thirty

428 58 11
                                    

Typo bertebaran



Happy reading...


Yuna menggenggam erat tangan putra bungsunya. Tatapannya lekat pada wajah Jiandra yang masih terpejam. Tak bisa dipungkiri, terkadang ia melihat bayangan Sky dalam diri anak itu—wajahnya, sorot matanya, semuanya terlalu mirip. Namun, kasih sayang yang ia berikan selama ini tulus. Karena bagaimana pun, Jian tetaplah Jian, dan tak akan pernah bisa menjadi Sky.

Ia menunduk, menahan rasa sesak dan takut. Karena, sejujurnya, Yuna pun takut. Takut jika Jiandra juga akan membencinya.

"Adek... maafin Mama, maaf Mama nyembunyiin ini dari kamu..." ucap Yuna lirih. "Adek pasti benci Mama dan Abang, ya?"

"Nggak..."

Suara lirih itu membuat Yuna tersentak. Ia mendongak, mendapati Jiandra yang kini menatapnya dengan ekspresi sulit dijelaskan.

"Jian gak pernah benci Mama atau Abang... Jian cuma kecewa."

Ucapan Jiandra membuat Yuna menunduk. Air matanya sulit dibendung. Hatinya perih melihat tatapan kecewa yang ditunjukkan putranya.

Jiandra mengalihkan pandangan ke jendela. "Mah... Mama adalah cinta pertama Jian setelah Bunda. Jian sayang banget sama Mama seperti Mama sayang sama Jian. Tapi... sekarang Jian takut. Aku takut selama ini Mama sama Abang sayang sama aku karena nganggep aku sebagai Sky..." lirihnya. "Aku gak masalah soal Sky, kalau Mama sama Abang cerita lebih awal..."

"Adek, maafin Mama..." suara Yuna bergetar. "Mama gak pernah sayang sama kamu karena kamu mirip Sky... Mama sayang Jian sebagai Jian, bukan Sky..." Air mata mengalir di pipinya. Ia menggenggam erat tangan putranya, tapi Jiandra hanya diam, tak memberi reaksi apa pun.

Pintu ruangan terbuka, menampakkan Rendra, Langit, serta Kevan.

Mereka berjalan mendekati ranjang Jiandra.

"Adek gimana? Ada yang sakit, sayang?" tanya Rendra, khawatir.

Jiandra tersenyum kecil dan menggeleng. Ia menatap ayahnya ragu-ragu. "Papa... Jian boleh minta sesuatu?"

"Boleh. Adek mau minta apa?"

Jiandra menarik napas pelan. "Jian mau minta... biarin Jian sama Kakak aja di sini. Bisa? Sebentar aja..."

Rendra terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk ragu. "Mama sama Abang temenin Papa keluar sebentar, ya?" ucapnya, menepuk bahu Langit pelan.

Dengan berat hati, Yuna dan Langit keluar ruangan.

Kevan mendekati ranjang Jiandra. "Kenapa?"

Jiandra perlahan duduk, lalu merentangkan kedua tangannya. "Peluk..." cicitnya pelan.

Kevan tersenyum gemas, lalu tanpa ragu menarik Jiandra ke dalam pelukannya. Ia mengusap punggung anak itu lembut.

"Tumben minta peluk. Biasanya ogah-ogahan. Pasti mau nangis," ucapnya terkekeh.

"Siapa juga yang mau nangis? Emang aku anak kecil?" cibir Jiandra.

"Loh, siapa bilang yang boleh nangis cuma anak kecil?" Kevan menatapnya. "Mau orang dewasa sekalipun, mereka tetap boleh nangis. Nangis itu bukan tanda lemah, tapi naluri manusia yang sedang merasa sedih. Jadi... mau sedewasa apa pun, kamu tetap boleh nangis."

Haunted dormitory [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang