33 | Jawaban Demi Jawaban

1K 79 6
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Didin dan Marwan saling menatap, lalu mengangguk satu sama lain untuk meyakini bahwa arwah Amira sedang menunjukkan tempat yang benar. Keduanya segera mendekat lebih dulu ke arah kuburan yang ditunjuk oleh arwah Amira, setelah memberi tanda pada Aji dan Arif agar tidak mengikuti sementara waktu. Marwan berdiri di ujung, sementara Didin berdiri di samping kuburan. Arwah Amira masih ada di sana dan tampaknya akan menetap cukup lama. Tak seperti saat mereka mendekatinya ketika dia muncul di halaman rumah baru milik Bagja. Hal itu menandakan, bahwa arwah Amira berasa sangat dekat dengan keberadaan jasadnya terkubur.

"Jadi benar, kalau di sinilah jasadmu dikuburkan asal-asalan?" tanya Didin.

"Iya."

Didin pun kembali menatap ke arah Marwan, yang saat itu sedang mengamati situasi sekitar. Arif dan Wiwit benar-benar tidak mengusik Aji dan Ardan, yang tampaknya sedang serius mendengarkan Marwan dan Didin. Mereka berdua mulai memahami, bahwa saat itu arwah Amira benar-benar ada di sekitar salah satu kuburan.

"Berarti akan sedikit ada hambatan, jika kami mencoba menggali kuburan untuk mengambil jasadmu. Benar, 'kan?" tanya Marwan.

"Iya."

Aji pun segera menoleh ke arah Arif, setelah mendengar jawaban dari arwah Amira. Ardan tetap diam di tempat, karena masih menduga-duga soal hambatan seperti apa yang akan menghalangi proses pengambilan jasad Amira dari kuburan itu.

"Jasadnya benar-benar dikuburkan di situ, Rif. Amira yang menunjukkannya secara langsung pada Paman Didin dan Ayahku," ujar Aji, berbisik.

"Lalu bagaimana dengan jawaban dari pertanyaan yang Ayahmu ajukan? Arwahnya Amira menjawab apa?" tanya Arif, ikut berbisik.

Wiwit ikut mendengarkan, namun tidak memberi tanggapan apa-apa karena takut salah bicara. Saat ini ia hanya memerhatikan Ardan. Ia takut Ardan menyesali sesuatu, yang salah satunya adalah menyesal karena tidak menahan atau membawa kabur Amira sebelum dibawa pergi oleh Bagja dan Rusna. Ardan pastinya masih teringat dengan kali terakhir pertemuan dengan Amira bertahun-tahun lalu. Meski Ardan saat itu masih berusia delapan tahun ketika ditinggalkan, namun ingatannya pasti masih segar ketika bayang masa lalu kembali menghantuinya.

"Arwah Amira bilang, 'iya'. Kita pasti akan mendapat sedikit hambatan saat akan mencoba mengambil jasadnya. Alasannya sudah pasti karena jasad Amira adalah jasad yang pernah ditumbalkan nyawanya, oleh Paman Bagja dan Bibi Rusna dalam ritual pesugihan. Tapi, aku belum tahu hambatan seperti apa yang akan muncul."

Arif pun mulai berpikir keras, setelah mendengar jawaban Aji. Mendengar soal hambatan, ia jelas langsung teringat dengan pocong-pocong pesugihan yang selalu diperintah oleh Rusna atau Bagja untuk meneror Ibu dan Adiknya. Jadi sudah barang pasti, hambatan yang akan datang itu kemungkinan berasal dari makhluk halus.

"Apakah menurutmu, hambatan yang dimaksud adalah hambatan dari makhluk halus?" Arif kembali bertanya.

"Bisa jadi, Rif. Dan kalau memang akan ada makhluk halus yang menghambat proses kerja Ayahku dan Paman Didin, aku pastinya akan berusaha menghadang makhluk halus itu sampai semuanya tuntas. Tidak boleh ada hal yang membuat kita tidak bisa mengambil jasad Amira. Aku akan berjuang keras untuk menghalangi hambatan itu, apa pun yang terjadi."

Ardan pun berhenti menatap ke arah arwah Amira, lalu beralih kepada Aji yang ada di sampingnya. Ia mendengar rencana yang Aji cetuskan, sehingga membuatnya merasa tidak bisa diam saja.

"Kalau memang nanti akan muncul makhluk halus untuk menghambat pengambilan jasad Adikku, mari kita hadapi sama-sama. Jangan kamu hadapi sendiri. Karena aku takut, kalau kamu yang akan dibawa pergi sebagai ganti jasad Adikku dan menjadi tumbal," bisik Ardan.

Aji pun menoleh ke arah Ardan. Ia mencoba mengamatinya, karena ingin tahu apakah itu benar-benar ajakan serius atau Ardan hanya ingin memperingatkan soal pertukaran antara jasad Amira dengan orang yang masih hidup agar menggantikan tumbal.

"Kamu yakin, ingin menghadapi makhluk apa pun yang akan muncul nanti?" Aji berusaha meyakinkan diri.

Ardan mengangguk.

"Ya, aku yakin. Setidaknya aku ingin berguna sekali saja, untuk membuat Adikku bisa pergi dengan tenang."

Wiwit pun mendekat pada Ardan dan menepuk-nepuk pundaknya dengan tegas seperti biasa. Ardan menatapnya dan kembali tidak bersuara.

"Yang kuat, Nak. Yang kuat. Kamu harus kuat menghadapi apa pun yang nantinya akan kamu saksikan. Jangan takut pada apa pun. Jangan ragu dengan kemampuanmu sendiri. Bibi yakin, kalau kamu pasti bisa melewati semuanya sampai benar-benar tuntas. Ingat, segala sesuatu yang bathil itu harus dihentikan dan tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Kamu diberi kelebihan oleh Allah sejak lahir, maka kamu harus menggunakannya untuk hal yang benar-benar tepat. Ingatlah selalu akan hal itu, Nak. Jangan pernah lupa," ujar Wiwit, memberi keyakinan yang besar pada Ardan.

Ardan kembali mengangguk.

"Iya, Bi. Insya Allah akan aku mengingat hal itu baik-baik," janjinya.

Septi dan Resti menatap keluar jendela di lantai dua. Hujan belum juga reda sejak tadi. Di langit terlihat awan yang begitu pekat dan belum ada tanda-tanda bahwa hujan akan berhenti. Kedua wanita itu sengaja naik ke lantai dua setelah shalat dzuhur. Mereka ingin memantau kegiatan di rumah milik Bagja, yang sebentar lagi akan rampung. Rositi dan Titi ada di lantai bawah. Mereka sedang menyiapkan makan siang bersama di dapur.

"Pembangunan rumah itu akan segera selesai, Ti. Entah apa yang akan terjadi, kalau rumahnya benar-benar selesai tapi ritual pesugihannya belum dihancurkan," ujar Resti.

"Pastinya sesuatu yang buruk, Res, yang akan terjadi," balas Septi. "Maka dari itulah sebaiknya kita banyak-banyak berdoa, agar jasad Amira bisa segera ditemukan. Karena hanya setelah jasad Amira ditemukan, barulah ritual pesugihan yang dilakukan oleh Paman Bagja dan Bibi Rusna bisa di hancurkan."

"Tapi bagaimana kalau jasad Amira tetap tidak ketemu, Ti? Apakah keberadaan pocong-pocong pesugihan yang ada di sekeliling rumah itu tidak akan menyebar ke seluruh desa? Apakah nanti mereka tidak akan mencoba mencari tumbal di desa ini? Semua itu sangat meresahkan, Ti. Desa kita akan jadi desa yang mencekam. Desa ini akan ditinggalkan perlahan-lahan oleh semua warga, kalau sampai ritual pesugihan itu tidak bisa dihancurkan."

Mendengar keresahan yang Resti ungkapkan, Septi pun segera merangkulnya dengan lembut. Ia tahu, bahwa yang Resti katakan adalah hal yang harus benar-benar dipikirkan. Namun tanpa ditemukannya jasad Amira, sudah jelas semua kekhawatiran itu tidak akan bisa diatasi.

"Berdoalah yang baik, Res. Berdoalah agar jasad Amira bisa ditemukan. Karena hanya itu satu-satunya jalan yang bisa membuat Ayahku dan Bapakmu menghentikan ritual pesugihan. Jangan pernah berpikir mereka akan gagal, Res. Jangan pesimis," pinta Septi, mencoba meyakinkan Resti.

* * *

SAMPAI JUMPA BESOK 🥰

SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA
(bagi yang menjalankan 🥰🙏🏻)

Pocong PesugihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang