- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
Arif segera mengambilkan air minum untuk Wiwit. Wiwit harus segera ditenangkan, agar tidak mengalami shock berkepanjangan. Saat Wiwit sedang dibantu minum oleh Ardan, Marwan dan Didin tiba di warung itu bersama Ketua RT dan RW setempat. Aji mendekat pada Marwan, sambil menunjuk ke arah Ardan yang saat ini sedang duduk di samping Wiwit.
"Itu ... itu anak Paman Bagja dan Bibi Rusna, Yah. Namanya Ardan. Dia ditinggalkan oleh mereka dan hanya Amira yang dibawa saat pergi dari desa ini," jelas Aji.
Marwan segera menepuk-nepuk tegas pundak Aji, seraya mengangguk dan tetap memasang ekspresi yang tenang.
"Iya, Nak. Ayah sudah tahu mengenai hal itu dari Pak RT dan Pak RW, yang tadi Ayah temui bersama Paman Didin," ujar Marwan.
Aji pun menatap ke arah Candra--Ketua RT--dan Hasto--Ketua RW--yang saat itu juga tengah menatapnya.
"Benar, Nak. Kami berdua sudah memberi tahu, bahwa di desa ini masih ada satu anak Pak Bagja dan Bu Rusna yang sengaja ditinggalkan ketika mereka pindah. Dan itulah orangnya yang bernama Ardan," jelas Candra.
Arif memberikan ruang kepada Marwan dan Didin. Ia tahu bahwa mereka akan mendekat pada Ardan dan menanyakan banyak hal secara langsung. Ardan menatap ke arah Marwan dan Didin ketika keduanya mendekat. Ia tahu persis, bahwa Marwan dan Didin juga mempunyai kelebihan yang sama dengan Aji. Hingga Ardan pun menyadari, bahwa artinya bukan hanya Aji yang tahu bahwa Amira telah tiada.
"Jadi ... benar bahwa kamu adalah anak Pak Bagja dan Bu Rusna?" tanya Marwan.
Wiwit memberi tanda pada Ardan agar menjawab pertanyaan itu. Namun Ardan masih merasa ragu untuk menjawab, sehingga memilih diam.
"Ardan melihat arwah Amira beberapa hari lalu, Yah. Dia melihatnya di halaman depan gubuk kosong itu," ujar Aji, memberi tahu hal lain kepada Marwan.
Mendengar yang Aji katakan, Marwan dan Didin pun kini fokus menatap kedua mata Ardan. Mereka menemukan tandanya. Tanda yang sama dengan tanda yang mereka miliki sejak lahir. Mengindikasikan bahwa Ardan selama ini bisa melihat makhluk halus, di mana pun dan kapan pun. Didin kini beralih menatap ke arah Candra dan Hasto, setelah tak lagi menatap kedua mata Ardan.
"Kalau boleh tahu, Ardan ini ditinggalkan karena apa? Apakah ada alasan tertentu, sehingga Ardan ditinggalkan sendirian di rumah depan sana oleh Pak Bagja dan Bu Rusna?" tanya Didin.
"Untuk masalah itu, hanya Bu Wiwit yang tahu lebih jelasnya. Kalau yang kami tahu, mereka meninggalkan Ardan karena tidak sanggup membiayai dua orang anak sekaligus. Hanya itu. Selebihnya, mungkin Pak Didin bisa tanyakan langsung pada Bu Wiwit," jawab Hasto.
Didin kembali berbalik. Marwan tampaknya sudah tahu, yang mana wanita bernama Wiwit yang dimaksud oleh Hasto. Arif menyodorkan tisu pada Wiwit, agar wanita paruh baya itu bisa menyeka airmatanya.
"Kami hanya tetangga. Sejak dulu, saya selalu memberikan bantuan pada Pak Bagja dan Bu Rusna, terutama saat saya mulai membuka warung makan. Mereka memang adalah warga yang paling miskin di desa ini, tapi para warga sama sekali tidak ada yang menutup mata terhadap mereka. Kami semua berusaha membantu sebisa yang kami mampu. Mulai dari memberi beras, sayur-sayuran, lauk-pauk, serta bumbu-bumbu yang biasa kami ambil di kebun atau sawah. Kalau saya sendiri, saya lebih sering membawakan mereka makanan yang sudah matang. Saya selalu membawakan mereka makanan, ketika saya baru selesai memasak. Jadi bisa saya pastikan kalau semua makanan itu segar dan masih panas."
Wiwit menyeka airmatanya. Ardan kembali menyodorkan air minum, agar Wiwit bisa kembali menenangkan diri. Marwan dan Didin tidak mengajukan pertanyaan lain. Mereka ingin mendengar segalanya hingga tuntas.
"Tapi Bu Rusna dan Pak Bagja tetap saja sering bertengkar perihal hidup mereka yang tidak pernah berubah sejak dulu. Meski sudah sering dibantu oleh para warga, tampaknya mereka tidak merasa puas dengan kehidupan mereka yang serba kekurangan. Mereka jadi semakin sering adu mulut dan ujung-ujungnya Ardan akan disiksa sambil disalah-salahkan atas hidup mereka yang susah. Para warga tentu saja akan segera mengambil Ardan ketika mulai dipukuli oleh Pak Bagja ataupun Bu Rusna. Meskipun kadang terlambat, tapi Ardan tetap berhasil kami ambil dan dijauhkan sementara dari kedua orangtuanya. Mereka benar-benar tidak memikirkan bagaimana kondisi Ardan, Pak. Karena setelah ditenangkan oleh warga, mereka tetap kembali memukulinya setiap kali sedang bertengkar."
Aji jelas merasa geram saat mendengar hal itu. Bahkan Arif terlihat beberapa kali mengembuskan nafas dengan kasar, demi menahan emosinya terhadap Bagja dan Rusna.
"Sampai akhirnya, Pak Bagja dan Bu Rusna memutuskan akan meninggalkan desa ini. Waktu itu sedang hujan lebat. Semua orang ada di dalam rumah masing-masing. Hanya saya yang ada di teras warung, karena warung saya tetap buka meskipun hujan tidak berhenti sejak subuh. Saya melihat mereka mendorong Ardan dari becak yang akan membawa mereka pergi. Saya berlari secepat mungkin dan meraih Ardan sebelum diinjak-injak oleh Pak Bagja. Terakhir kali itulah akhirnya saya tahu, bahwa sebenarnya ada alasan lain mengapa mereka begitu membenci Ardan dan selalu menyiksanya. Pak Bagja bilang, 'Ambil saja anak terkutuk itu, aku enggak sudi punya anak yang bisa melihat setan. Mau kamu pelihara ataupun kamu antar dia ke panti asuhan, aku enggak peduli'. Setelah itu mereka pergi dan hanya membawa Amira. Mereka enggak pernah kembali lagi. Saya akhirnya memutuskan mengambil Ardan dan memintanya tinggal di sini. Saya enggak mau Ardan dibuang ke panti asuhan. Dia enggak salah apa-apa, meskipun mungkin agak sedikit aneh karena dia bisa melihat makhluk halus."
"Enggak aneh, kok, Bi. Demi Allah itu bukan hal yang aneh," sahut Aji dengan cepat. "Saya juga bisa melihat makhluk halus, Bi. Sejak baru lahir saya sudah bisa melihat yang tidak terlihat oleh orang lain. Ayah saya pun begitu, Paman saya ini juga begitu. Enggak ada yang aneh atas diri Ardan. Semua orang dilahirkan dengan kemampuan dan kelebihan yang berbeda-beda. Jadi Ardan sama sekali tidak aneh, meski dia bisa melihat makhluk halus. Lagi pula, makhluk halus apa, sih, yang dilihat Ardan sampai orangtuanya kesetanan dan memukuli dia? Seseram apa makhluk halus yang dia lihat, sehingga dia harus dipukuli setiap kali mereka bertengkar? Memangnya Kuntilanak seseram apa, sih? Genderuwo yang nyata-nyata wujudnya hitam besar bertaring saja tidak seseram itu aslinya. Bisa-bisanya mereka ...."
"Aku melihat arwah Paman dan Bibiku, setelah mereka menumbalkannya untuk Iblis," potong Ardan, mendadak bisa bicara dengan normal.
Semua mata pun menatap kaget ke arahnya, termasuk Wiwit yang selama ini meyakini kalau Ardan memang kesulitan bicara sejak lahir.
"Aku mulai melihat arwah mereka, setelah orangtuaku mengubur jasadnya di depan rumah kami. Dan ketika aku mengatakan soal kemunculan arwah Paman dan Bibiku yang tampak sangat marah pada orangtuaku, mereka mulai memukuli aku karena takut ritual pesugihan yang mereka lakukan akan diketahui oleh orang lain. Sayangnya, ritual pesugihan itu akhirnya gagal meski mereka telah menumbalkan Paman dan Bibiku. Iblis yang mereka sembah hanya mau menerima tumbal yang usianya belum memasuki angka dua puluh lima tahun. Maka dari itu mereka pergi membawa Amira dan meninggakan aku di sini. Mereka tahu bahwa aku akan menghalangi, ketika mereka akan menumbalkan Amira."
* * *
SAMPAI JUMPA BESOK 🥰
SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA
(bagi yang menjalankan 🥰🙏🏻)

KAMU SEDANG MEMBACA
Pocong Pesugihan
Horror[COMPLETED] Rumah kecil itu mendadak dibangun menjadi sangat mewah. Penghuninya juga tidak lagi terlihat sederhana seperti dulu. Semuanya berubah. Mulai dari pakaian, aksesoris, alas kaki, dan bahkan memiliki mobil keluaran terbaru. Di tubuh mereka...