28 | Melawan

903 74 37
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

ISTRI KESAYANGANKU
Pak, barusan Bu Rusna sama Pak Bagja marahin mandor. Mereka menyalah-nyalahkan mandor, karena katanya tidak menjaga sesajen seperti yang mereka suruh. Sekarang mereka pergi lagi dari sini dan entah ke mana. Tapi Ibu sama Ibunya Aji curiga, kalau mereka mungkin saja akan menyiapkan sesajen yang baru atau melakukan hal-hal di luar nalar lainnya.

Didin membaca pesan itu sambil tersenyum-senyum sendiri. Marwan sudah biasa melihat kelakuan Didin tersebut. Ia tahu bahwa Didin sedang membaca pesan dari Titi, jika bibirnya terus mengulas senyum. Namun lain halnya dengan Aji dan Arif. Meski Didin terkenal murah senyum dan terkadang sangat konyol pada waktu-waktu tertentu, mereka tak pernah melihat tingkah Didin yang seperti anak remaja sedang kasmaran. Jadi sudah pasti kalau mereka merasa keheranan dengan apa yang dilihat saat itu.

"Din, jangan senyum-senyum sendiri begitu. Anak-anak di belakang terheran-heran melihat tingkah lakumu," tegur Marwan, yang baru saja berhenti melirik ke belakang melalui kaca spion.

Didin pun menoleh ke arah Aji dan Arif, lalu mengamati wajah keduanya.

"Kalian enggak pernah senyum-senyum sendiri kalau lagi baca pesan dari pacar?" tanya Didin.

Aji dan Arif langsung tersenyum serba salah, usai menerima pertanyaan seperti itu.

"Kita berdua enggak pernah punya pacar, Paman Didin," jawab Aji.

"Iya, Paman. Kita masih jomblo. Ting-ting," tambah Arif.

Didin pun langsung menahan mulutnya yang hampir saja mengeluarkan komentar.

"Kalau kalian nanti punya pacar atau istri, pasti kalian akan bertingkah seperti Paman barusan. Manusia jarang bisa menahan diri dan selalu mengekspresikan rasa bahagia ketika mendapat kabar dari pasangannya. Kalian pun nanti pasti akan begitu, jadi jangan terlalu heran saat melihat tingkah Paman," jelas Didin.

"Tapi Papahku perasaan enggak pernah begitu, deh," ujar Arif.

"Iya. Ayahku pun enggak pernah bertingkah seperti Paman, kalau menerima pesan dari Ibu," Aji setuju dengan ucapan Arif.

"Siapa bilang Ayah enggak pernah bersikap seperti yang Pamanmu lakukan? Kamu saja yang enggak pernah lihat," sahut Marwan, namun tetap memasang wajah datarnya.

Aji dan Arif akhirnya bungkam, setelah sanggahan mereka dipatahkan oleh Marwan. Didin pun terkekeh senang, lalu kembali menatap ke depan.

"Istriku bilang, Pak Bagja dan Bu Rusna baru saja memarahi mandor. Mereka menyalahkan mandor itu atas hancurnya sesajen yang mereka simpan. Padahal mandor itu sudah mereka suruh menjaga sesajen, tapi tetap saja sesajennya hancur. Jadinya mereka marah pada si mandor," ujar Didin.

"Hah! Mereka yang punya urusan dengan Iblis, orang lain yang harus repot menjaga sesajen. Betul-betul tidak tahu diri," komentar Marwan.

"Istriku juga bilang kalau saat ini Pak Bagja dan Bu Rusna kembali pergi dari sana. Dia merasa resah, karena takut kalau mereka akan kembali menyiapkan sesajen atau melakukan hal yang lebih gila lagi daripada sebelumnya."

"Beri tahu Ibunya Resti untuk tenang. Apa pun yang akan mereka lakukan, sebaiknya biarkan saja. Kita akan urus hal itu setelah menemukan jasad Amira," ujar Marwan.

"Oke. Akan kusampaikan segera pada bidadari kesayanganku," tanggap Didin, yang sudah kembali tersenyum-senyum saat menatap layar ponsel.

Rusna melempar tas tangannya yang mahal dengan penuh kekesalan. Bagja baru saja menutup pintu kamar hotel, lalu menghampiri Rusna yang kini sedang menikmati sekaleng bir dingin.

"Si Giono itu tololnya enggak main-main! Pertama, dia sudah membuat kita gagal mendapat tumbal gara-gara tidak becusnya dia menangani situasi. Dan sekarang, dia malah meninggalkan sesajen yang sudah kita percayakan padanya, sampai akhirnya sesajen itu dihancurkan lagi oleh seseorang. Benar-benar kurang ajar!" amuk Rusna.

"Sabar, Bu. Sabar dulu. Si Giono memang tidak paham bahwa dia harus menjaga sesajen itu sampai pagi. Mau kita salahkan bagaimana pun, nyatanya sudah kejadian dan sesajennya sudah hancur. Kita enggak bisa apa-apa lagi, selain menyiapkan sesajen yang baru," ujar Bagja, berusaha menenangkan Rusna.

Rusna kembali meneguk bir dingin yang masih tersisa dalam kaleng. Ia kemudian terpikirkan sesuatu, lalu menatap ke arah Bagja yang tengah membuka kulkas untuk mengambil kaleng bir di dalamnya.

"Ini pasti ulah si Patmi," ujar Rusna.

"Hah? Patmi?" heran Bagja.

"Iya. Si Patmi pasti menyuruh lagi orang yang telah menyelamatkan Ita dari teror pocong yang kita kirim. Orang itu kali ini dia suruh untuk menghancurkan sesajen yang kita simpan. Si Ita pastinya enggak bisa lolos begitu saja, dong, tanpa mendapat bantuan dari dukun. Jadi sudah jelas, kalau dukun itu pasti disuruh sama si Patmi untuk mengacaukan pekerjaan kita."

Bagja pun memikirkan hal itu dan merasa yang dipikirkan oleh Rusna adalah sesuatu yang masuk akal. Sudah pasti ada yang membantu Patmi dan Ita, Bagja pun curiga ke arah sana.

"Lalu, apa yang harus kita lakukan selanjutnya, jika itu memang ulah orang suruhan si Patmi?" tanya Bagja.

Rusna pun tersenyum kejam. Matanya melirik ke arah ruangan yang mereka jadikan tempat ritual.

"Ayo kita teror kembali mereka. Kali ini, kita teror si Patmi dan Ita secara bersamaan," ajaknya.

Patmi baru saja selesai menimba air dari sumur, sementara Ita juga sudah selesai memetik cabai rawit yang sudah ranum. Nugraha memerhatikan keduanya dari teras depan, karena masih saja takut kalau Patmi atau Ita kembali diteror oleh pocong kiriman Rusna. Ita segera menggandeng lengan Ibunya, agar mereka bisa bersama-sama meninggalkan halaman samping rumah. Mereka berencana membuat seblak, jadi Ita sengaja memetik beberapa bahan yang sudah tidak tersedia di dapur.

"Mau langsung bikin seblak? Enggak ada yang mau istirahat dulu?" tanya Nugraha.

"Pengen seblaknya sekarang, Pah," jawab Patmi.

"Padahal bisa beli, loh, kalau Mamah pengen seblak. Biar Mamah enggak capek," saran Nugraha.

"Enggak enak, Pah. Mamah enggak akan suka. Beda rasa seblaknya, kalau enggak dibikin sendiri," jawab Ita.

Baru saja mereka melepas sandal dan akan memijak pada area teras, tatapan Patmi dan Ita langsung tertuju pada beberapa pocong yang telah berdiri di depan pagar rumah mereka. Hal itu membuat Patmi segera memeluk erat Nugraha, sementara Ita menatap tajam ke arah pocong-pocong yang muncul itu.

"Oh ... si Rusna lagi kurang kerjaan, ya, hari ini. Beraninya dia mencoba meneror aku dan Mamahku lagi. Butuh dikasih pelajaran betul si perempuan setengah setan itu!" geram Ita.

Nugraha ingin mencegah Ita melangkah meninggalkan teras. Namun keinginannya itu harus terhalang oleh Patmi yang sedang mencari perlindungan darinya. Ita meraih sebuah botol air mineral berukuran besar yang sudah Aji siapkan tadi pagi ketika berkunjung, lalu membukanya sambil menatap tajam ke arah pocong-pocong yang tengah melompat-lompat di depan pagar rumah.

"A'udzubillah himinasy syaitonnirojim. Bismillahirrahmanirrahim. A'udzu bi wajhillahil kariim wa bi kalimatillahit tammati lati la yujawizuhunna barrun wala faajirun min syarri maa yanzilu minas sama'i, wa min syarri ma ya'ruju fiha, wa min syarri ma dzara'a fil ardhi, wa min syarri ma yakhruju minha, wa min fitanil laili wan nahari, wa min thoriqil laili wannahari, illa thariqan yanthiqu bi khairin, ya rahman. Robbi a'uudzubika min hamazaatisy syayaathiin wa a'udzubika robbi ayyahdhuruun."

BYURRR!!!

Ita menyiram ke arah rongga-rongga pagar, tempat di mana pocong-pocong kiriman itu berada. Semua pocong itu langsung kembali menghilang dan serangan dari Ita membuat Rusna dan Bagja kembali mengalami hal yang buruk.

"KURANG AJAR!!! DUKUN MANA SEBENARNYA YANG MEMBANTU PATMI DAN ITA??? KENAPA AKU JADI DIKALAHKAN BERKALI-KALI SEPERTI INI???" amuk Rusna, tak bisa menerima bahwa dirinya kembali kalah.

* * *

Pocong PesugihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang