26 | Mengajak

987 80 22
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

"Pagi ini, Yah? Ayah betul-betul mau berangkat ke Wonosari pagi ini?" Aji berusaha memastikan.

Marwan pun menatapnya.

"Iya, Nak. Ayah dan Paman Didin akan berangkat ke Wonosari pagi ini. Kita tidak boleh menunda-nunda lagi pencarian jasad Amira. Ayah sudah mendapat kabar soal di mana ritual pesugihan itu dilakukan oleh Pak Bagja dan Bu Rusna. Jadi sekarang hanya perlu menemukan jasad Amira agar bisa dikebumikan dengan layak lebih dulu, baru setelah itu Ayah akan fokus bersama Paman Didin untuk menghancurkan ritual pesugihan yang mereka lakukan," jelas Marwan.

"Kalau begitu aku ikut, ya, Yah," pinta Aji.

Rositi dan Septi langsung menatap ke arah Aji, karena merasa terkejut dengan permintaan tiba-tiba yang pria itu cetuskan.

"Terus kerjaanmu di kantor bagaimana? Kamu mau bolos kerja?" tanya Marwan, sengaja mengingatkan.

"Aku punya jatah cuti yang belum terpakai, Yah. Kalau aku minta cuti, pasti akan langsung dikasih, kok," jawab Aji, berusaha meyakinkan Ayahnya.

Marwan tampak berpikir selama beberapa saat, setelah mendengar bahwa Aji bisa meminta cuti ke kantornya. Ia tahu bahwa Aji memang butuh melatih insting dan tenaga dalamnya. Tapi semua itu tetap tergantung keputusan Rositi. Jika Rositi tidak memberi izin, maka ia tidak akan bisa menyetujui keinginan Aji untuk ikut dengannya. Bagaimana pun, Rositi sangat menyayangi Aji dan Septi. Sehingga terkadang ia tidak mau terjadi sesuatu yang buruk pada mereka, terutama saat keduanya tak ada di sisinya. Maka dari itulah tatapan Marwan kini tertuju pada Rositi yang telah mengisi piring di hadapannya dengan lauk-pauk.

"Kalau ikutnya Aji tidak akan mengganggu pekerjaan Ayah dan Mas Didin, maka ajak saja. Kalau Ayah tidak mengizinkan dia ikut, nanti malah Ibu yang pusing di rumah karena mendengarnya menggerutu tanpa henti," ujar Rositi.

"Benar itu, Yah. Ajak saja. Aku dan Ibu enggak mau kepusingan sama tingkah ajaibnya Mas Aji," tambah Septi, mendukung Ibunya seratus persen.

Aji pun terlihat kaget, usai mendengar apa yang diungkapkan oleh Ibu dan Adiknya.

"Kapan sih aku pernah menggerutu tanpa henti? Perasaan ...."

"Enggak usah bahas-bahas perasaan, Nak," potong Rositi dengan cepat. "Ibu sudah kenyang melihat tingkahmu selama ini, ketika ada keinginanmu yang ditolak oleh Ayah. Jadi kali ini, Ibu yang akan memohon sama Ayahmu biar kamu dibawa. Ibu ingin menikmati hari yang tenang bersama Ibunya Resti sambil berkebun."

Marwan pun terkekeh senang saat melihat ekspresi istrinya, ketika mengungkapkan perasaan di depan putra sulung mereka. Aji seketika menyembunyikan wajahnya dengan tisu, agar Septi tidak perlu menertawainya terlalu lama.

"Ya sudah, kalau Ibu memberi izin, maka Ayah akan membawa Aji," ujar Marwan.

"Ajak Arif juga, ya, Yah. Kebetulan Arif masih cuti dan enggak ada kerjaan di rumahnya," pinta Aji, sekali lagi.

"Kalau mau ajak Mas Arif, Mas Aji harus minta izin sama Bibi Patmi dan Paman Nugraha. Kalau mereka enggak mengizinkan, maka Mas Arif enggak boleh ikut meskipun Ayah memberi izin," ujar Septi.

"Oke. Aku akan ke rumahnya setelah sarapan. Aku akan memohon dengan manis pada Bibi Patmi, agar Arif bisa ikut," niat Aji, kemudian melanjutkan sarapannya.

Septi langsung menatap sebal ke arah Aji.

"Jangan kelihatan terlalu manis, Mas. Takutnya Bibi Patmi tetap enggak akan memberi izin dan malah Ita yang naksir sama Mas Aji," sarannya.

Setelah sarapan, Aji dan Marwan benar-benar keluar dari rumah. Keduanya sama sekali tidak menatap ke arah rumah milik Bagja, meski tahu bahwa Bagja dan Rusna sedang memerhatikan mereka. Aji memisahkan diri di persimpangan. Marwan menuju ke rumah Didin, sementara Aji akan menemui Arif.

Didin membukakan pagar, ketika melihat Marwan muncul pagi itu. Titi segera menyajikan teh dan pisang goreng yang baru matang, agar mereka bisa mengobrol santai di ruang tamu.

"Ada apa, Wan? Tumben pagi-pagi kamu ke sini. Biasanya kamu lebih senang ke kebun kalau pagi," ujar Didin.

"Di kebun belum ada yang bisa dipanen lagi, Din. 'Kan pohon pisang juga baru ditebang kemarin dulu. Ini ... pisangnya sudah jadi pisang goreng di rumahmu," tunjuk Marwan, ke arah piring berisi pisang goreng di atas meja.

Titi langsung mencubit lengan Didin, seraya tersenyum sangat manis ketika Didin menatapnya sambil meringis.

"Bapak ini kenapa suka banget lupa, sih? 'Kan kemarin dulu Ayahnya Aji ke sini bawa pisang raja dua tandan dari kebunnya. Bapak sendiri, loh, yang terima pisangnya," ujar Titi.

"Oh, iya ... iya ... Bapak ingat, Bu. Bapak sudah ingat," balas Didin.

Titi pun melepas cubitannya, lalu duduk dengan tenang sambil menikmati teh manis. Resti keluar dari kamarnya sambil membawa setumpuk cucian kotor. Tampaknya Resti baru saja mengganti sprei dan gorden pagi itu. Marwan segera memperlihatkan foto-foto yang dikirimkan oleh Cecep kepada Didin. Didin dan Titi pun sama-sama melihat foto-foto itu.

"Kata Pak Cecep, bau kemenyan di dalam kamar itu semakin menyengat saat dia masuk untuk membersihkan. Jadi Pak Cecep segera mengambil foto ruangan yang tidak boleh dia masuki, hanya dari bagian depan. Aku juga menyuruhnya cepat-cepat keluar dari kamar itu, kalau dia sudah selesai membersihkan. Takutnya Iblis yang disembah oleh Pak Bagja dan Bu Rusna datang mendadak ke sana. Pak Cecep jelas berada dalam bahaya jika sampai itu terjadi," jelas Marwan.

Didin pun menatap ke arah Marwan, meski Titi masih memerhatikan foto-foto di ponsel Marwan.

"Berarti saat ini kita sudah tahu di mana tempat ritual pesugihan itu dilaksanakan. Sekarang hanya perlu menemukan jasad Amira dan menguburkannya dengan layak, sebelum kita menghancurkan ritual pesugihan tersebut," ujar Didin.

"Ya. Maka dari itulah aku datang ke sini. Aku ingin mengajakmu pergi ke Wonosari. Aku sudah bilang pada Istriku dan dia memberi izin. Katanya dia mau menghabiskan waktu berkebun bersama Mbak Titi hari ini di depan ...."

Titi langsung berlari ke kamarnya untuk ganti pakaian. Didin dan Marwan sama-sama tahu, bahwa hal itu adalah pertanda bahwa Didin juga diberikan izin pergi ke Wonosari.

"Tutup saja pintunya, Pak, kalau Bapak akan keluar duluan bersama Ayahnya Aji. Hati-hati di jalan," pesan Titi, dari dalam kamar.

Didin kembali menatap Marwan, sambil menyerahkan ponsel yang tadi masih dipegangi oleh Titi.

"Ayo, kita berangkat. Aku sudah diberi izin, tuh," ajak Didin.

Marwan segera meminum tehnya sampai habis dan memindahkan semua pisang goreng dari piring ke dalam wadah tupperware yang tadi ia bawa dari rumah.

"Kamu sengaja bawa tupperware dari rumah karena sudah tahu kalau enggak akan sempat makan pisang goreng di sini?" tanya Didin.

"Iya, dong. 'Kan biasanya juga begitu, kalau kita mau bepergian," jawab Marwan seraya tersenyum lebar.

Didin hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala saat melihat tingkah Marwan yang tak pernah berubah. Ia segera bangkit dari sofa dan meraih tas kecil miliknya dari atas lemari.

"Bapak pergi dulu, ya. Assalamu'alaikum," pamit Didin.

"Wa'alaikumsalam!" sahut Titi di kamar maupun Resti yang sedang mencuci.

Setelah keluar dari pagar rumah, mereka pun berjalan bersama menuju rumah Marwan.

"Oh ya, Aji dan Arif akan ikut bersama kita. Aji sengaja mengambil jatah cutinya, karena tahu kalau Arif juga masih cuti dan bisa diajak pergi. Sekarang dia sedang ke rumah Bu Patmi untuk meminta izin agar Arif bisa ikut."

"Memangnya Bu Patmi akan memberi Arif izin, gitu?" Didin merasa tak yakin.

* * *

Pocong PesugihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang