Di balik dinding rumah yang tenang, nasib seorang perempuan yang kehidupannya indah bak seorang putri di negeri dongeng perlahan berubah menjadi kelam. Awan hitam dan kabut perlahan menyelimuti hari-harinya setelah satu per satu orang yang dicintain...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Pipinya merah matang, agaknya beliau sudah memantapkan hati untuk memuntahkan kata-kata, menceritakan tentang apa yang dialaminya belasan tahun silam, yakni sebuah insiden yang mengubah seluruh hidupnya dan mengakibatkan beliau kini berjalan pincang, begitu yang sempat saya dengar.
Bersamanya, selama setahun terakhir saya hanya sekadar mengenal tanpa pernah bercakap-cakap lebih. Berkali pun komunikasi terjadi, itu hanya ketika beliau memberi perintah kepada saya sebagai bawahannya di tempat kami bekerja.
Beliau adalah senior saya, orang yang saya hormati sampai saat ini. Seorang wanita berusia mungkin antara 35-38 tahunan itu selalu berpenampilan rapi, cekatan, dan tampak berwibawa ketika mengenakan toganya. Siapa yang tak menghormatinya di kantor kami? Semua tahu sosok dan kepiawaiannya dalam menangani kasus obat-obatan terlarang.
Dengan bahasa tubuh yang tampak ragu, beliau akhirnya berpindah tempat dari kursi yang berseberangan dan duduk di samping saya. Beliau lantas memberi saya masing-masing satu dari dua bungkus keripik kentang dan dua kaleng soda yang akan kami kudap bersama-sama di dalam kereta api. "Hanya dengan melihat, aku yakin kau tak pernah memandang rendah padaku," celetuknya.
"Maksud Anda?"
Sesaat Beliau tampak kebingungan. "Emh, bagaimana, ya? Apakah pandanganmu terhadapku seketika berubah-setelah mendengar apa yang akan kuceritakan nanti? Aku hanya ingin tahu pendapatmu tentang diriku melalui kejadian yang pernah kualami."
Saya lantas menjawab, "Saya tak pandai menilai orang lain, bahkan diri saya sendiri."
Beliau yang mendengar jawaban saya sontak menoleh dan menautkan kedua alisnya.
"Saya hanya bisa menilai seseorang berdasarkan dari apa yang saya rasakan. Oleh karena itu, saya masih payah untuk terjun ke dalam dunia pejabat fungsional seperti Anda," imbuh saya.
"Emh, begitu," desahnya. Matanya menatap dalam ke arah saya. "Baiklah. Aku harap apa yang akan kaudengar tidak serta-merta membuatmu mengantuk sampai kereta ini tiba di Stasiun Lempuyangan."
Saya hanya menganggukkan kepala, bersiap menjadi pendengar yang baik baginya. Sementara beliau duduk tegak menarik tab cincin pada tutup kaleng minuman, dan desis uap soda yang keluar-membuat suasana semakin tegang sebelum akhirnya beliau berkata, "Entah sudah berapa kali, aku mendengar kalimat: 'Andai saja, aku menjadi kamu ... Andai saja, aku menjadi kamu ...' dari mulut kawan-kawanku sedari sekolah dasar sampai aku duduk di bangku SMA, dan akan lulus tahun itu." Beliau memicingkan mata. Tatapannya terpusat pada satu titik, yakni kaleng soda yang beliau genggam dengan tangan yang agaknya gemetar.
"... Kehidupanku yang tampak sempurna dari kacamata mereka-begitupun dari penilaianku sendiri-acapkali membuat mereka iri. Katanya, enak sekali kalau dia-dia yang menjadi anak dari ayahku, yang kala itu bekerja sebagai pegawai di BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Dan mereka juga menambahkan, enak sekali kalau dia-dia menjadi anak dari ibuku yang tampak seperti malaikat itu. Pun tak jarang aku mendengar mereka ingin mempunyai Abang yang teramat baik sebagaimana Abang yang kupunya."
Beliau menenggak minumannya dan menarik napas dalam, kemudian sedikit beringsut. "Ayahku, pria yang paling kucintai, adalah orang yang penuh kehangatan. Aku selalu merasa aman saat berada di dekatnya, dan aku selalu menantikannya di ambang pintu atau sekadar bertengger di teras rumah saban kali dia terlambat pulang. Seperti yang diidamkan kawan-kawanku, ayahku memang selalu memberikan apa pun yang kumau-selama itu benda atau sesuatu yang baik dan berguna, dia tak pernah menolak kalau mampu."
Saya juga beringsut lebih dekat, kemudian terkejut ketika lengan beliau merangkul pundak saya disusul dengan senyum manisnya. Namun, saya melihat pula senyum manis itu tampak berat terukir di bibir tipisnya, lalu beliau melepaskan rangkulannya lagi. Mungkin beliau hanya ingin kami tampak akrab atau benar-benar ingin kami menjadi akrab, mengingat saya kini sudah ditunjuk atasan menjadi asistennya pekan lalu.
"... Ibuku memang seperti malaikat, tuturnya lembut, wajahnya cantik, tak heran bahwa masa mudanya pernah menjadi artis era 70-an yang cukup dikenal. Apa pun yang dilakukannya haruslah tampak sempurna, seperti membersihkan rumah misalnya. Dia enggan kalau ada debu dan sebutir pasir pun menempel di atas meja, dan hal yang merepotkan padanya-hanya sifat yang terlalu protektif terhadapku. Apa yang kulakukan harus dibantu Abang. Mau ke mana? Boleh! Asal ditemani Abang. Sampai duduk di bangku SMA pun-aku seperti anak TK yang masih harus diasuh Abang. Oleh karena itu, aku jadi bergantung kepada Abang," ungkapnya. Bibir tipisnya kini melengkung ke bawah, bagai menahan rasa sakit yang teramat dalam.
"... Abangku, dia sudah lulus sebagai Neurosurgeon ketika aku duduk di kelas 1 SMA, dan hobinya adalah memotret. Terkadang dia juga suka menjadi fotografer dadakan tiap kali ada acara keluarga. Otaknya encer! Tidak heran bahwa setiap jenjang dia mengambil kelas akselerasi, dan lulus dengan mudah. Usia kami terpaut tujuh tahun, dan Abang sudah menyandang gelar dokternya di usia muda. Dia juga memiliki wajah yang cukup tampan. Mungkin karena itu, dia dikelilingi banyak wanita dan mudah bergonta-ganti pasangan. Seingatku, hubungan terlama yang dijalaninya hanya bertahan sampai tiga bulanan."
"Tiga bulan?" timpal saya.
Beliau terkekeh. "Aku dikelilingi banyak teman. Karenanya, di usia remaja-aku tak pernah mengenal 'apa itu kesepian?'. Kehidupan yang sempurna! Memang yang dikatakan mereka itu-benar adanya."
"Mendengar itu, saya juga menjadi iri," balas saya tersenyum. "Pasalnya, di masa remaja, saya adalah orang yang tak pandai bersosialisasi."
Beliau menepuk lembut pundak saya sebanyak tiga kali dan melanjutkan, "Aku tumbuh dari keluarga hangat itu, dimanja, dan diprioritaskan. Hidup seperti putri dari negeri dongeng, di rumah yang besar bersama mereka yang kucintai dan seorang pembantu juga sopir pribadi ayahku. Meski begitu, Ibu tak pernah mengandalkan pembantu untuk mengurus segala sesuatunya, mengurus aku, abangku, apalagi Ayah. Seperti namanya, pembantu hanyalah pembantu."
Beliau berhenti berkata-kata. Membuka mantel tebalnya dan merogoh salah satu kantung pada mantelnya itu demi mengambil sesuatu, sebelum kemudian menyimpannya ke belakang dan menjadikannya sebagai penyangga ketika beliau mulai bersandar. Kulihat benda itu, yang dikeluarkannya adalah sebuah bunga tanpa tangkai dan sudah setengah kering, bunga berwarna ungu itu dipandangnya lekat-lekat.
"Kenapa?" tanya saya.
Beliau menyimpan bunga itu disela jendela kereta. "Tidak," balas Beliau lantas membuka sebungkus keripik kentangnya. "Kau punya seorang abang?" tanyanya kemudian.
Saya pun menggeleng. "Tidak. Nggg, maksud saya, punya. Tapi dia sudah meninggal dunia."
"Meninggal? Bagaimana perasaanmu ketika kehilangannya?"
"Saya masih terlalu kecil ketika dia tiada. Jadi saya tidak paham betul bagaimana rasanya. Yang jelas, saya akan teramat sedih. Saya memang menginginkan sosok seorang kakak laki-laki yang bisa melindungi dan juga mendengarkan apa pun yang saya bagikan. Tetapi takdir mengharuskan saya menjadi anak sulung."
"Ya. Mempunyai seorang abang tidak menjadikan segalanya baik, dan tidak pula menjadikan segalanya buruk. Aku juga bersyukur pernah menjalani kehidupan yang teramat membahagiakan. Kendati demikian ... kehidupan itu terus berputar, bukan? Tidak ada yang abadi! Hidup, mati, kebahagiaan, kesedihan, zona nyaman, dan cobaan hidup akan terus berganti dan menghampiri siapa saja yang bernapas di muka bumi ini. Termasuk aku ...."