Dirinya tak pernah merasakan emosional. Entahlah. Terkadang ia hanya merasa seperti berdiri ditengah-tengah.
Ia tak pernah menangis saat tubuhnya terluka.
Ia tak pernah marah saat orang lain merebut mainannya.
Ia tak pernah tertawa pada lelucon yang dilontarkan.
Ia tak pernah khawatir bahkan disaat adiknya sendiri terjatuh di depannya dan menangis dengan kencang. Ataupun disaat kakaknya dimarahi habis-habisan oleh orang lain.
Bahkan dulu, tubuhnya yang masih kecil, wajah tanpa rona, juga tatapan yang tak menunjukkan apa-apa, hanya diam menatap kepergian ibunya.
Disaat kakaknya berlari mencoba untuk menahan kepergian sang ibu, ia hanya diam tenang dengan tangan saling bertaut.
Bahkan pada bayi mungil yang belum mengerti apa-apa, yang bahkan usianya belum mencapai satu tahun, juga tangisan kencang bayi itu karena ditinggalkan ibunya, yang nyatanya itu adalah adiknya sendiri, ia hanya terdiam menatapnya.
Kakinya yang mungil dibawanya menuju kekamar. Meninggalkan segala kebisingan didepan rumah ini. Sebelum matanya menatap pada pria yang sedang terduduk disofa dalam diamnya.
Datar. Sangat datar. Kenapa ia selalu berada ditengah sini. Kenapa ia tak pernah mencoba melangkah untuk lebih maju kedepan. Setidaknya satu langkah yang mungkin akan berarti.
Rasanya sangat kosong. Bahkan sejak ia kecil sampai ia sudah dewasa rasa itu masih sama. Masih tetap sama dan juga masih berada ditengah-tengah.
Sampai akhirnya dimana ia mendengar kabar itu.
Kabar yang entah mengapa langsung membuat jiwanya yang kosong seakan teremat dan ditarik secara paksa.
Apa seperti ini rasanya? Beginikah rasanya khawatir? Beginikah rasanya seperti ingin menangis? Beginikah rasanya marah pada sesuatu?
"Tuan dibawa kerumah sakit dengan luka dalam yang sedikit serius paska diculik."
Apa? Kenapa mendengar itu saja membuatnya kesal. Kenapa ia tak tenang?
Tanpa sadar ia menjatuhkan tasnya begitu saja dan berlari keluar menuju dimana tempat yang disebut rumah sakit itu berada.
Ia tak tau mengapa ia harus mengebut dalam berkendara. Ia tak tau mengapa hatinya harus merasa risau. Dan ia tak tau mengapa matanya harus menitikkan sebuah airmata.
Bayang-bayang mengenai ayahnya terbayang dalam benaknya. Perubahan kecil pada ayahnya yang terjadi belakangan ini mengganggunya. Ia senang. Entah senang karena apa. Apa mungkin karena ayahnya yang berubah menjadi lebih hangat? Atau lebih mencoba dekat dengan mereka bertiga? Entahlah. Iapun tak mengerti.
Kenyataan memang selalu nyata. Didepan nya, dalam pandangannya, ayahnya terbaring dengan sekujur tubuhnya terluka. Kepalanya berdarah. Dan lebam pada perutnya terlihat. Sebagai mahasiswa kedokteran ia cukup paham. Walau luka itu tak terlihat nyata diluar, tapi pasti pada bagaian dalamnya terdapat masalah. Apa lagi warna pada lebam itu. Mengerikan. Hatinya tak tenang.
Wajah damai ayahnya yang sedang tertidur disofa pada malam itu terlintas dipikiran. Dan didepannya, wajah itu bahkan ternodai oleh bercak-bercak merah. Sangat berbeda.
Kenapa dirinya merasa marah? Pada apa dirinya marah? Apa karena pria yang disebut ayah itu?
່
່
່່
່
່Sadarlah. Ayo bangun. Tolong berikan dirinya senyuman hangat itu.
Ia terlampau paham pada perubahan kecil ayahnya. Ayahnya terlihat berusaha untuk lebih dekat dengan mereka bertiga.
Maka sadarlah, yah. Kamu tidak usah lagi bersusah payah untuk berusaha. Karena ia sendiri yang akan sukarela menyerahkan dirinya.
•—•
່
່Kalyan menggeser tubuhnya dengan hati-hati kesisi ranjang. "Temenin ayah tidur disini. Ayah mau peluk kamu. Boleh?"Elard tatap ayahnya. Tanpa ia jawab, dirinya langsung menaiki ranjang rumah sakit. Memposisikan tubuhnya dengan nyaman dan juga supaya tidak menyenggol beberapa alat yang berada ditubuh ayahnya.
Matanya ia tatap pada wajah ayahnya. Wajah itu tertarik. Menarik sebuah senyuman hangat yang diinginkan nya. Tanpa sadar iapun tersenyum kecil. Tangannya ia bawa untuk memeluk tubuh itu.
"Selamat malam... Ayah."
—a y a h—

KAMU SEDANG MEMBACA
Ayah?
FantasyMenjadi seorang ayah? Tiba-tiba banget nih? Cover by pinterest. + ke perpustakaan Jangan lupa ☆ and 💬