Part kali ini khusus untuk lima bersaudara.
"Gak mau." Raka menggelengkan kepala tanda dia menolak ajakan Kay untuk bermain.
Kay cemberut. "Kenapa, Kak?"
"Gak mau main. Males," jawab Raka hendak pergi dari sana. Namun, belum sempat dirinya melangkah tangannya ditarik dan badannya didudukkan. Bukan duduk di lantai, tapi di pangkuan.
Raka mendongak untuk menatap wajah siapa yang menahannya. "Ipan, mau permen." Tiba-tiba sekali?
Ivan meniup pelan wajah adiknya. Mungkin akan jadi kebiasaan bagi dirinya yang suka meniup wajah sang adik. "Iya. Tapi kamu harus ikut main. Gak kasihan sama Kay yang udah semangat itu?" Raka menatap Kay, ekspresi si bungsu itu sendu. Raka jadi tak tega.
Raka bangkit dari pangkuan Ivan. Dia berjalan ke arah Kay, menepuk pundak sang adik, seolah memberi semangat dan wejangan. "Kay jangan sedih, aku ikut," katanya sebisa mungkin untuk tegas. Padahal kalau dilihat-lihat seperti anak TK yang menasehati teman seumurannya.
Kay tersenyum cerah, dia memeluk badan sang Kakak yang tampak sedikit lebih kecil dari dirinya. "Kakak emang debes!"
Setelah drama picisan singkat tadi. Sekarang, lima bersaudara itu duduk melingkar di lantai. Botol sudah diletakkan di tengah-tengah mereka, siap akan diputar.
Sebenarnya hanya Kay yang paling bersemangat, sisanya biasa saja. Bahkan ada yang kelihatan sangat sangat terpaksa harus ikut. Athan, kentara sekali dari ekspresinya yang begitu masam dan keruh seperti air kobokan.
Namun, apa boleh buat? Dirinya terus dipaksa, dan tidak dibiarkan pergi dari sana barang sedetik pun.
"Cepet. Jangan lama-lama." Oh ayolah, Athan sudah muak duduk lama-lama seperti ini.
Evan sudah bergerak, tangannya memutar botol tanda dimulainya permainan pertama. Botol berputar beberapa detik, mereka semua diam menunggu siapa yang akan ditunjuk oleh botol.
Malah Evan sendiri.
Evan merengut, ketika Kay dan Ivan serempak menyebut namanya. Namun, tak urung dia mengambil selembar kertas sesuai aturan permainan.
Lakukan gaya pantomim sesukamu dan biarkan orang menebaknya sendiri.
"Pantomim?" Baca Evan ulang. "Gimana caranya?" Dia mengerutkan kening.
"Terserah Abang aja. Masa gak bisa?" Suara Kay menyahut.
"Gue gak mau. Ganti yang lain," tolak Evan.
"Eh, gak bisa gitu, dong. Ini udah aturan permainannya," jawab Ivan. Sebenarnya Ivan hanya ingin melihat Evan pantomim. Jarang sekali kembarannya itu melakukan gerakan lucu, biasanya dia selalu kaku.
Evan menghela napas. Kembarannya itu memang keterlaluan, bukannya membantu malah ingin membuatnya malu.
"Oke, mulai!" seru Kay. Ini lagi adik bungsunya, semangat banget mau liat Evan kesusahan. Emang paling baik adik keduanya, Raka. Walaupun mata duitan.
Evan mulai melakukan gerakan. Dia bergerak tanpa suara selayaknya pantomim, juga memasang ekspresi lucu dengan susah payah.
Tapi..
"Epan, itu sapi terbang?"
Evan menatap datar Raka. Sekarang, dia tarik kata-kata baik tadi. Sementara Ivan dan Kay sudah tertawa terbahak-bahak, lucu sekali. Apalagi ekspresi Raka yang tampak polos setelah berkata seperti itu.
"Bukan, Raka .... " geram sekali Evan tuh.
"Ulang-ulang." Evan mengulang gerakannya. Namun, asal-asalan. Dari pertama tadi juga asal-asalan, makanya Raka bisa berpikir kalau itu gerakan sapi terbang.
"Gerakan apaan sih. Kaya mau maling bank," cibir Ivan tak paham.
"Aku tau! Itu pasti tikus kejepit!" sahut Kay.
"Udahlah. Males." Evan ngambek. Dia duduk dengan bersedekap dada.
Ivan terkekeh geli, kemudian merangkul Evan. "Ululu, bayi besar ngambek. Emang tadi gerakan apaan?"
"Gak tau juga," jawab Evan dengan wajah bingung.
"Paok!"
Permainan kembali lanjut. Botol sudah diputar, perlahan-lahan gerakannya melambat. Dan botolnya mengarah pada Athan–tidak, tidak, botolnya kembali bergerak sejengkal, kemudian berhenti tepat di depan Raka.
Evan refleks tertawa, membuat Raka menatapnya. Dengan cepat, Evan menetralkan kembali ekspresi. "Ehem," dehamnya singkat.
Raka mendengus. Dia mengambil kertas seperti yang dilakukan Evan sebelumnya. Membalik kertas itu untuk melihat tulisan yang tertera di sana.
Duduk di pangkuan orang di sebelah kirimu.
Ivan melirik Kay yang cekikikan. Ivan menggelengkan kepala, pasti itu ulah adik bungsunya yang menulisnya.
Raka menoleh ke kiri. Dia terdiam sebentar, kemudian menatap Ivan meminta bantuan. Sementara sang Kakak hanya terkekeh kecil, ingin tertawa tapi nanti nangis adiknya.
Athan yang duduk di sebelah kiri Raka juga tidak tahu harus melakukan apa. Ck, tantangan macam apa ini?
"Nggak mau," tolak Raka. Dia tidak begitu dekat dengan si sulung, apalagi Athan yang tampak benci padanya. Bisa-bisa saat dirinya duduk di pangkuan pemuda itu, Athan langsung membantingnya.
"Etss.. gak boleh nolak." Evan menaik turunkan alisnya. Anggap saja ini balasan karena Raka sudah mengejeknya tadi.
"Nggak mau–" Belum sempat dia menyelesaikan ucapannya, Raka sudah didorong pelan dan didudukkan di pangkuan Athan. Anak itu mengerjap kaget, kemudian menatap kesal Kay yang dengan kurang ajar pada Kakaknya.
"Kay!"
"Tahan sampai lima menit."
"Tapi tapi–"
"Diam. Aku ingin ini cepat selesai." Suara bariton Athan terdengar seperti menusuk telinga Raka. Si sulung itu mencengkram pelan pinggang yang lebih muda sebagai penekanan untuk diam. Raka menurut, takut kalau Athan marah dan akan membantingnya.
Sementara Athan menggeram pelan. Dia tidak suka ini, dia asing pada perasaan hangat yang menjalar di hatinya.
"Yey, Kakak berhasil!" Kay berseru, lalu cekikikan mengingat raut wajah sang Kakak yang kesal padanya. Dia pun kembali memutar botol di tengah-tengah mereka dengan Raka yang masih duduk di pangkuan Athan sampai habisnya waktu lima menit.
Botol itu mengarah pada Ivan.
Coret wajahmu dengan spidol!
Ivan menganga. "Ini siapa yang nulisnya?!" Ivan menoleh pada Evan yang tertawa. Tanpa dibilang pun, Ivan sudah tahu kalau kembarannya itulah pelakunya.
"Aku aja!" Tiba-tiba Raka bangkit tanpa aba-aba. Dia mendekat pada Ivan berniat ingin mencoret wajah sang Kakak. Mau balas dendam karena Ivan tidak membantunya tadi.
Ivan meringis. "Dikit aja ya, Dek?" tawarnya pada Raka yang sudah mesem-mesem.
Raka mengangguk. Dia merogoh saku celana, dan menemukan spidol di dalamnya. Entah kenapa bisa ada di sana. Tangannya mencoret-coret wajah Ivan dengan spidol. Lidahnya sedikit terjulur, seolah dia seorang pelukis yang sangat serius dengan lukisannya.
"Udah."
Lihat. Wajah Ivan begitu cemong karena coretan. Apa yang harus dilakukannya selain pasrah dan berekspresi masam?
Kay dan Evan tertawa keras, sementara Athan menunduk dengan bahu sedikit bergetar.
Raka tersenyum puas, dia hendak menutup spidolnya. Namun, matanya langsung membelalak.
"Ipan," panggil Raka pelan.
"Apa? Masih kurang? Ayo tambahin lagi," jawabnya blak-blakan.
Raka menggeleng. "Bukan. Tapi spidolnya permanen."
Ayo ketawa. Wkwkwkkwkwkwk.🤣
Oh ya, kue lebaran udah jadi?
Vote dan komentarnya, beb 💋

KAMU SEDANG MEMBACA
Raka Alandra (The End)
Teen Fiction"Dengan cara apa lagi agar aku bisa mendapatkan kasih sayang?" Namun... "Ya Tuhan! Terima kasih sudah mengulang masa laluku, sekarang aku tidak akan bersikap seperti dulu lagi. Aku tidak mau mati muda!