24 | Muncul Kembali

927 72 4
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Setelah memberikan nomor teleponnya pada Cecep, Marwan dan Didin pun segera keluar dari hotel tersebut. Keduanya benar-benar menyerahkan semuanya pada Cecep, karena hanya Cecep yang bisa membantu mereka memasuki kamar yang disewa Bagja dan Rusna. Bagja dan Rusna sama sekali tidak keluar lagi dari kamarnya sore itu, sehingga Marwan dan Didin tak perlu takut kepergok mengikuti mereka.

"Ngomong-ngomong, Pak Cecep itu siapa, Wan? Kamu kenal dia di mana? Sepertinya dia enggak kaget waktu kamu membahas soal pesugihan yang dilakukan oleh Pak Bagja?" tanya Didin.

Keduanya segera masuk ke dalam mobil, meski Marwan tidak segera mengemudikan mobilnya. Mereka hanya mencoba mencegah munculnya Bagja dan Rusna di sekitar halaman parkir hotel itu, agar keberadaan mereka tetap tidak ketahuan.

"Pak Cecep adalah warga di desa sebelah. Aku pernah menolongnya bertahun-tahun lalu, ketika dia mendadak ketempelan makhluk halus setelah pulang dari sawah. Waktu itu aku sedang singgah di warung dekat rumahnya, setelah berkunjung ke rumah Mas Satria. Setelah aku membantu Pak Cecep terlepas dari makhluk halus yang ternyata berasal dari rumah tetangganya, dia berjanji padaku akan selalu mengingat pertolongan yang aku lakukan kepadanya. Dia akan mencoba balas budi, meski aku sama sekali tidak pernah mengharapkannya. Tapi ... Pak Cecep ternyata benar-benar tetap ingat padaku, sehingga dia langsung menawarkan bantuan seperti tadi. Dia tahu, bahwa aku tidak punya jalan lain, selain menerima bantuannya agar tidak ketahuan oleh pihak hotel ataupun oleh Pak Bagja dan Bu Rusna," jelas Marwan.

Didin pun tak lagi bertanya lebih lanjut. Penjelasan dari Marwan soal siapa Cecep sudah cukup membuatnya paham, tentang alasan mengapa Cecep ingin membantu mereka. Marwan baru saja akan menyalakan mesin mobilnya, ketika ponselnya berdering singkat. Baik itu Didin ataupun Marwan tahu persis, bahwa ada pesan yang baru saja masuk. Marwan pun mengurungkan niatnya menyalakan mesin mobil. Ia segera mengeluarkan ponselnya dan melihat nama Aji tertera pada layar.

AJI
Yah, Paman Bagja dan Bibi Rusna ternyata sudah menyimpan kembali sesajen yang baru di belakang rumahnya. Barusan aku baru sadar kalau di sana sudah ada sesajen baru, soalnya sejak tadi aku cuma fokus memantau pocong-pocong pesugihan yang ada di halaman samping dan si mandor pemalas.

Didin ikut melihat pesan itu, lalu kembali menatap ke arah Marwan.

"Cobalah tanya pada Aji, apakah sekarang sesajen itu dijaga oleh seseorang atau tidak. Kamu tahu sendiri, 'kan, kalau Pak Bagja dan Bu Rusna bisa saja mulai mewaspadai orang-orang sekitar rumahnya, setelah sesajen sebelumnya kita hancurkan," ujar Didin.

Marwan pun dengan cepat mengetik pesan balasan untuk Aji pada ponselnya. Didin memakai seat belt, karena tahu bahwa sebentar lagi mereka akan kembali ke desa.

AYAH
Apakah sesajennya saat ini dijaga oleh seseorang, Nak?

AJI
Iya, Yah. Sesajen itu sedang dijaga oleh mandor pemalas.

Marwan pun segera menyalakan mobilnya, lalu beranjak dari pelataran parkir hotel. Didin kembali membaca pesan dari Aji, karena ponsel Marwan kini disimpan pada penyangga dekat kemudi. Didin pun tertawa saat melihat isi pesan tersebut.

"Mandor pemalas, katanya. Aji benar-benar hobi memberi julukan, kalau dia merasa tidak suka pada orang yang dimaksud. Terlalu jujur anak itu."

"Dia mempelajari kebiasaan itu dari kamu, Din. Jangan lupa, kalau Aji dulu lebih sering ikut denganmu ke mana-mana saat masih kecil. Jadi kalau ada tingkahnya yang tidak sama denganku, maka itu adalah akibat dari ajaranmu padanya," sahut Marwan.

Tawa Didin pun semakin lepas usai mendengar Marwan mengungkit hobinya mengajari Aji beberapa hal, ketika Aji masih kecil. Kenangan itu sangat membekas dalam ingatan Didin, karena Aji sudah seperti anaknya sendiri sejak baru dilahirkan. Dulu ia tak bisa cepat memiliki anak sendiri, sehingga selalu membawa Aji ke rumah untuk menghibur Titi agar tidak berputus asa. Karena hal itu jugalah, hubungan pertemanannya dengan Marwan bisa awet sampai tua. Marwan dan Rositi tidak pernah melarang atau membatasi jika Didin dan Titi ingin ikut mengasuh Aji. Mereka bahkan terus memberikan semangat, hingga akhirnya Didin dan Titi berhasil memiliki anak sendiri. Untuk itulah Didin tak bertanya lebih lanjut soal hubungan antara Marwan dan Cecep, setelah tahu kalau Marwan pernah menolong Cecep bertahun-tahun lalu. Marwan selalu jujur padanya, sehingga ia tak perlu meragukan setiap jawaban yang Marwan berikan.

AJI
Yah, si mandor pemalas pergi. Dia enggak jagain lagi sesajen itu.

"Wah, Aji rajin sekali melapor," nilai Didin.

"Aku yang meminta padanya untuk melapor. Makanya dia rajin melapor. Lagi pula, dia dan Arif pastinya ingin ikut campur dengan urusan kita. Jadi, aku sengaja menyuruhnya mengawasi dan melapor, biar mereka enggak nekat masuk ke area rumahnya Pak Bagja tanpa didampingi oleh kita."

Mobil milik Marwan berbelok ke jalan lain. Marwan hendak menyimpan mobilnya dulu, baru berjalan kaki menuju rumahnya bersama Didin. Setelah mobil benar-benar tersimpan dengan aman, keduanya segera berjalan kaki dengan santai, seakan baru saja pergi melihat kebun.

Tadinya Marwan dan Didin ingin memanggil Aji dan Arif saat sampai. Tapi pandangan mereka justru tertuju pada arwah Amira yang akhirnya kembali muncul di samping rumah milik Bagja. Keduanya segera menyeberangi jalanan dan masuk ke halaman rumah itu. Aji dan Arif melihat dari jendela lantai dua. Pada saat yang sama, Aji pun menyadari bahwa arwah Amira baru saja menampakkan diri di sana.

"Amira, Rif! Itu arwah Amira!" seru Aji, sambil menarik lengan Arif agar mengikuti langkahnya.

"Hah? Arwah Amira?" kaget Arif.

Kedua pria itu menuruni tangga dengan terburu-buru. Rositi dan Septi masih berada di kamar masing-masing, sehingga tak mendengar langkah mereka yang gaduh. Saat mereka sampai di halaman rumah depan, Aji melihat kalau Marwan dan Didin sudah berkomunikasi dengan arwan Amira. Pocong-pocong pesugihan yang berkeliaran di sekitar halaman rumah itu tampak tidak mendekat ke area yang dipijak oleh Marwan dan Didin. Sepertinya Didin sudah menghalangi area itu, sehingga tak ada satu pun pocong yang mendekat.

"Ini, kita mau mendekat ke sana?" tanya Arif, sambil melihat-lihat situasi sekitar.

"Iya. Aku mau dengar pembicaraan Ayahku dan Paman Didin dengan arwahnya Amira," jawab Aji, lalu kembali menarik lengan Arif agar mengikuti langkahnya.

Saat Aji dan Arif mendekat, Marwan langsung memberi tanda untuk tetap tenang. Aji memahami hal itu. Karena pastinya arwah Amira tak bisa menetap lama di sana, akibat jasadnya yang berada jauh dari rumah itu.

"Katakanlah. Ke mana mereka membawa kamu saat pergi dari sini waktu itu?" pinta Marwan.

Aji dan Didin ikut menantikan jawaban Amira, sementara Arif yang tidak melihat apa-apa hanya bisa mendengarkan dan memercayakan semuanya pada ketiga orang tersebut.

"Wonosari. Aku di bawa ke kaki Gunung Kawi."

* * *

Pocong PesugihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang