Selamat Membaca ♡
Jangan lupa ramein dengan komentar kalian.
Buat kalian yang rajin vote dan komen 🫰🏻
• • • • • • •
Cahaya surya belum sepenuhnya menerangi bumi, udara dingin masih terasa menusuk pori-pori kulit. Namun, Rajendra sudah harus kembali ke Jakarta menggunakan penerbangan yang dijadwalkan berangkat pada pukul 4 dini hari. Sengaja memilih penerbangan di jam segitu, agar dirinya tak terlambat bekerja. Nanti selepas dirinya tiba di Jakarta, ia akan langsung berangkat menuju kantor tanpa beristirahat.
Rajendra sudah memikirkan konsekuensi yang harus ia terima akibat tindakan impulsifnya datang ke Kampung Mawar Teduh di tengah-tengah padatnya jadwal pekerjaan sebagai Ketua Umum Partai. Tetapi, hal itu tak membuatnya menyesal akan tindakannya.
Semua rasa lelahnya sudah terbayarkan hanya dengan melihat senyuman manis Arumi. Yang sekarang ini sedang berdiri di hadapannya, membantu memasangkannya jaket guna menghalau udara dingin yang melebihi dinginnya udara di Ibu Kota. Pengaruh keasrian alam di kampung ini yang masih terjaga, banyak pepohonan dan lumayan dekat dengan pegunungan.
"Ndak ada barang yang kelupaan, kan?" Arumi bertanya selepas usai membantu Rajendra memasang jaket.
"Tidak ada," jawab Rajendra. Dirinya bersama Arumi dan Ibu Ningrum berada di teras rumah, menunggu Ayub yang belum datang dari penginapan.
"Nanti kuenya dimakan ya selama di perjalanan," sahut Ibu Ningrum memberikan kotak plastik berisikan bermacam-macam kue basah.
Rajendra menerimanya. "Terima kasih, Bu." Sejujurnya ada perasaan tak rela harus pergi dari rumah ini. Sederhana, tapi ia merasakan kehangatan di dalamnya. Terutama pada setiap perhatian yang ia dapatkan dari perempuan cantik yang menatapnya teduh itu.
"Selamat pagi semuanya." Sapaan itu terlontar dari Ayub yang baru saja tiba.
"Pagi, Pak Ayub," jawab Arumi dan Ibu Ningrum bersamaan. Sementara Rajendra hanya membalas pelan nan singkat, "Pagi."
"Lho? Pak Ayub kenapa tadi jalannya geter-geter?" tanya Ibu Ningrum ketika tadi melihat cara jalan Ayub yang tampak aneh, seperti orang yang sedang menaiki mesin bor, getar-getar. Kedua lengan Pria itu juga memeluk tubuhnya sendiri.
"Menggigil, Bu," jawab Ayub kesusahan, sebab giginya bergetar akibat menggigil.
"Ya ampun. Memangnya di sana ndak disediakan selimut?"
"Disediakan, Bu, tapi air hangatnya yang tidak ada. Showernya lagi bermasalah, hanya bisa mandi pakai air biasa saja. Mana airnya dingiiiiin sekali, berasa sampai nembus ke tulang-tulang. Satu kali guyuran saja kerasa roh-roh di dalam tubuh saya ketarik," tutur Ayub, semakin ia berbicara, malah rasa dingin itu semakin menyergap tubuhnya.
Ibu Ningrum tertawa pelan. "Aduh, Pak Ayub, udah kayak di ruqiah aja," balasnya di sela-sela tawanya. "Tapi, ndak papa, malah tubuh jadi seger mandi air dingin. Iyakan?"
Ayub mengangguk pelan. "Seger sekali, sampai mulut saya tidak bisa mingkem, gigi saya geter-geter terus dari tadi kayak lagi senam di dalam sana," jawabnya yang lagi-lagi membuat Ibu Ningrum tertawa, begitu pula Arumi tersenyum tipis.
"Kalau begitu saya berangkat ya, Bu. Terima kasih dan maaf sudah banyak merepotkan," pamit Rajendra, menyalimi Ibu Ningrum. Tindakan tak disangka-sangkanya itu kontan menciptakan keterkejutan pada Ibu Ningrum, namun tak lama bibir wanita itu mengulas senyum haru.
