Hanya berselang satu hari, Zeze sudah mendengar kabar yang cukup mengejutkannya. Memang, Mama Tati pernah mengatakan bahwa satu-satunya cara agar dirinya bisa selamat adalah dengan menikah. Hal itu juga dipertegas oleh Pakde Gara. Ia tahu harus menerimanya. Menerima kesialan berbalut takdir. Tapi ia tidak menyangka bahwa secepat ini ia dihadapkan pada kenyataan bahwa dirinya akan segera menikah.
Kenapa seolah-olah, menikah itu adalah hal yang mudah?
Kenapa seolah-olah, keadaan memaksanya untuk siap di saat ia tidak siap?
Dan kenapa bisa... Mas Aby meminta Pak Gavin untuk mengulurkan bantuannya?
Keegoisan macam apa yang layak ia sematkan untuk menjuluki sang kakak? Ia membelenggu temannya sendiri dalam pernikahan yang sifatnya membantu. Memangnya Pak Gavin tidak punya kehidupan sendiri? Impian pernikahannya sendiri? Atau bahkan... mungkin masih berharap pada tunangannya yang dulu?
Zeze benar-benar bingung.
Semua kecamuk itu tak kunjung mereda bahkan sampai pagi menjelang. Kepalanya pusing, badannya sedikit menghangat karena terlalu banyak hal yang ia pikiran.
Ia kelelahan secara emosional.
Selama perjalanan menuju kantor pun, ia masih diam tak banyak bicara seperti biasanya. Aby pun sama diamnya. Keadaan sama sekali tidak membaik sampai ia berada di kantor. Kepalanya masih terasa begitu nyeri.
"Ze? Lo beneran udah enakan?" Fiyu menyentuh Zeze saat mengambil skrip di tangannya. Suhu tubuh Zeze membuat Fiyu mengernyit. "Lo udah ke rumah sakit belum sih?" tanyanya lagi.
Zeze hanya menggeleng. Mungkin keadaannya akan jauh lebih baik jika memang penyakitnya ini adalah penyakit medis. Tapi ia bisa berharap apa jika berkali-kali hasil pemeriksaan kesehatan dari Mbak Hanif tidak mendeteksi penyakit apapun.
Ia tersenyum tipis. “Gue kurang ngopi aja.”
"Ke cafe yuk, gue anter," tawar Fiyu.
Zeze menggeleng. “Gue sendiri aja. Mas Dimas butuh skrip ini soalnya, nitip ya.”
Fiyu mengiyakan dan Zeze melangkah keluar pintu kaca menuju Cafe GEA berada.
Cafe yang terletak di lantai empat ini tampak seperti cafe pada umumnya. Beberapa pekerja begitu fokus mengotak-atik laptopnya masing-masing dengan ipods di telinga mereka. Semua tampak sibuk dan terlihat normal. Ia membayangkan, seandainya bisa memiliki hidup yang sama seperti mereka, mungkin... ia tak perlu takut dengan kematiannya, dengan kesakitannya, dengan sosok yang akan mengambil sukmanya.
Mengetahui bahwa dirinya berada di ambang kematian, itu benar-benar merusak psikisnya.
Zeze melangkah kembali menuju pintu lift setelah cappucino hangat sudah berada di tangannya. Tapi pada saat dirinya melewati pintu balkon, semilir angin datang menyejukkan tubuhnya. Langkahnya terhenti. Ia menoleh, memperhatikan langit yang mulai menampakkan sinar matahari—yang mengintip dari celah-celah awan mendung. Ia suka sekali suasana seperti ini. Suasana ketika sinar matahari muncul setelah hujan. Rasanya seperti... ada harapan baru yang akan datang.
Perlahan ia melangkah menuju balkon. Ada taman kecil yang membuat udaranya begitu segar. Dan ia menyukainya. Ia suka berada di sini. Tenang.... dan damai.…
Ada perasaan nostalgia yang Zeze rasakan sekarang. Dulu... ia selalu duduk di teras rumahnya untuk melihat matahari yang akan muncul dari balik celah awan mendung. Ia selalu mengangkat tangannya untuk menyerap sinar matahari yang tidak terlalu menyengat itu. Dan satu-satunya yang selalu menemaninya berada di teras itu adalah… Mama.

KAMU SEDANG MEMBACA
THE NIGHT BETWEEN US
HorrorBagaimana seandainya tahun ini adalah giliranmu menjadi tumbal pesugihan ayah kandungmu sendiri? "Sudah tiba waktunya sang iblis menagih darah perawan keturunan bapakmu. Satu-satunya cara agar adikmu bisa selamat, nikahkan dia." -Hartati Mayangkusum...