Tidak ada hujan, tetapi angin malam tiba-tiba berembus kencang di rest area yang ramai oleh para siswa dari berbagai kelas. Mereka menghabiskan waktu sebelum keberangkatan yang tinggal lima belas menit lagi, sementara hawa dingin perlahan menyusup ke kulit. Beberapa siswa dari kelas IPA 4 dan 5 memilih tetap berada di dalam bus, terlalu lelah untuk bergabung dengan keramaian dan sudah terlelap lebih dulu.
Suasana yang semula nyaman berubah seketika. Para siswa merapatkan jaket, mencari kehangatan di tengah udara yang semakin menusuk. Di dekat masjid yang berdiri di antara deretan toko makanan, Widuri dan Vania baru saja selesai menunaikan salat. Perut mereka yang kosong tergoda oleh aroma masakan dari warung-warung yang kini dipadati seperempat siswa dari masing-masing kelas.
"Ini firasat gue doang atau emang gue berasa lagi di musim salju, dingin banget!" Roro berseru, menggigil kecil sambil berdiri di tangga masuk masjid, menunggu Widuri dan Vania yang kini menghampirinya.
"Apa tadi sempet hujan?" tanya Calista, yang awalnya hanya mengenakan crop top berwarna putih, kini buru-buru mengenakan kembali jaket yang ia bawa untuk berjaga-jaga.
"Hujan darimana? Minggu-minggu ini jarang hujan, kalau iya paling gerimis doang."
Vania yang baru saja sampai, langsung menimpal. "Sebelumnya nggak sedingin ini pas kita baru aja sampai, tapi kenapa sekarang vibesnya kek bukan di Indonesia."
"Kata nenek gue, kalau dingin-dingin gini tandanya banyak kuntilanak berkeliaran." celetuk Indira dibelakang Widuri.
"Yaelah, bawa-bawa setan mulu, lo nggak liat tempat yang lagi lo pijak? Lo kali kuntinya!" seru Roro tanpa disaring, jika menyangkut hal mistis jangan harap dapat kata-kata manis darinya.
Indira mencebikkan bibir sebal dan berlalu dari hadapan mereka. Widuri hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Roro. "Jangan gitu, kasian anaknya nggak ada temen."
"Bukan nggak ada temen, tapi pilih-pilih temen. Lo inget nggak waktu awal masuk sikap dia gimana sama Vania? Kursi Vania ditarik sampai anaknya jatuh, bener nggak Van?" Calista menatap Vania meminta balasan, yang dibalas sang empu dengan anggukan cepat.
"Ya, dan Lyora nolong gue sambil marah-marah ke dia."
"Cuma gara-gara pengen duduk di samping Veronika, anaknya desainer artis, sampai segitunya, kan gila."
Widuri hanya menghela napas berat, enggan menanggapi lebih jauh. Perkataan keduanya memang benar, apa pun yang berkaitan dengan Veronika dan gengnya selalu berujung pada masalah. Hingga kini, memasuki semester akhir, keadaan tak banyak berubah.
"Gue laper, beli makan yuk!" seru Roro tiba-tiba.
"Eh, bentar dulu. Lyora mana? Masa nggak diajak?" Widuri menoleh, mencari sosok sahabatnya.
"Lo kek nggak tau aja. Besti syaiton satu itu bawaannya molor terus kalau di perjalanan," Roro menanggapi santai sambil melangkah lebih dulu. "Lo tenang aja, Wid. Lyora aman. Yang nggak aman tuh perut gue."
"Tapi kan di—"
"Udah, gue traktir kalian! Sekalian beliin buat Lyora juga," potong Roro, tak memberi kesempatan Widuri untuk protes.
Calista dan Vania saling pandang sebelum akhirnya ikut menyusul Roro yang sudah lebih dulu berjalan menuju deretan warung makan. Namun, tidak seperti mereka, langkah Widuri terasa lebih ragu. Ada perasaan tak enak yang mengusik pikirannya. Entah karena cuaca yang mendadak dingin atau sesuatu yang lain, tapi nalurinya memaksanya untuk melirik ke arah bus kelas mereka. Letaknya memang agak jauh dari area masjid, tetapi masih bisa terlihat samar-samar di bawah redupnya cahaya lampu rest area.
Ia menghela napas, berusaha mengabaikan kegelisahannya, lalu bersiap mengikuti yang lain. Namun, baru beberapa langkah, suara seseorang dari belakang menghentikannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
That Naughty Monster is My Boyfriend
Fanfiction"Tubuhmu sempurna... padat, berisi, ramping, dan begitu menggoda. Bahkan aromamu membuatku ketagihan. Aku ingin menikmati setiap inci darimu, sayang." _________ Shadowbrook Camp - nama yang sudah dikenal luas. Destinasi favorit bagi para siswa yang...