah ke mana, tapi pikirannya gaduh. Telinganya panas karena kalimat-kalimat yang barusan dia muntahin sendiri.

Dia ngedongak ke atas. “Gue jahat ya, Jo?”

Jolina diem sebentar, sebelum akhirnya jawab dengan senyum tipis. “Nggak juga. Menurut gue... lo cuma manusia.”

Flavio ngedengus pelan. “Manusia yang sengaja ngejatuhin orang lain?”

Jolina ngangkat bahu. “Atau manusia yang udah terlalu lama dijatuhin, sampe gak sadar dia mulai mukul balik.”

Flavio akhirnya nyengir miris, matanya masih merah. “Gue ngerasa jelek banget, Jo.”

Jolina berhenti, berdiri di bawah halte kosong, nahan Flavio juga buat berhenti. “Vio, denger ya. Semua orang bisa jadi versi paling jelek dari dirinya waktu mereka lagi sakit hati. Dan lo... lo tuh pernah sayang banget sama Will. Lo pernah nganggep Qeela itu sahabat lo.”

HARQEELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang