Hari Senin pagi, Aqeela akhirnya kembali ke sekolah setelah tiga hari libur. Selama tiga hari itu, dia masih diteror dua kali lagi, tapi dia tetap memilih buat nggak banyak cerita ke siapa pun, kecuali Jolina, Noel dan Flavio. Harry juga sepertinya tahu, tapi seperti biasa, dia nggak terlalu banyak ngomong.Teror kedua datang di malam Sabtu. Saat itu, Aqeela lagi sendirian di rumah karena Mama nya pulang kerja agak malam. Dia lagi di kamarnya, berusaha fokus nonton film buat ngalihin pikirannya. Tapi tiba-tiba, lampu kamar kedap-kedip sendiri. Awalnya dia pikir cuma gangguan listrik, sampai dia sadar… cuma lampu kamarnya yang bermasalah. Lampu-lampu di luar tetap nyala normal.
Dia mulai panik. Tangannya gemetaran pas dia coba matiin lampu, tapi malah nggak bisa. Bahkan saklar yang dia pencet berkali-kali nggak berefek apa-apa. Dia buru-buru ambil ponselnya buat nyari senter, tapi sebelum dia sempat nyalain, notif masuk. Satu pesan dari nomor yang sama seperti sebelumnya.
— Gelap ya?
Aqeela langsung membeku. Napasnya berat. Ini udah kelewatan. Dia buru-buru keluar kamar, tapi pas dia buka pintu… listrik langsung normal lagi. Lampu kamar nyala seperti biasa. Seolah nggak pernah terjadi apa-apa.
---
Senin pagi, dia berusaha terlihat biasa aja pas masuk sekolah. Dia nggak mau ada yang tahu kalau dia masih ketakutan.
Di gerbang, dia ketemu Jolina yang lagi ngobrol sama Flavio. Mereka langsung nyamperin Aqeela begitu lihat dia.
"Udah enakan?" Jolina nanya, nadanya santai tapi tetap ada rasa khawatir.
Aqeela ngangguk. "Udah. Cuma… ya gitu."
Flavio nggak langsung ngomong, cuma ngeliatin Aqeela sebentar sebelum akhirnya masuk bareng mereka ke sekolah.
Hari itu terasa panjang. Aqeela berusaha fokus di kelas, tapi pikirannya masih penuh dengan kejadian tiga hari terakhir. Setiap dia ke mana-mana, dia ngerasa ada yang ngawasin. Apalagi pas dia sendirian di lorong.
Sore itu, pas lagi di kantin, dia ngerasa ponselnya bergetar di saku. Dia kira ada pesan baru dari si peneror, tapi ternyata Noel.
Noel: Jangan pulang sendirian.
Aqeela ngerutukin dalam hati. Dia masih kepikiran kata-kata Harry soal Noel yang katanya ‘obses’ sama dia. Sejak itu, setiap kali Noel ngasih perhatian lebih, Aqeela jadi mikir dua kali buat bales.
Dia diem sebentar sebelum akhirnya bales.
Aqeela: Kenapa?
Nggak lama, Noel bales lagi.
Noel: Gue gak suka lo sendirian.
Aqeela mendesah pelan. Ini bukan pertama kalinya Noel bilang gitu. Tapi sekarang dia nggak bisa mikir ini cuma perhatian biasa. Pikirannya terlalu penuh.
Dia belum sempat bales lagi pas tiba-tiba Harry lewat. Tanpa banyak omong, dia duduk di sebelahnya, taruh minumannya di meja.
"Lo kenapa?" tanya Harry, nadanya datar tapi matanya penuh perhatian.
Aqeela geleng. "Nggak apa-apa."
Harry diem sebentar, lalu berbisik pelan. "Masih diteror?"
Aqeela menegang. Dia nggak mau Harry tahu, tapi entah gimana cowok ini selalu bisa baca situasi.
Sebelum dia sempat jawab, Flavio tiba-tiba muncul, duduk di seberangnya.
"Lo aman kan, Qeela?" tanyanya, nadanya santai.
Sementara itu, di meja lain, Noel duduk diam sambil memperhatikan mereka dari jauh. Rahangnya mengeras. Tangan yang menggenggam ponselnya mengencang.
Dan di sisi lain kantin, Stephie berdiri sambil menatap Noel. Matanya penuh dengan sesuatu yang sulit ditebak.
-----
Hari itu, Aqeela ngerasa sedikit lebih tenang. Walaupun masih ada perasaan nggak nyaman tiap kali dia ngerasa ada yang ngawasin, tapi setidaknya, dia nggak sendirian.
Harry selalu ada di dekatnya. Dia nggak pernah ngomong banyak, tapi kehadirannya cukup buat bikin Aqeela ngerasa sedikit lebih aman. Setiap mereka jalan di koridor atau sekadar duduk di kelas, Aqeela selalu sadar kalau Harry ada di sekitar.
Sementara itu, Noel… Noel berubah.
Dia nggak pergi dari hidup Aqeela, tapi dia juga nggak seposesif biasanya. Dia masih ada, masih peduli, tapi nggak terlalu deket. Seolah dia ngasih Aqeela ruang buat bernapas. Dan Aqeela? Dia sadar akan itu.
Siang itu, setelah kelas bubar, Aqeela duduk di taman sekolah, mencoba menikmati udara sore. Harry duduk di sebelahnya, diam seperti biasa.
“Lo nggak bosen, Har?” tanya Aqeela tiba-tiba.
Harry meliriknya. “Bosen apa?”
Aqeela mengedikkan bahu. “Lo selalu di sekitar gue. Gak capek?”
Harry menghela napas pendek. “Gue cuma jagain.”
Aqeela tersenyum tipis. “Gue bisa jaga diri sendiri.”
Harry diam. Lalu, dengan suara yang hampir berbisik, dia berkata, “Gue tahu.”
Mereka terdiam sejenak. Aqeela memandang langit, menikmati angin sore yang sejuk. Rasanya hampir seperti nggak ada masalah.
Hampir.
Tapi rasa tenang itu nggak bertahan lama. Ponsel Aqeela bergetar di genggamannya. Dia melirik layar. Satu pesan masuk.
— Kamu kelihatan nyaman di sana. Nikmati aja selagi bisa.
Darah Aqeela langsung dingin. Tangannya sedikit gemetaran saat dia mengunci layar ponselnya.
Harry melihat reaksinya. “Siapa?” tanyanya singkat.
Aqeela menggeleng cepat. “Bukan siapa-siapa.”
Harry nggak langsung percaya, tapi dia juga nggak maksa buat tahu lebih lanjut. Dia cuma duduk di sana, memperhatikan Aqeela tanpa suara.
Dari kejauhan, Terlihat Noel memperhatikan mereka. Rahangnya mengeras, tapi dia menahan diri. Dia nggak mau Aqeela ngerasa tertekan. Dia nggak mau jadi seseorang yang bikin Aqeela nggak nyaman. Tapi melihat cewek yang dia sayang deket sama Harry… itu bukan sesuatu yang gampang buat diterima.
Dia menarik napas panjang sebelum akhirnya melangkah pergi.
Stephie, yang berdiri nggak jauh dari Noel, memandang kepergiannya dengan ekspresi sulit ditebak.
****
maaf telat yaa*40 vote
spam klo udah sampe target tpi belum up

KAMU SEDANG MEMBACA
HARQEEL
FanfictionAqeela nggak pernah benar-benar peduli sama Harry. Buat dia, cowok itu cuma "salah satu anak Asrama" yang kebetulan ada, tapi nggak pernah masuk dalam radarnya. Harry terlalu pendiam, terlalu dingin, dan lebih sering tenggelam dalam laptopnya daripa...