twenty-eight

443 62 10
                                    

Typo bertebaran



Happy reading....


Hujan mulai turun ketika malam semakin larut. Tetesan air menghantam tanah dengan suara gemericik pelan yang semakin lama semakin deras.

"kita cari sama-sama aja," ucap Kevan yang masih berdiri di sampingnya.

Langit menggeleng. "Gak, Van. Kalian semua balik aja ke asrama. Gue bakal cari Jian sendiri."

"Tapi-"

"Gue janji bakal bawa dia pulang," potong Langit, matanya menatap Kevan dengan penuh tekad. "Gue gak bakal ninggalin dia sendirian.lo pulang aja sama yang lain,Arkan gue nitip kevan,jangan sampai dia nanti malah kabur dan ikut nyari"

"Iya Lo tenang aja"ujar arkan

Kevan mendesah panjang, masih ingin berdebat, tapi ia tahu bagaimana Langit saat sudah bertekad. Akhirnya, dengan enggan, ia pun menurut dan ikut teman-teman yang lain kembali ke asrama, meninggalkan Langit yang kini sendirian di bawah rintik hujan.

Tanpa membuang waktu, Langit melompat ke atas motornya, menyalakan mesin, lalu melaju menembus derasnya hujan malam. Jaketnya mulai basah, pandangannya sedikit kabur karena air yang terus turun, namun pikirannya hanya terfokus pada satu hal-menemukan Jiandra.

Saat melewati taman yang biasanya sudah sepi di malam hari, Langit memperlambat laju motornya. Sekilas, di antara bayangan lampu taman yang temaram, ia melihat seseorang masih duduk di ayunan, bersandar dengan kepala menunduk. Langit menajamkan pandangan, dan jantungnya berdetak lebih cepat saat mengenali sosok itu.

Jiandra.

Dengan cepat, ia memarkirkan motor di pinggir jalan dan berlari mendekat.

"Jian!" panggilnya.

Anak itu tidak merespons. Tubuhnya kaku, wajahnya pucat, rambutnya basah kuyup karena hujan.

Langit berjongkok di depannya, menatap wajahnya dengan cemas. "Lo kenapa di sini? Ayo pulang."

Jiandra mengangkat wajahnya perlahan, menatap Langit dengan mata yang entah kenapa terlihat begitu kosong. "Gue gak mau pulang."

Langit menghela napas panjang, mencoba bersabar meskipun kecemasan di dadanya sudah mulai bercampur dengan emosi. "Jia, kita udah nyariin lo daritadi. Lo bisa sakit kalau terus kayak gini."

Jiandra tersenyum miring, tapi matanya masih kosong. "Sakit?" gumamnya. "emang Abang peduli?"

Langit mengerutkan kening. "Apaan sih? Jelas gue peduli, Jia. Makanya gue nyariin lo."

"Kalau emang peduli," suara Jiandra bergetar, "kenapa Abang nyembunyiin tentang Sky dari aku?"

Langit merasa seolah seluruh udara di sekelilingnya menghilang. Jiandra mengetahuinya.

Jiandra mengepalkan tangannya yang gemetar, suaranya mulai bergetar oleh amarah yang ia tahan. "Kenapa, Bang?" matanya menatap Langit dengan tatapan yang terasa menyayat. "Kenapa lo dan Mama selalu diam? Kenapa lo gak pernah cerita soal Sky?"

Langit merasakan sesuatu menghantam dadanya begitu keras hingga ia kehilangan kata-kata.

"selama ini aku cuma pengganti, ya?" Suaranya bergetar, matanya merah.

"Kamu ngomong apa sih?! Dengerin Abang dulu!" Langit frustrasi, langkahnya maju selangkah, tapi Jian mundur seolah menjaga jarak.

"Apa lagi yang perlu gue denger?" Jiandra tertawa kecil, getir, tetapi air mata mulai mengalir dari matanya, bercampur dengan hujan. "Fakta kalau gue cuma pengisi kekosongan di hidup kalian? Fakta kalau Mama dan Abang gak benar-benar ngeliat gue sebagai Jiandra, tapi sebagai bayangan Sky yang udah gak ada?"

Haunted dormitory [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang