Aqeela menggenggam ponselnya erat. Pesan yang barusan masuk masih berputar-putar di kepalanya.
— Kamu kelihatan nyaman di sana. Nikmati aja selagi bisa.
Maksudnya apa? Siapa yang kirim ini?
Dia merapatkan jaketnya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba berpacu lebih cepat. Harry duduk di sebelahnya, masih diam. Matanya sedikit menyipit, seakan bisa membaca kegelisahan Aqeela.
"Gue udah bilang, lo nggak bisa bohong sama gue," kata Harry pelan, suaranya nyaris tertelan suara angin sore.
Aqeela menarik napas dalam. "Harry, gue nggak mau mikirin ini dulu. Gue capek."
Harry nggak membalas, tapi dia tetap duduk di sana, nggak beranjak.
Di sisi lain sekolah, Flavio memperhatikan dari kejauhan. Dia selalu ada di sekitar Aqeela, tapi nggak pernah kelihatan mencurigakan. Dia tahu kapan harus ada dan kapan harus menghilang.
Jolina datang menghampirinya, menatapnya dengan tatapan tajam. "Gue nggak ngerti lo, Flavio. Sampai kapan lo mau kayak gini?"
Flavio melirik sekilas. "Kayak gini gimana?"
Jolina mendesah. "Lo selalu ada buat dia, selalu perhatian, tapi lo juga... ya, lo ngerti maksud gue."
Flavio tersenyum tipis, tapi tatapannya dingin. "Nggak ada yang perlu lo pikirin, Jo."
Jolina menatapnya lama. Dia tahu Flavio bukan orang sembarangan. Dan dia juga tahu ada sesuatu yang nggak beres. Tapi dia memilih buat nggak ngomong lebih jauh.
Malamnya, Aqeela duduk di kamar, masih memikirkan pesan yang dia terima tadi sore.
Ponselnya kembali bergetar. Kali ini bukan pesan. Tapi telepon.
Nomor tak dikenal.
Jantungnya mencelos. Tangannya ragu-ragu sebelum akhirnya dia menggeser ikon hijau di layar.
"Hallo?" suaranya bergetar.
Nggak ada jawaban.
Yang terdengar hanya napas pelan di seberang sana.
Lalu suara berat seseorang berbisik.
"Apa gue harus buat lo sadar kalau ini bukan main-main?"
Aqeela langsung memutus sambungan telepon dan melempar ponselnya ke kasur. Dadanya naik-turun cepat. Tangannya gemetar.
Seseorang benar-benar mempermainkannya.
Dan kali ini, dia yakin... ini bukan kebetulan.
----
Aqeela masih duduk diam di kasurnya, jantungnya berdetak kencang. Telepon misterius itu masih membekas di pikirannya. Siapa pun orang itu, dia tahu sesuatu. Dan itu menakutkan.
Ponselnya kembali menyala, tapi kali ini bukan panggilan atau pesan misterius. Noel.
— Lo baik-baik aja?
Aqeela menggigit bibirnya. Dia masih ingat omongan Harry soal Noel yang terlalu obsesi sama dia. Itu bikin pikirannya makin kacau. Harusnya dia bisa cerita ke Noel soal ini, kan? Tapi entah kenapa, dia ragu buat bales.
Akhirnya, dia meletakkan ponsel tanpa membalas chat Noel dan memilih buat tidur. Tapi malam itu, tidurnya gelisah.
---
Besok paginya di sekolah, suasana terasa lebih sunyi dari biasanya. Seolah-olah ada sesuatu yang menekan udara di sekitar mereka. Aqeela mencoba untuk bersikap biasa aja, tapi perasaan gak nyaman itu terus ada di dalam hatinya.
Harry datang menghampirinya saat dia lagi duduk sendirian di taman belakang sekolah. "Lo kelihatan kayak kurang tidur."
Aqeela mendengus pelan. "Gue baik-baik aja."
Harry mengangkat alis. "Yakin?"
Aqeela menghela napas dan akhirnya memutuskan buat cerita. "Gue dapet telepon semalam. Suaranya kayak ga asing, tapi aneh juga... gue gak tahu siapa."
Ekspresi Harry berubah dalam sekejap. "Dia bilang apa?"
Aqeela menelan ludah. "Dia bilang bakal bikin gue sadar kalau ini bukan main-main."
Mata Harry menajam. "Lo masih punya rekaman panggilannya?"
Aqeela menggeleng. "Gue panik dan langsung nutup teleponnya."
Harry diam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Lo gak boleh sendirian. Siapa pun yang ngelakuin ini, dia serius."
Aqeela menggigit bibirnya. "Lo pikir ini ada hubungannya sama yang kemarin?"
Harry mengangguk pelan. "Gue gak bisa bilang pasti, tapi feeling gue bilang ini gak sekadar iseng."
Mereka berdua terdiam. Tapi Aqeela bisa merasakan sesuatu berubah di antara mereka. Harry lebih protektif dari biasanya. Dan dia gak tahu kenapa, tapi itu bikin Noel semakin menarik diri.
---
Siang itu, saat jam istirahat, Aqeela lagi jalan sendirian ke kantin. Jolina dan Flavio ada di dekatnya, tapi mereka lagi ngobrol berdua.
Pas Aqeela mau masuk ke kantin, dia ngerasa ada yang ngikutin. Jantungnya langsung berdegup lebih cepat. Dia mencoba buat gak panik, tapi langkahnya makin cepat.
Lalu, dia berhenti di dekat lorong sepi dan menoleh.
Gak ada siapa-siapa.
Dia menarik napas dalam. Mungkin dia cuma halu?
Tapi pas dia balik badan—
BAM!
Seseorang nabrak dia dari belakang. Aqeela hampir jatuh kalau aja orang itu gak sigap megang tangannya.
"Mampus, lo. Gak liat jalan?"
Suara cowok itu dingin dan datar.
Aqeela langsung mendongak. Sosok di depannya adalah Andro, salah satu anak asrama yang jarang ngomong.
"Lo yang nabrak gue duluan," balas Aqeela defensif.
Andro mendengus sebelum melepaskan tangannya. "Lo hati-hati aja, Aqeela. Kadang yang lo kira aman, sebenernya enggak."
Setelah ngomong gitu, dia langsung pergi begitu aja.
Aqeela masih diam di tempatnya. Jantungnya makin kencang. Itu tadi... peringatan?
Dia buru-buru keluar dari lorong itu dan langsung nyari Jolina dan Flavio lagi. Dia gak mau sendirian.
Tapi yang bikin dia tambah bingung, saat dia ngelihat Flavio, cowok itu menatapnya dengan ekspresi sulit ditebak. Seolah dia tahu sesuatu yang Aqeela gak tahu.
Dan itu bikin perasaannya makin gak enak.
*****
50 vote
beneran si spam😭😭

KAMU SEDANG MEMBACA
HARQEEL
FanfictionAqeela nggak pernah benar-benar peduli sama Harry. Buat dia, cowok itu cuma "salah satu anak Asrama" yang kebetulan ada, tapi nggak pernah masuk dalam radarnya. Harry terlalu pendiam, terlalu dingin, dan lebih sering tenggelam dalam laptopnya daripa...