Chapter 7
Tertangkap Basah
“Tetap di sini,” kata Pak Tristan setelah menarikku turun dari ranjang dan memerosokkanku di kolong tempat tidur dalam keadaan telanjang. Pak Tristan lantas menarik sebuah selimut yang masih terlipat di atas ranjang lain dan mengerubuti tubuhku dengannya. Dia sendiri berlarian ke arah pintu sebelum tamu tak diundang itu membukanya. Aku menutup mata. Nggak sanggup melihat atau membayangkan. Pak Tristan menahan daun pintu yang sudah diputar kuncinya dan akan didorong membuka ke dalam.
“Pak Tristan di dalam?” tanya orang itu karena tidak bisa membuka pintu.
Pak Tristan melongok ke balik pintu, tubuhnya tersembunyi. Sama denganku, Pak Tristan nggak mengenakan sehelai benang pun di tubuhnya. Aku menggigil lemas ketakutan. Kalau kami berdua tertangkap basah di ruang kesehatan dalam keadaan bugil, kami pasti celaka. Nggak pernah kudengar suara Pak Tristan segugup itu, “I—iya… ja—jam berapa sekarang? Saya rasa… saya ketiduran dan lupa waktu. Apa sudah saatnya menutup pintu?”
Aku mengenali suara itu sebagaik Pak Adi penjaga sekolah. Dia yang bertugas menjaga gerbang di pagi hari dan bertanggungjawab atas keutuhan sekolah di malam hari. Sebelum menutup pintu seluruh ruang kelas dan menggembok gerbang, dia akan memastikan nggak ada seorang pun yang tertinggal di dalam. “Sudah hampir pukul tujuh malam,” kata Pak Adi. “Pak Tristan mau saya tunggui di sini, atau di gerbang sekolah saja?”
“Di gerbang sekolah saja,” jawab Pak Tristan cepat. “Nanti saya akan bertanggung jawab atas ruang gymnasium. Pak Adi duluan saja. Saya tadi merasa agak kurang enak badan, siang ini sangat terik, jadi saya mengunci diri di sini sambil bertelanjang dada. Saya butuh waktu sebentar untuk membereskan ruangan.”
“Ah… baik… baik… kalau begitu… saya duluan….”
Embusan napas lega Pak Tristan sampai terdengar di tempatku bersembunyi. Aku ikut-ikutan lega dan membuka mataku. Belum ada satu menit, pintu ruang kesehatan sudah diketuk lagi. “Ada baju dan tas siswi di bangku gymnasium,” beritahu Pak Adi sembari mengetuk pintu.
Aduuuh… itu pakaian dan tasku.
“Ak—ah… apa betul?” tanya Pak Tristan gugup. “Pasti milik salah satu siswi. Biar nanti saya yang mengurusnya. Mungkin Bapak bisa coba berkeliling… siapa tahu masih ada siswa atau siswi yang berkeliaran.”
“Ah… benar sekali… anak zaman sekarang suka mengendap-endap dan berbuat yang tidak semestinya,” Pak Aldi mencemooh. “Nanti kalau saya belum terlihat di pintu gerbang, Bapak langsung pulang saja. Saya akan menyisir gedung sekolah sekali lagi.”
Kali ini Pak Aldi benar-benar pergi karena kudengar dia menutup pintu gymnasium. Nggak lama kemudian, Pak Tristan menarikku keluar dari dalam kolong. Dia sudah mengenakan celana trainingnya kembali. Dia mencoba membuka selimutku, tapi aku mempertahankannya. Dia menariknya lagi, tapi aku bersikeras. Akhirnya, Pak Tristan menyerah dan tersenyum padaku. Dia mencubit daguku dan membuatku tersipu malu.
“Katya… ini rahasia kita berdua,” katanya, mengingatkanku sekali lagi. Aku mengangguk mengerti. Ketika bola mataku mengerling padanya, Pak Tristan sedang memandangiku dengan tatapan sendu. Sepertinya dia menyesal. “Maafkan saya,” ucapnya lagi. “Kamu pasti ketakutan sekali… boleh saya memeluk kamu, Katya?”
Memelukku? Mukaku kembali panas membayangkan dekapan penuh gairah yang dilakukan Pak Tristan padaku di atas ranjang. Sebelum menjawabnya, Pak Tristan sudah merengkuh dan mendekapku hangat. Tadinya aku tersentak, tapi detik berikutnya yang kurasakan hanya perasaan nyaman. Aku bahkan memejamkan mata saat pipiku bersentuhan dengan dada bidang Pak Tristan. Telingaku bisa mendengar degup jantungnya yang begitu keras, tapi kecepatannya tergolong normal. Beda dengan degup jantungku yang seperti akan meledak.

KAMU SEDANG MEMBACA
Tristan, Jangan!!!
RomanceKatya Shelomita memiliki insekuritas tinggi terhadap salah satu bagian tubuhnya sejak dia menginjak bangku SMP. Gadis manis yang mungil itu kehilangan kepercayaan diri dan teman-temannya karena harus terus menerus menghindari ruang ganti PE dan kel...