Bab 11

44.9K 3.9K 65
                                        

Ingin rasanya Evan meremas gemas kepala kecil adiknya yang berjalan di depannya sekarang. Mereka baru saja keluar dari minimarket untuk mengabulkan permintaan Raka yang ingin membeli permen.

Bukan satu permen, atau dua permen saja. Tapi, dua kantung plastik dengan rasa berbeda-beda. Yang isinya permen semua.

Evan awalnya menolak membelikannya mentah-mentah. Namun, anak itu terus merengek bahkan berguling-guling di lantai minimarket, hingga menarik perhatian pembeli dan pekerja di sana.

Mana ada yang ngira kalau Evan menganiaya anak kecil lagi. Evan kan jadi malu dan kesal.

Evan naik ke atas motornya. "Naik cepet," perintahnya pada Raka yang sibuk memasukkan beberapa permen tangkai ke dalam mulutnya.

Sudah ada tiga permen di dalam mulut Raka. Tapi anak itu hendak memasukkan yang keempat.

Evan melotot. Dia menengadahkan tangan kanannya tepat di depan mulut Raka meminta agar anak itu mengeluarkan permen dari dalam mulutnya.  "Lepehin! Lo bisa keselek!"

Raka pun mengeluarkan semua permennya di atas telapak tangan Evan. Kemudian menatap sang Kakak polos yang membuat si empu seperti tersengat listrik.

Evan membuang permen yang penuh air liur itu sembarangan, kemudian menyentil dahi sang adik. "Nakal. Udah dulu makan permennya, ayo pulang. Lo pasti lagi dicariin."

Raka mendengus, lalu menaiki motor Evan. Plastik yang isinya permen tadi ia pukulkan ke wajah sang Kakak dari belakang. "Epan, pegang."

Evan sedikit meringis, tapi tak ayal menuruti ucapan adiknya.

"Satunya pegang juga!"

"Iya-iya."

•••

"Loh, kenapa rame-rame di sini?"

Gisel menoleh pada pintu utama, di mana terdapat anak ketiganya yang sedang menenteng dua kantong plastik di kedua tangannya.

"Evan, kamu darimana? Raka hilang, kita baru mau cari. Ayo kamu juga ikut." Gisel berucap dengan nada yang khawatir dan bergetar.

Evan mengernyitkan dahinya. "Oh, kalian kehilangan Raka?" Gisel mengangguk cepat.

"Nih, di belakang." Setelah Evan berkata demikian. Raka menyembulkan kepalanya dari punggung Evan, matanya mengerjap bingung saat mendapati semua mata menatapnya.

Gisel mendekat pada Raka, ia langsung memeluk anak keempatnya itu. "Raka, kamu dari mana aja, hm? Kenapa keluar gak izin dulu? Kamu buat Bunda cemas, Nak."

Raka terpaku, dia tak menyangka bahwa sang bunda akan benar-benar mengkhawatirkannya. Ah, momen ini. Momen yang sangat Raka rindukan.

Setelah Gisel mulai melonggarkan pelukannya, Ivan mendekat. "Raka, peluk?" Raka menurut, ia memeluk singkat sang kakak. "Kamu dari mana aja?" tanyanya mengelus surai sang adik sesekali menciumi pucuk kepalanya.

"Aku–" Belum sempat Raka menjawab, Evan lebih dulu memotong.

"—Aku ketemu Raka di arena balap."

Sial, Raka lupa untuk bersepakat dengan Evan tadi.

Secara serentak mereka menoleh pada Evan. Bahkan Ivan melepaskan pelukan dan menatap Raka bingung.

"Benar yang kamu katakan?" tanya Bastian.

Evan mengangguk. "Iya, dia diajak temennya." Teman yang dimaksud tentu saja Galaksi.

Bastian menatap Raka. "Kenapa kamu gak nolak diajak temen kamu? Kamu mau apa di sana, Raka?" tanyanya dengan tatapan tajam. Namun, juga tersirat kekhawatiran di sana.

Raka memalingkan muka. Entahlah, setiap berhadapan dengan Bastian, Raka segan untuk menatap matanya langsung. Seperti yang dibilangnya, Bastian itu jelek. Jadi malas dia untuk melihat wajah sang ayah.

Padahal mah, wajah Bastian itu tampan kaya popo korea—ehm maksudnya oppa korea, gitu.

"Aku cuma liat aja," jawab Raka acuh. Dia sibuk memainkan rambut Kay. Adiknya itu sedang memeluk lengan kanannya.

"Di sana berbahaya, kamu bisa saja celaka." Bastian kembali bersuara. "Ah, sudahlah. Kamu dihukum, tidak boleh keluar rumah tiga hari. Sana masuk kamar."

Gisel mengelus rambut anak keempatnya. "Jangan diambil hati, ya? Ayahmu hanya khawatir." Raka mengangguk. Toh, dia juga tidak peduli dengan omongan Bastian. Hanya tiga hari, kan? Bukan masalah besar baginya.

Raka melangkah menuju kamar di lantai atas. Saat merasa kalau ketiga saudaranya mengikuti, Raka berhenti dan berbalik. "Gak usah ikut." Lagi pula untuk apa mereka ikut dengannya?

Kay, Ivan, dan Evan berhenti, mereka saling pandang satu sama lain.

"Kalian jangan ada yang ikut, atau–" Raka memperagakan seorang yang ingin memotong leher.

Setelahnya Raka melanjutkan langkahnya. Namun, sedetik kemudian dia berbalik ke belakang dan melangkah mendekat pada ketiga saudaranya.

"Epan, permen." Anak itu berdiri tepat di depan Evan dengan menyodorkan tangannya.

Oh, god. Evan kira ada apa Raka berbalik. Ternyata meminta permennya. "Nih." Dia memberikan dua plastik isi permen itu pada Raka.

"Makasih." Dia kembali melangkah.
"Epan, utang kamu masih satu juta."

Evan menjatuhkan rahangnya. Setelah dia yang menuruti semua permintaan Raka. Bahkan membelikannya permen dua kantung plastik, anak itu malah membalas budi dengan mengingatkannya soal hutang?!

Gisel terkekeh kecil, tingkah anak keempatnya itu benar-benar ajaib.

"Raka, makan permennya jangan banyak-banyak, ya? Nanti sakit gigi lagi. Mengerti?

"Hum, understand, Mom."




Udah, dikit aja dulu.

Gambaran permen Raka, awokawok 👇(⁠ ⁠ꈍ⁠ᴗ⁠ꈍ⁠)

Gambaran permen Raka, awokawok 👇(⁠ ⁠ꈍ⁠ᴗ⁠ꈍ⁠)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Vote dan komentarnya, beb 💋

Raka Alandra (The End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang