25 | Laporan Dari Cecep

1K 75 37
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

"Wonosari? Kaki Gunung Kawi? Tepatnya di mana? Apakah kamu bisa memberi tahu lebih jelas?" tanya Didin.

Arif terus mendengarkan tanpa berani menyela. Aji terlihat menatap ke arah yang sama, seperti yang sedang ditatap oleh Didin dan Marwan. Keberadaan arwah Amira adalah hal yang paling ingin Arif lihat, ketimbang pocong-pocong pesugihan yang ada di halaman rumah itu. Sayangnya, hanya dirinya yang tidak bisa melihat keberadaan arwah Amira ataupun pocong-pocong pesugihan di antara mereka, karena ia tak memiliki kelebihan seperti yang lain.

Arwah Amira tidak menjawab pertanyaan Didin. Membuat Marwan segera sadar, bahwa Amira tak bisa menyebutkan di mana keberadaan jasadnya akibat penumbalan yang terjadi.

"Kapan kamu tahu, kalau dirimu akan ditumbalkan oleh mereka?" tanya Marwan.

"Sudah lama."

"Jadi, pertengkaran yang dibuat oleh Ibumu dengan Bu Patmi sudah direncanakan, agar mereka bisa membawa kamu pergi tanpa dicurigai atau ditanya-tanya oleh siapa pun di desa ini? Benar begitu?"

"Iya."

"Lalu, di mana tepatnya jasad kamu berada saat ini, Nak Amira? Katakan dengan jelas, agar kami bisa menemukan jasadmu sebelum menghancurkan ritual pesugihan yang dijalani oleh kedua orangtuamu," pinta Didin.

Arwah Amira pun menghilang. Pertanyaan yang diajukan oleh Didin membuatnya tidak bisa bertahan lebih lama di sana. Hal itu jelas membuat Didin frustrasi, sementara Marwan mencoba menahan amarahnya setelah tahu bahwa sejak awal semuanya adalah sandiwara belaka, termasuk pertengkaran yang Rusna buat antara dirinya dengan Patmi.

"Arwah Amira menghilang," bisik Aji, memberi tahu Arif.

"Apa dia sudah menjawab pertanyaan Paman Didin?" tanya Arif, ikut berbisik.

"Enggak. Dia enggak menjawab. Mungkin dia memang enggak bisa memberi tahu, karena keberadaan jasadnya ada sangkut paut dengan ritual pesugihan."

Setelah arwah Amira menghilang, Didin segera melepaskan pembatas yang sejak tadi ia keluarkan. Marwan kemudian segera menarik Didin ke area belakang rumah itu tanpa mengatakan apa-apa. Aji dan Arif kembali mengikuti mereka, karena tahu bahwa sesajen yang tadi mereka lihat akan segera dihancurkan lagi. Marwan dan Didin jelas harus melakukan hal itu, sebelum mandor yang ditugaskan menjaga sesajen kembali ke sana.

"Sesajennya mau dihancurkan, ya?" tanya Arif.

"Iya, kamu benar. Sekarang sebaiknya kita ikut saja dan tidak perlu banyak tanya," saran Aji.

Arif pun menuruti saran itu. Ia jelas tidak mau mengganggu konsentrasi siapa pun ketika dirinya ikut bersama mereka ke dalam urusan yang sulit untuk dipahami dengan akal sehat. Bagi Arif, ia pasti akan diperbolehkan ikut apabila tidak mengganggu jalannya pekerjaan yang sedang ditangani oleh Marwan, Didin, ataupun Aji.

Sesampainya mereka di area belakang, Marwan dan Didin langsung mengeluarkan aliran tenaga dalam tanpa berbasa-basi. Aji menahan Arif agar tak melangkah terlalu dekat ke arah wadah sesajen. Pocong-pocong pesugihan kembali berkeliaran tak tentu arah, setelah tadi Didin melepaskan pembatas yang dikeluarkannya.

"A'udzubillah himinasy syaitonnirojim. Bismillahirrahmanirrahim. Audzu bi kalimaatillahit tammati min kulli syaithonin wa haammatin wa min kulli 'ainin laammatin. Bismillaahil ladzii laa yadhurru ma'asmihi syai'un fil ardhi walaa fis-samaa'i, wa huwas-samii'ul 'aliim."

BLAMMM!!!

Sesajen itu kembali berhamburan di tanah. Membuat apa pun yang direncanakan oleh Bagja dan Rusna takkan pernah sampai pada tujuan. Arif hanya bisa menahan kaget di tempatnya berdiri saat itu, karena suara ledakan dari wadah sesajen terdengar sangat keras.

* * *

Bagja dan Rusna sedang marah besar pagi itu. Emosi keduanya meluap, saat melihat sesajen yang mereka letakkan kemarin kembali hancur berantakan. Mandor yang disuruh mengawasi sesajen itu pun dimarahi habis-habisan oleh mereka, sehingga membuat Marwan tersenyum puas dari tempatnya mengawasi.

Rositi mendekat pada Marwan sambil membawakan ponsel. Ponsel Marwan berdering sejak tadi, namun Marwan tidak menyadari itu. Ia bisa melihat senyum di wajah suaminya, padahal suaminya jarang sekali tersenyum-senyum sendiri selama ini.

"Ayah kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Rositi.

"Itu, Bu. Ayah lagi seru-serunya melihat orang sesat meledakkan emosi di depan umum. Ayah yakin, para tetangga sekarang sudah mulai tahu sifat asli mereka yang selama ini mereka tutup-tutupi," jawab Marwan.

Rositi pun akhirnya ikut tersenyum. Ia segera meletakkan ponsel ke tangan Marwan, sehingga membuat Marwan mengalihkan tatapannya pada ponsel itu.

"Ponsel Ayah dari tadi bunyi terus di bawah. Coba dibuka, siapa tahu ada berita penting dari Mas Didin atau yang lain," ujar Rositi.

"Kenapa Ibu enggak panggil saja dari bawah sana? Ibu jadi harus capek naik ke atas sini hanya untuk membawakan ponsel Ayah," balas Marwan, sambil membawa Rositi ke dalam pelukannya.

Rositi membalas pelukan Marwan seraya tersenyum. Ia selalu merasa tenang jika Marwan sudah memeluknya seperti itu.

"Kalau Ibu cuma memanggil dari bawah sana, Ibu enggak akan dipeluk sama Ayah seperti ini. Soalnya Aji dan Septi pasti akan langsung protes kalau kita mesra-mesraan."

Marwan pun terkekeh pelan, lalu melepaskan Rositi dari pelukannya.

"Ya sudah, Ibu turun dulu ke bawah. Anak-anak mau sarapan dan akan segera berangkat kerja," pamit Rositi.

"Iya, Bu. Nanti Ayah menyusul, ya."

Setelah Rositi pergi dari sisinya, Marwan pun segera membuka pesan yang masuk. Pesan itu adalah pesan dari Cecep, yang tampaknya ingin mengabarkan sesuatu kepada Marwan.

PAK CECEP
Assalamu'alaikum, Pak Marwan. Saya saat ini sedang membersihkan kamar nomor 130A. Setelah saya telusuri, nama penyewa kamar ini adalah Bagja Sudarso dan Rusnayani. Bau kemenyan di kamar ini semakin terasa menyengat, Pak Marwan. Saya akan kirimkan foto ruangan yang tidak boleh saya masuki. Bapak kabari saya, ya, kalau masih perlu foto-foto lain dari kamar ini.

Marwan pun segera melihat satu-persatu foto yang Cecep kirimkan. Dalam foto-foto itu terlihat jelas beberapa buah wadah tanah liat berisi arang dan juga bunga tujuh rupa di sekelilingnya. Ternyata di kamar hotel itulah Bagja dan Rusna melakukan ritual pesugihannya, selama rumahnya belum selesai dibangun.

Setelah melihat semua foto itu, Marwan pun segera membalas pesan dari Cecep.

PAK MARWAN
Wa'alaikumsalam, Pak Cecep. Terima kasih banyak atas informasi dan kiriman foto-foto kamar kedua orang itu. Sebaiknya Pak Cecep sekarang segera keluar dari sana. Saya takut kalau Iblis yang disembah oleh kedua orang itu akan datang dan menyerang Pak Cecep, jika Bapak masih berada di ruangan itu. Nanti saya akan kabari Pak Cecep lagi, apabila sudah memiliki rencana untuk menghancurkan ritual pesugihan mereka.

PAK CECEP
Baik, Pak Marwan. Saya akan keluar sekarang juga. Kebetulan tugas saya bersih-bersih memang sudah selesai di kamar ini.

Setelah menyimpan ponselnya, Marwan pun segera turun ke lantai bawah. Aji dan Septi menatapnya, begitu pula dengan Rositi yang sedang membagi lauk ke piring anak-anaknya.

"Bu, hari ini Ayah dan Didin akan pergi ke Wonosari. Kami akan mencari jasad Amira," ujar Marwan, terlihat begitu tenang.

* * *

SAMPAI JUMPA BESOK 🥰

SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA
(bagi yang menjalankan 🥰🙏🏻)

Pocong PesugihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang