- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
Ponsel Resti berdering, ketika baru saja menuangkan es kelapa muda ke dalam gelas untuk Ibunya. Setelah mencabuti rumput, Titi segera menikmati es kelapa muda buatan Septi dan Resti. Rositi masih menikmati rujak yang segar, membiarkan Titi meminum duluan es kelapa muda itu. Resti mengeluarkan ponselnya dari saku daster, kemudian membuka pesan pada WhatsApp yang baru saja masuk.
"Eh, Ti, ini Ita kirim voice note," ujar Resti, memberi tahu Septi yang masih sibuk mengupas nanas.
"Coba kamu putar voice note-nya. Biar kita dengar sama-sama," pinta Septi.
Resti pun menuruti permintaan itu. Ia segera menekan tombol play, lalu membiarkan voice note kiriman Ita terdengar oleh semua orang.
"Assalamu'alaikum. Aku mau kasih kabar kalau si Rusna baru saja mengirimkan lagi pocong untuk meneror aku dan Mamahku, Res. Mamahku kembali ketakutan dan sampai sekarang masih ditenangkan oleh Papahku. Untung saja tadi pagi Mas Aji menyimpan air yang sudah dia siapkan, dan mengajari aku doa untuk mengusir pocong-pocong sialan itu. Pocong-pocong kiriman si Rusna sudah minggat dari depan pagar rumah kami, setelah aku mengusirnya. Sekarang aku sedang memikirkan, dengan cara apa sebaiknya kubuat jera perempuan setengah setan itu. Tolong beri aku masukan. Bagusnya aku berbuat apa untuk membuat si Rusna itu tidak lagi berani bermain-main dengan keluargaku?"
Septi langsung menelan salivanya, usai mendengar nada garang yang Ita keluarkan. Rositi dan Titi bahkan langsung mengusap dada masing-masing, setelah mendengar isi voice note tersebut. Mereka mengusap dada bukan karena kaget mendengar omelan dan ungkapan geram yang Ita lakukan. Mereka mengusap dada karena dugaan bahwa Rusna dan Bagja akan kembali melakukan sesuatu di luar nalar benar-benar terbukti. Kedua orang itu meneror Patmi dan Ita lagi, namun pastinya mereka tak menduga kalau Ita akan berhasil mengusir pocong-pocong pesugihan itu.
"Duh, akan kacau kalau sampai Ita ngamuk lagi seperti yang lalu, Ti. Kita harus berbuat apa kira-kira?" tanya Resti.
"Kalau kita mencegah, nanti malah kita yang kena semprot oleh Ita. Tapi kalau kita tidak mencegahnya ... ah ... Bibi Rusna pasti akan kena lemparan sesuatu yang lebih busuk lagi dari tahu busuk jualannya Paman Khoir," jawab Septi.
Titi dan Rositi teringat kembali dengan tahu busuk yang diambil Ita dari bagian bawah gerobak sayur milik Khoir. Mereka tidak tahu barang busuk apa lagi, yang nantinya bisa didapat oleh Ita untuk dilemparkan ke wajah Rusna.
"Kalau menurut Ibu, sih, biarkan saja jika Ita mau mengamuk lagi pada Bu Rusna. Disimpan rapat-rapat pun, pastinya semua warga desa akan tahu bahwa Bu Rusna dan Pak Bagja memang sedang menjalani ritual ilmu hitam. Jadi kalau Ita akan mengamuk lagi, kita hanya perlu menariknya agar menjauh setelah dia melemparkan barang busuk lain ke wajah Bu Rusna," saran Titi.
Rositi pun menatap ke arah Septi dan Resti, setelah mendengarkan saran dari Titi.
"Meskipun Ibu enggak suka melihat kekerasan dan perkelahian, tapi kalau Ita yang melakukannya untuk memberi Bu Rusna pelajaran, maka Ibu akan mendukung. Enggak usah dicegah. Biarkan Ita melampiaskan amarahnya. Karena bagaimana pun, Ita memang berhak marah karena Mamahnya selalu saja diganggu sama Bu Rusna. Pasti Ita sangat memikirkan kesehatan mental Bu Patmi, makanya dia marah besar karena Bu Rusna kembali mengirim pocong-pocong pesugihannya untuk meneror," tambah Rositi.
Resti dan Septi pun langsung tersenyum lesu, menunjukkan bahwa mereka hanya bisa pasrah jika memang Ita akan menggila lagi terhadap Rusna. Mereka jelas tidak bisa melakukan apa-apa, karena tahu bahwa Ita sangat menyayangi kedua orangtuanya dan tidak akan rela apabila mereka diganggu, bahkan oleh setan sekalipun.
"Jadi ... ini bagusnya aku beri jawaban bagaimana, ya, pada Ita?" tanya Resti.
"Jawab saja, lakukanlah apa yang menurutmu pantas untuk dilakukan terhadap Bu Rusna. Tapi ingat, jangan kebablasan," saran Septi.
"Oke. Akan kukirimkan dia balasan seperti itu."
Aji dan Arif melihat beberapa plang dari toko-toko di pinggir jalan yang mereka lewati. Dari beberapa plang itu akhirnya mereka tahu kalau kini mereka telah tiba di Desa Wonosari, Malang. Daerah itu tepat berada di lereng Gunung Kawi bagian selatan. Perjalanan mereka benar-benar hening sejak tadi, karena Didin tertidur sangat lama dan tak ada yang berani mengusik. Aji dan Arif pun sejak tadi memutuskan untuk bicara melalui chat WhatsApp, agar obrolan mereka tidak perlu mengeluarkan suara sama sekali.
Marwan menepuk-nepuk pundak Didin beberapa kali. Hal itu membuat Didin menggeliat dan mulai terbangun dari tidurnya.
"Kita sudah sampai di Wonosari, Din," ujar Marwan.
Kedua mata Didin pun seketika membola. Ia mengucek matanya beberapa saat, agar pandangannya yang kabur usai bangun tidur bisa kembali jelas.
"Wonosari bagian mana ini, Wan? Baru-baru sekali kita tiba, 'kan?" tanya Didin.
"Iya. Baru-baru sekali kita tiba," jawab Marwan.
Marwan segera menepikan mobilnya, agar Didin bisa menenangkan diri lebih dulu setelah bangun tidur. Didin segera membuka tas kecilnya, untuk mengeluarkan selembar fotokopi kartu keluarga dari dalam tas tersebut. Marwan memerhatikan hal itu, begitu pula dengan Arif dan Aji yang ada di kursi belakang. Didin pun menyodorkan fotokopi kartu keluarga tersebut pada Marwan, sambil menunjukkan alamat yang tertera pada bagian ujung atas.
"Kita harus mendatangi alamat ini, Wan," ujar Didin.
Marwan menerima lembaran fotokopi kartu keluarga itu dan membaca alamat yang tertera. Aji dan Arif segera membuka Google Maps di ponsel masing-masing, sambil mengintip alamat dari balik punggung Marwan.
"Alamat siapa ini, Din?" tanya Marwan.
"Alamat lama Pak Bagja dan Bu Rusna, sebelum mereka tinggal di desa kita. Aku masih memegang fotokopi kartu keluarganya yang lama, karena itu adalah arsip yang harus kusimpan meski mereka kini sudah berganti domisili. Ya ... ternyata arsip lama itu bisa digunakan untuk pencarian kita saat ini," jawab Didin.
Marwan masih menatap alamat pada fotokopi kartu keluarga itu, ketika Arif memperlihatkan ponselnya kepada Marwan.
"Ini lokasi dari alamat itu, Paman Marwan. Paman bisa mengikuti arahan dari Google Maps ini kalau sudah siap jalan," ujar Arif.
Marwan menerima ponsel itu dan mengamati arah jalanan yang diperlihatkan pada layar.
"Oke. Sebaiknya kita jalan sekarang juga," putus Marwan, sambil menyerahkan fotokopi kartu keluarga yang dipegangnya ke tangan Didin. "Ponsel kamu Paman pegang dulu, ya, Nak Arif. Akan Paman simpan pada penyangga di depan sini."
"Iya, Paman Marwan. Pakai saja dulu. Tidak apa-apa," jawab Arif.
Mobil Jeep itu pun kembali melaju dan kini mengikuti arah menuju ke alamat yang harus mereka datangi.
* * *
SAMPAI JUMPA BESOK 🥰
SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA
(bagi yang menjalankan 🥰🙏🏻)

KAMU SEDANG MEMBACA
Pocong Pesugihan
Horror[COMPLETED] Rumah kecil itu mendadak dibangun menjadi sangat mewah. Penghuninya juga tidak lagi terlihat sederhana seperti dulu. Semuanya berubah. Mulai dari pakaian, aksesoris, alas kaki, dan bahkan memiliki mobil keluaran terbaru. Di tubuh mereka...