- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
Titi keluar dari kamarnya setelah selesai berpakaian. Ia segera mengambil topi floppy cokelat tua miliknya dari dalam lemari di ruang tengah. Ia akan memakai topi itu ketika berkebun bersama Rositi, agar kepalanya tidak kepanasan.
"Nak. Tunda saja mencucinya. Ayo kita ke rumah Paman Marwan. Kita temani Bibi Ros di rumahnya," ajak Titi, sambil membetulkan topi yang dipakainya.
Resti muncul tak lama kemudian dari ruang cuci. Ia jelas kaget saat melihat kalau Ibunya sudah terlihat sangat siap untuk pergi berkebun pagi itu.
"Memangnya Ibu betul-betul mau berkebun sama Bibi Ros?" tanya Resti.
Titi berhenti mematut diri di depan cermin. Ia pun tersenyum saat menatap wajah putrinya.
"Berkebun itu hanya alasan, Nak. Maksud sebenarnya adalah agar Ibu dan Bibi Ros bisa memantau kegiatan yang dilakukan Bu Rusna atau Pak Bagja. Lumayan, 'kan, biar kami ada kerjaan selama Bapakmu dan Paman Marwan pergi ke Wonosari," jawab Titi, yang kemudian berlalu meninggalkan Resti yang masih menganga di tempatnya.
"Wah ... menyala telingaku. Semoga saja enggak akan ada yang curiga, kalau nanti Ibu dan Bibi Ros sedang berusaha menguping pembicaraan orang-orang di seberang rumah Paman Marwan," harap Resti.
Resti dan Titi bergegas pergi ke rumah Marwan. Pintu dan pagar dikunci begitu rapat, agar tak ada orang yang bisa masuk meski hanya ke pekarangan rumah. Mereka berjalan santai sambil menyapa Ibu-ibu yang masih menyapu di halaman rumah masing-masing. Titi kelihatan sangat segar pagi itu dan begitu bersemangat. Lain halnya dengan Resti yang hanya memakai daster sebetis dan rambut tergulung asal-asalan. Membuat keduanya terlihat sangat kontras ketika diperhatikan lebih teliti.
Ketika mereka tiba di rumah Marwan, terlihat bahwa Aji dan Arif sudah siap ikut bersama Marwan dan Didin. Hal itu tentu saja membuat Titi sedikit kaget, namun memilih tidak bertanya-tanya. Aji tersenyum saat melihat kedatangan Titi, lalu mendekat dan mencium punggung tangannya seperti biasa. Arif memilih diam di dekat pot bunga mawar. Ia tidak ingin mengikuti Aji, karena ada Resti bersama Titi dan ia malu-malu untuk menunjukkan wajahnya di depan wanita itu.
"Nak Aji jangan lupa sering-sering beri kabar, ya. Jangan bikin Ibu dan Bibi resah di rumah," pesan Titi, sengaja berbisik.
"Siap, Bibi. Insya Allah aku akan sering-sering mengabari Ibu dan Bibi," janji Aji.
Didin segera menarik lengan Aji agar mengikuti langkahnya. Arif mengekori langkah Didin, setelah Didin menarik lengan Aji dari hadapan Titi. Keempat pria itu mengambil jalur samping rumah dan melewati kebun milik Marwan, agar bisa sampai pada tempat mobil Marwan tersimpan. Setelah mereka pergi, Resti segera mendekat pada Septi yang saat itu sedang mengupas buah mangga di teras. Titi dan Rositi langsung berkebun di halaman depan, mencabut-cabut rumput liar yang tumbuh dekat halaman.
"Kamu kok ke sini cuma pakai daster, Res? Enggak mau ikut berkebun?" tanya Septi.
"Alah, enggak usah. Berkebun hanyalah kamuflase bagi Ibuku dan Ibumu. Poin pentingnya adalah, mereka mau nguping dan mencuri-curi pandang ke rumah depan. Mereka mau mengumpulkan informasi dan akan disampaikan pada Ayahmu atau Bapakku," jawab Resti. "Ngomong-ngomong, kamu kok enggak pergi ke toko hari ini?"
"Tadinya aku sudah mau berangkat, Res. Cuma karena Ayah dan Mas Aji mau pergi ke Wonosari, akhirnya aku memutuskan enggak pergi ke toko. Biar karyawanku saja yang buka toko hari ini. Nanti aku pantau kerjaan mereka dari CCTV."
Septi mencelupkan mangga yang sudah ia iris ke dalam bumbu rujak, lalu menyuapkannya ke mulut Resti. Resti mencipipinya sambil mengacungkan kedua ibu jari, meski wajahnya sedikit mengerenyit akibat menahan asam di mulutnya.
"Mantap, Ti. Mangganya asam," ujar Resti.
"Ya, namanya juga mangga muda, Res. 'Kan kita mau makan rujak. Kalau kita pakai mangga yang masak, bukan ngerujak namanya."
Rumput-rumput liar baru tercabut di beberapa bagian. Rositi dan Titi tidak benar-benar ingin berkebun. Mereka hanya ingin bisa berada di luar tanpa ditanya-tanya oleh Rusna yang mungkin saja akan melihat keberadaan mereka. Maka dari itu, berkebun adalah satu-satunya alasan yang bisa mereka gunakan untuk memantau Bagja dan Rusna.
"Mereka sedang berjalan menuju halaman depan, Mbak. Sepertinya ada hal yang baru saja selesai mereka lihat di bagian belakang rumah," bisik Rositi.
"Ya, aku juga lihat Dek Ros. Wajah mereka terlihat sangat marah. Kira-kira, apa yang membuat mereka marah pagi ini?" tanya Titi, ikut berbisik.
Mereka pun segera kembali menatap rumput-rumput liar yang masih ada, lalu kembali mencabut-cabut perlahan.
"Kalau disuruh jaga sampai benar-benar aman, itu artinya kamu harus jaga sampai pagi! Bukan setelah sore malah kamu tinggal pulang!" tegas Bagja.
"Lagian apa susahnya, sih, jaga hal seperti itu? Memangnya kamu disuruh mengangkat wadahnya dua puluh empat jam? 'Kan enggak! Jaga begitu saja enggak becus! Gara-gara kamu, akhirnya kami harus mengulang lagi prosesnya dari awal!" tambah Rusna.
Rositi dan Titi pun paham, bahwa saat itu mereka sedang membicarakan soal sesajen yang kembali berhasil dihancurkan semalam oleh Marwan dan Didin. Karena tidak dapat menemukan siapa yang telah menghancurkan sesajen itu setelah dua kali dirusak, Bagja dan Rusna pun memilih memarahi mandor yang sebenarnya mereka tugaskan untuk menjaga sesajen itu.
"Maaf, Pak ... Bu ... saya enggak tahu kalau harus dijaga sampai pagi. Saya pikir cukup dijaga sampai keadaan aman, baru bisa saya tinggal pulang."
"Mana bisa aman kalau enggak kamu pantau?" geram Bagja. "Kamu 'kan enggak bisa lihat itu lagi setelah pulang ke rumah! Mana bisa aman?"
"Saya benar-benar enggak tahu kalau akan hancur lagi, Pak. Maaf."
"Sudah, pergi awasi semua buruh yang masih bekerja! Kamu bikin kami tambah pusing saja!" usir Rusna.
Setelah mandor itu pergi, Rusna dan Bagja pun segera menaiki mobil mereka. Keduanya pergi dari sana, karena berniat segera menyiapkan sesajen yang baru.
"Ck-ck-ck! Dia yang punya urusan sama Iblis, orang lain yang harus menjaga sesajennya. Benar-benar enggak waras mereka," desis Rositi.
Titi segera mengeluarkan ponselnya dari saku, setelah ia membuka sarung tangan khusus untuk berkebun yang sejak tadi dipakainya.
"Aku akan mengabari Bapaknya Resti dulu, Dek Ros. Dia harus tahu kalau dua orang itu baru saja memarahi mandor karena sesajen yang rusak. Soalnya mungkin saja mereka akan melakukan hal lain lagi ketika kembali ke rumah itu," ujar Titi.
"Iya. Kabari saja, Mbak. Bagaimana pun, mereka memang harus tahu apa saja yang terjadi di sini, terutama apa saja yang dilakukan oleh Pak Bagja dan Bu Rusna," Rositi pun menyetujui.
* * *
SAMPAI JUMPA BESOK 🥰
SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA
(bagi yang menjalankan 🥰🙏🏻)

KAMU SEDANG MEMBACA
Pocong Pesugihan
Horror[COMPLETED] Rumah kecil itu mendadak dibangun menjadi sangat mewah. Penghuninya juga tidak lagi terlihat sederhana seperti dulu. Semuanya berubah. Mulai dari pakaian, aksesoris, alas kaki, dan bahkan memiliki mobil keluaran terbaru. Di tubuh mereka...