Bab 16

39.8K 4.2K 180
                                        

Setelah sang adik pingsan. Ivan buru-buru membawanya ke UKS. Ditambah hidungnya yang mengeluarkan darah semakin membuat Ivan kalang-kabut saat itu juga.

Awas saja. Setelah mengurus adiknya, Ivan akan membuat perhitungan pada siswa-siswa yang bermain basket itu.

Ivan menggenggam tangan Raka yang masih belum sadarkan diri di ranjang pesakitan. Anak itu sudah dirawat barusan, dan tinggal menunggu dia bangun.

Di ruangan yang ia tempati sekarang ada Evan, pemuda itu ikut karena tak sengaja berpapasan dengan Ivan yang sedang membawa Raka. Awalnya dia bingung kenapa Raka bisa pingsan, akhirnya Ivan menjelaskan semua yang terjadi.

Untuk Kay, dia tidak tahu. Si kembar belum memberitahunya.

"Kita bawa aja ke rumah sakit," celetuk Evan. Ekspresinya resah karena Raka tak kunjung sadar.

Namun, sedetik kemudian, keresahannya lenyap lantaran yang jadi penyebabnya perlahan membuka mata.

Raka mengerjap pelan akibat pandangannya yang masih belum jelas. Dirasa sudah jelas, dia menoleh, dan terlihatlah wajah Ivan yang duduk di dekat ranjangnya.

"Ayo."

Ivan dan Evan yang semula bernapas lega, kini mengernyit heran mendengar ucapan spontan yang keluar dari mulut sang adik.

"Ayo kemana?" tanya Ivan.

"Cari bola basket kapas."

Ivan menghela napas berat. Adiknya itu, bukannya meminta air atau apa malah langsung mengajaknya mencari sesuatu yang mustahil dirasa.

Evan terkekeh kecil, dia mendekat dan mencubit pelan pipi Raka. "Gimana keadaan kamu?" tanyanya, mengalihkan topik pembicaraan.

Raka menatap Evan sebentar, kemudian kembali pada Ivan. "Ipan harus mau temani aku," tuntutnya tanpa menjawab pertanyaan Evan.

"Kita pulang." Ivan meletakkan  telapak tangannya pada kedua sisi ketiak Raka, membawa anak itu ke gendongan koala dengan mudahnya. Lantas, keluar dari UKS diikuti Evan dari belakang.

Sebenarnya sekolah belum waktunya pulang, tapi mereka harus menemani Raka kembali ke rumah. Wajahnya yang memerah dan bibirnya sedikit pucat membuat si kembar yakin kalau Raka butuh istirahat.

"Ipan mau, kan?" tanya Raka di sela-sela langkah mereka. Dia memainkan daun telinga Ivan, sembari menatap Evan yang berjalan di belakang tak jauh dari sana.

Ivan bergumam pelan sebagai jawaban. Terlalu malas untuk meladeni perkataan Raka yang masih saja membahas basket itu. Waktu itu obat manis, sekarang bola basket kapas. Keinginan yang selalu aneh.

"Ipan, tadi pingsanku lama?"

"Lama. Jangan pingsan lagi." Ivan mengelus surai Raka.

"Eung.." Raka melemaskan kepalanya pada pundak Ivan. Pipi kanannya  yang sedikit memerah tertekan karena bahu sang kakak, membuat Evan merasa lucu melihatnya.

Setelah berjalan beberapa menit, mereka tiba di parkiran dan sudah ada sebuah mobil dengan supir yang menunggu mereka. Evan yang meminta jemput supir, karena tak mungkin Raka diantar menggunakan motor.

Ivan, Evan, dan Raka memasuki mobil. Mobil pun lekas berjalan menuju kediaman keluarga. Ketiga anak Alandra itu Duduk di belakang dengan Raka yang berada di tengah-tengah. Anak itu menyender di bahu Ivan sebab masih sedikit pusing pada kepalanya.

"Epan ... " panggil Raka tiba-tiba.

Evan yang tadinya bermain ponsel menoleh. "Kenapa, sayang?" sahutnya tersenyum tengil.

Raka mendengarnya mengernyit jijik, jadi menyesal dia sudah memanggil kakaknya itu. Tapi tak urung, dia menyatakan kenapa ia memanggil Evan. "Tadi aku kena bola."

Evan mengangguk. "Iya. Aku tau."

"Bolanya keras."

"Iya."

"Aku mau cari yang lembut."

"Terus?"

"Kata Ipan gak ada bola lembut." Ipan yang dibawa-bawa mendengus pelan. Kapan dia mengatakannya?

Raka bangkit dari posisi menyendernya, mendekat pada Evan dan menangkup wajah kakaknya itu. Tatapannya serius sekali, seperti ingin menyatakan cinta. "Epan, aku mau minta uang."

Mendadak berbeda topik nih ceritanya?

Dahi Evan sedikit mengernyit. "Buat apa?"

"Buat bikin perusahaan khusus produksi bola basket kapas."

Ivan dan Evan saling pandang.

Oh Tuhan. Pikiran adiknya terlalu jauh.

"Tidur dulu, ya. Nanti sampe rumah dibangunin."

"Terus perusahaannya?" tanya Raka memiringkan kepala.

"Bikin di dalam mimpi aja."

•••

Malamnya di mansion Alandra keadaan sedikit tegang. Raka, anak urutan keempat itu terbaring dengan banjir keringat dan wajahnya yang terlihat sangat pucat.

Gisel mengelap keringat Raka, kemudian kembali menyuapinya dengan bubur hangat. Setelah Ivan, Evan dan Raka kembali dari sekolah mendadak, Ivan langsung menceritakannya semuanya pada sang ibunda.

Awalnya Raka tampak baik-baik saja. Namun, malamnya anak itu mengeluh pada Ivan bahwa dia kedinginan. Tapi, ketika dicek suhu tubuhnya panas.

Semua menyimpulkan kalau Raka mendadak diserang demam.

Gisel membantu Raka minum dari gelas. Dia mengelus surai sang anak dengan tatapan tersirat kekhawatiran dalam. "Gimana keadaan kamu? Masih terasa dingin?"

Raka menggeleng. Wajahnya memerah seperti kepiting rebus karena efek demam, bibir pucat, dan matanya yang sayu. "Sekarang panas."

Gisel semakin khawatir. "Ke rumah sakit, ya?"

Raka menggeleng. "Usir Ayah."

Bastian yang duduk di sofa tak mengerti, kenapa harus mengusirnya?









Buset, ngebut banget aku nulisnya ini. Dikit gak papa, kan?

Vote dan komentarnya, beb 💋





Raka Alandra (The End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang