"Ipan.."
Sudah berapa kali Ivan menghela napas? Mungkin lebih dari lima kali. Pasalnya adiknya sekarang terus memanggilnya dengan nada mengeluh.
Raka sakit gigi.
Karena permen, tentu saja.
Bahkan kemarin doi makan permen habis tujuh tangkai. Belum lagi, Evan yang membawa tanghulu ke rumah hingga Raka juga ikut mencicipi makanan gula itu.
Ivan rasanya pengen ketawa, tapi kasihan juga dia lihat Raka. Daritadi hanya memegang pipinya sendiri, disuruh minum obat oleh Gisel pun tidak mau. Dicabut apalagi.
Ivan mengelus pipi Raka yang memerah dan sedikit membengkak. "Minum obat sakit gigi, ya?"
Raka menggeleng. "Nggak."
Ivan kembali menghela napas. "Ke rumah sakit?"
"Nggak."
Gisel yang duduk di samping Raka menggeleng pasrah. Dia tadi sudah berapa kali mencoba membujuk agar anaknya meminum obat atau dibawa ke dokter. Namun, yang namannya Raka tentu saja keras kepala.
Jadi, dia hanya bisa mengelus kepala Raka yang sekarang terbaring di sofa dengan wajah ditekuk dan pipi yang memerah.
Ivan juga ikut menemani. Biasanya Raka akan mudah dibujuk dengan iming-iming permen. Namun, kini penyebabnya adalah permen itu sendiri.
"Ipan ... Kay mana?" tanya Raka tiba-tiba dengan mata terpejam.
Sejenak, Ivan menatap sekeliling untuk mencari objek yang ditanyai sang adik. "Gak tau."
"Sst.. Ipan jangan bicara. Aku sakit gigi," kata Raka meringis kecil.
Lah?
Padahal dia yang pertama bertanya.
"Makanya jangan sering-sering makan permen. Sakit gigi, kan."
"Bunda, mulut Ipan-nya jahit aja."
Gisel terkekeh kecil. Dia hanya mengelus surai Raka tanpa menjawab. Takut nanti disuruh diam juga oleh sang anak.
Ivan sedikit mendelik, kemudian dia meniup wajah Raka pelan. "Mulut kecil ini sering banget bikin orang sebel, ya," ujar Ivan, menyentuh bibir Raka dengan jari telunjuknya.
Raka menepis tangan Ivan. Dia menatap sang Kakak dengan kesal. Moodnya sekarang sedang tidak bagus karena sakit gigi.
Memang ada orang yang suasana hatinya baik saat sakit gigi?
Raka hendak mengeluarkan suara. Tapi tiba-tiba giginya berdenyut sakit, sakit sekali. Seperti ada yang menusuk-nusuk giginya menggunakan benda tajam.
Raka jadi menyesal sudah makan permen kemarin.
Oke, ingatkan dia untuk tidak makan permen tujuh tangkai lagi dalam sehari.
Mungkin dia akan memakan lima saja.
"Bunda ... sakit." Tanpa sadar Raka mengadu pada Bundanya.
Gisel terdiam beberapa detik. Jantungnya sedikit berdebar. Ia tak menyangka bahwa sang anak akan mengadu padanya lagi setelah sekian lama. Ah, kenapa dia merasa senang? Seakan ia hanya ingin Raka bergantung padanya.
"Minum obat, ya, Nak?" jawabnya dengan suara selembut mungkin. Tangannya mengelus pipi Raka yang merah sebelah kiri.
Raka hendak menggeleng. Namun, suara langkah kaki membuatnya menoleh pada sumber suara. Ternyata itu ayahnya, Bastian—yang masih lengkap dengan jas kerjanya.
"Ada apa?" tanya Bastian ketika istri dan anaknya berada di ruang tengah bersama.
"Raka sakit gigi, Mas."
Bastian menoleh pada anak keempatnya yang memalingkan muka, seakan enggan untuk menatap ayahnya. "Sudah minum obat?"
"Adek gak mau. Cabut aja giginya, Yah," usul Ivan membuat Raka melotot garang.
"Ipan! Kita musuh!"
Ivan membelalakkan matanya. Ia tidak mau bermusuhan dengan sang adik, apalagi jika adiknya tidak mau berbicara padanya. Sehari tidak mendengar suara Raka saja, Ivan sudah rindu.
"Jangan gitu, dong. Kita baikkan, ya?" Ivan menggeser tubuhnya pada Raka, dia menyodorkan jari kelingking tanda ingin berbaikan.
Tanpa menjawab ucapan Ivan, Raka bersedekap dada sambil mendengus. Pipinya yang memang sedikit bengkak tambah mengembung.
"Kenapa gak mau, hm?" Entah Bastian kerasukan apa. Namun yang pasti, sekarang dia duduk di samping Raka dengan menggeser Ivan membuat sang empu menatapnya julid.
Bastian menatap wajah Raka dari samping. Ekspresi anaknya datar tanpa menoleh padanya. "Raka, ayo minum obat. Kamu mau giginya sakit terus? Nanti kamu gak bisa lagi makan permen."
Bastian akui, dia cukup khawatir pada anaknya. Mau bagaimana pun, Raka adalah anak kandungnya. Setiap orang tua pasti akan merasa cemas jika anak-anak mereka sedang sakit.
Raka menatap Bastian. "Gak," jawabnya singkat.
"Hm? Gak apa?"
"Gak mau giginya sakit terus."
"Jadi kamu mau minum obat?"
Raka menggeleng.
"Kalo minum obat, sakitnya sembuh?" tanya Raka setelahnya.
Bastian tersenyum tipis, merasa lucu dengan tingkah anaknya. "Iya. Giginya nanti gak sakit lagi."
Raka mengangguk. "Yaudah, mau."
Bastian meminta pada Gisel untuk memberikannya obat berupa sirup yang beberapa jam lalu sudah dibeli oleh Ivan dari dokter langsung.
Bastian menyuapi Raka dengan sirup itu, kemudian dia membantu Raka untuk meminum air dari cangkir.
Setelah menelan obat dan minum, Raka terdiam.
Dia menatap Bastian yang juga menatapnya dengan bingung.
"Kenapa?" tanya Bastian.
Raka mendengus kuat. Katanya setelah minum obat giginya akan sembuh. Tapi Raka masih merasakan sakitnya tak kunjung hilang dengan cepat!
"Pembohong! Gigiku masih sakit!"
•••
Hari ini Raka bangun kesiangan. Tapi anak itu tetap berseragam sekolah dengan wajah murung, karena Gisel atau siapapun di antara keluarganya tidak ada yang membangunkannya tidur.
Semalam, Gisel sudah bilang bahwa tidak usah sekolah hari ini sebab giginya yang belum sepenuhnya sembuh.
Namun, Raka tetap keukeuh untuk sekolah. Dia anaknya mudah bosan, jika di rumah terus pasti ia akan mati kebosanan.
"Raka, kok pake baju sekolah?"
Gisel yang berada di ruang makan langsung melayangkan pertanyaan setiba Raka sampai di ujung anak tangga terakhir.
"Aku mau sekolah," jawab Raka tanpa ekspresi.
"Kamu gak usah sekolah dulu hari ini, gak papa. Gigi kamu masih sakit, kan?"
Raka melangkah mendekat pada Gisel, kemudian membuka mulutnya. "Udah nggak." Dia menunjuk dalam mulutnya dengan jari telunjuk. Menyakinkan kalau dirinya sudah tidak sakit gigi lagi.
Gisel terkekeh gemas. Anaknya lucu sekali. "Kamu mau sekolah?"
Raka mengangguk.
Sang Bunda mengusap rambut hitam Raka. "Tapi ini udah jam sembilan."
Bwahahaha, Raka bukan lagi kesiangan. Tapi udah kesiangan bangettt 🤣
Komen dan votenya, beb 💋

KAMU SEDANG MEMBACA
Raka Alandra (The End)
Teen Fiction"Dengan cara apa lagi agar aku bisa mendapatkan kasih sayang?" Namun... "Ya Tuhan! Terima kasih sudah mengulang masa laluku, sekarang aku tidak akan bersikap seperti dulu lagi. Aku tidak mau mati muda!