24

13.7K 1.3K 48
                                        

Dulu dia sangat dicintai, dan sangat disayangi.

Kelahiran anak pertama yang sangat dinanti-nantikan oleh dua orang yang disebut orang tua.

Dulu ia berpikir bahwa dirinya sangat beruntung bisa lahir dikeluarga ini. Kelahirannya disambut dengan senyuman lebar. Tumbuh kembangnya diliputi dengan segala perhatian penuh yang tertuju padanya.

Iya, itu dulu.

Dan sekarang... Kenapa keberuntungan itu sudah hilang. Apa keberuntungannya memiliki sebuah batas waktu? Apa batasnya hanya sampai ia menginjak usia 8 tahun? Apa hanya sampai situ? Tidak bisakah sampai ia beranjak remaja, lalu dewasa.

Terkadang ia mengutuk Tuhan. Kenapa harus membuatnya yang diliputi kasih sayang kembali kosong karena semua kasih sayang itu luruh seiring ia bertambah usia.

Bagaimana tangan kecilnya berusaha menahan kepergian sang ibu. Bagaimana ketika tubuhnya harus terdorong karena terus menerus menahan kepergian orang dewasa itu. Dan bagaimana ketika ia menyadari sosok hangat dari orang yang disebut ayah itu juga hilang seiring ibunya pergi meninggalkan.

Dulu ia akan meraung menyalahkan takdir. Anak kecil yang tak mengerti apa permasalahan orang dewasa. Hanya bisa menyalahkan tanpa tau permasalahan.

Seiring ia bertambah usia, kini ia dapat memahaminya. Apa alasan dari kepergian sang ibu. Apa arti dari hilangnya kehangatan sang ayah.

Ia paham dan Ia mengerti.

Dan ia merasa beruntung, karena masih dapat merasakan sebuah kehangatan dari orang tuanya. Ia lebih beruntung dibanding adik pertamanya ataupun adik keduanya yang bahkan baru saja dilahirkan ke dunia.

Tapi hatinya tak dapat berbohong. Mau dibilang seberuntung apapun itu, nyatanya ia masih menginginkan kehangatan yang sudah kosong. Bukan dari keduanya, hanya saja... Ia menginginkan itu dari ayahnya

•—•

Pikirannya sudah runyam oleh skripsi. Ia bahkan rela tak tidur seharian untuk ini. Tubuhnya ia paksa agar semua ini terselesaikan. Ia bahkan sering kali tak pulang dan lebih memilih bermalam pada apartemen yang dekat dengan kampusnya berada. Ia tak tau keadaan dirumah bagaimana.

Maka disinilah ia berada. Dalam taksi yang mengantarnya untuk pulang. Ia hanya merasa... Ingin melihat wajah ayahnya.

Sesaat ia sampai didepan gerbang dan sedang membayar, matanya melihat adik pertamanya yang keluar dengan berlari. Menaiki motornya dan melaju dengan cepat. Kenapa anak itu terburu-buru?

Tubuhnya terasa lebih ringan saat sudah menghirup udara dirumah. Walau ekspresinya terlihat datar, namun siapa yang tahu isi dalam hatinya selain dirinya sendiri?

Ayahnya... Ahh kenapa dia sangat ingin melihat pria itu.





່Apa?

"Tuan muda."

Ia kembali pada kenyataan. Matanya menatap pada Bima yang baru saja membeberkan fakta. Sial, kenapa tidak ada yang memberitahukan nya lebih awal.

Tubuhnya kembali ia bawa keluar rumah. Meninggalkan Bima yang sedang menyiapkan kebutuhan ayahnya dirumah sakit.

•—•

່Ia seorang diri disini. Pikirannya rumit. Duduk diam menatap pada ayahnya yang sedang berbaring diranjang itu. Pria yang masih menyelam dalam mimpinya. Dan entah kapan pria itu kembali pada permukaan.


•—•

"Terimakasih."

Griffin berdehem. Ia kembali menaruh mangkuk kosong yang tadinya berisi bubur. Ia baru saja menyuapi ayahnya. Sudah waktunya ayahnya itu makan.

"Kenapa?" Tanyanya saat melihat sang ayah yang sedari tadi melihatnya terus.

"Eumm coba senyum."

Griffin diam. Dia bahkan tak menuruti perkataan ayahnya. Membuat sang ayah geram dan menarik tangannya sendiri untuk membuat bibirnya tertarik agar tersenyum.

"Nah, ginikan manis. Kamu kalau diem aja mukanya serem."

Kalyan tertawa dengan mata tertutup menyadari wajah anak pertamanya yang seperti tertekan melakukan ini. Tanpa ia sadari bahwa Griffin sedang tersenyum menatapnya dengan tulus.

"Manis... Ayah bahkan lebih manis."

—a y a h—

Ayah?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang