twenty-six

520 57 3
                                    

Typo bertebaran



Happy reading....

Langit sore mulai beranjak jingga saat delapan anak bujang Asrama Tirta Langit sibuk di dapur. Panci besar mengepul, aroma harum makanan memenuhi ruangan. Arkan dengan cekatan menggoreng tahu isi, sementara Kevan sibuk membungkus kolak pisang yang baru matang. Yuan dan Juna merapikan kardus-kardus berisi takjil, sedangkan Jian dan Naufal membantu memasak. Sementara itu, Langit serta Zidan sibuk membersihkan meja yang mulai penuh dengan makanan siap saji.

Di sisi lain asrama putri, Karin, Wina, Seli, dan Nara tak kalah sibuk. Mereka membuat es buah serta menggoreng risol. Takjil tertata rapi dalam wadah-wadah plastik, siap untuk dibagikan. Sesekali terdengar suara tawa kecil di antara mereka, mencairkan suasana sibuk sore itu.

"Rin, perut gue keroncongan lihat ini makanan," keluh Wina, menatap risol mayo yang baru saja mereka bungkus.

"Makan aja, Win. Makan. Nggak ada yang marah kok, palingan dosa lo yang nambah," ketus Karin, membuat Wina mendengus sebal.

Seli melirik sekilas. "Lagian sebentar lagi juga udah buka, Win. Tahan dikit napa."

"Nggak bisa," rengek Wina. "Buka masih satu jam lebih. Rasanya gue udah kayak mau mati. Kalau gue mati, bilangin sama si Naufal-naufal itu, bayar utang gue, oke?"

"Drama banget," ketiga temannya kompak merespons dengan nada malas.

Tiba-tiba, handphone Karin bergetar. Ia buru-buru mengambilnya, dan senyumnya mengembang begitu melihat siapa yang menelepon.

"Halo, anak Momy!" serunya antusias saat Jiandra melakukan panggilan video. Namun, belum sempat ia menikmati momen itu, ponsel sudah direbut oleh seseorang.

"Rin, kita udah mau selesai. Kalian udah belum?",suara yang terdengar bukan Jiandra, melainkan Langit yang langsung merampas ponsel adiknya.

Karin memutar bola matanya malas. "Udah, kita lagi bungkusin dulu."

"Oh, oke. Kalau gitu, sepuluh menit lagi kita ketemu di tempat yang udah dijanjikan," ucap Langit sebelum tanpa basa-basi langsung mematikan panggilan.

Karin mendelik kesal. "Akkh, Langit tahik! Nggak bisa apa dia lihat gue seneng dikit biar bisa ngobrol sama anak gue!" ucapnya frustasi.

"Lagian lo ngebet banget sih sama Jian," timpal Nara sambil menggeleng.

"Ya, karena Jian itu lucu, gemes-gemes gitu. Kan gue jadi pengen unyel-unyel," Karin cemberut. "Tapi kenapa sih dia malah punya abang modelan Langit? Nggak bisa gue pegang dikit, pasti Jian udah dibawa kabur."

"Karena lo udah kayak tante-tante girang yang mau godain berondong," sahut Wina, lalu tertawa lepas, diikuti Seli dan Nara yang langsung ngakak.

Karin mendengus. "Dasar kalian nggak ngerti estetikanya punya anak idaman!"

________________________

Setelah semuanya selesai, mereka berkumpul di gerbang asrama seperti yang telah disepakati. Satu per satu naik ke motor, ada yang berboncengan, ada yang membawa kardus takjil. Kevan mengendarai motornya dengan Arkan di belakang, Yuan bersama Juna, Jian bersama Langit, dan Zidan dengan Naufal. Sedangkan Karin, Wina, Seli, dan Nara ikut naik motor yang mereka bawa sendiri.

Suasana jalanan ramai dengan kendaraan yang berlalu lalang. Mereka memilih lokasi di pinggir jalan dekat perempatan yang cukup strategis, tempat banyak orang berlalu sebelum magrib tiba.

"Sini, gue bantu bawain," ujar yuan saat melihat nara kesulitan membawa kardus.

"Nggak,usah," kata nara, tapi yuan sudah lebih dulu mengambilnya.

Begitu takjil mulai dibagikan, satu per satu pengendara dan pejalan kaki menerima dengan senyum. Ada ibu-ibu dengan anak kecil, pekerja kantoran, hingga tukang becak yang lewat.

"Semoga berkah ya, Pak," ujar Juna sambil memberikan sebungkus takjil pada seorang bapak yang terlihat lelah.

"Masya Allah, makasih banyak, Nak," ucap bapak itu dengan senyum tulus.

Di sisi lain, Nara dan Wina membagikan takjil kepada beberapa anak kecil yang bermain di pinggir jalan.

"Ini buat kalian buka puasa nanti ya," kata Wina, memberikan plastik berisi makanan.

"Terima kasih, Kakak cantik!" sahut anak-anak itu senang.

Mereka semua tersenyum puas saat melihat takjil yang dibagikan hampir habis. Hari ini mereka mungkin lelah, tetapi kebahagiaan yang mereka rasakan jauh lebih besar.

Ketika azan magrib berkumandang, mereka segera berkumpul kembali di titik awal dengan kantong plastik kosong di tangan, tanda bahwa perburuan takjil mereka berhasil.

"Alhamdulillah, habis semua," ujar Kevan sambil tersenyum puas.

"Ayo berbuka di rumah makan itu! Yuan yang bayar!" seru Nara antusias, membuat yang lain menoleh padanya.

Yuan hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah adiknya yang selalu mencari kesempatan dalam kesempitan. Ia menghela napas, lalu menepuk pundak Nara dengan ekspresi pasrah.

"Yaudah, kali ini gue yang bayarin kalian."

"YES!" Nara langsung berlari ke arah rumah makan tersebut, meninggalkan teman-temannya yang lain.

"Astaga, anak itu semangat banget kalau urusan makan gratis," komentar Juna sambil terkekeh.

"Udah biarin, nanti juga kita yang repot mindahin lauk-lauknya ke piring dia," sahut Arkan sambil memasukkan tangan ke saku celana.

Mereka berjalan santai menyusul Nara yang sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah makan. Tempatnya cukup ramai karena memang banyak orang yang berbuka puasa di sana. Setelah mendapatkan tempat duduk yang cukup luas untuk mereka semua, seorang pelayan datang menghampiri.

"Mau pesan apa, Kak?"

Semua langsung menatap Yuan dengan tatapan penuh harap. Yuan mendesah, lalu mengambil buku menu. "Pesan yang biasa aja, ya, jangan yang aneh-aneh," ucapnya memperingatkan, khususnya kepada Nara.

"Aduh, padahal aku mau coba menu spesial," goda Nara, tapi tetap saja ia ikut memesan makanan yang wajar.

Setelah semuanya selesai memesan, mereka menunggu makanan datang sambil bercengkerama. Langit yang tadinya terang perlahan berubah menjadi gelap, digantikan oleh kelap-kelip lampu jalanan.

"Eh, besok kita ngabuburit ke mana lagi?" tanya Arkan sambil memainkan sumpit di tangannya.

"Besok kita nyari takjil di tempat lain, biar ada variasi," sahut Juna.

"Terserah yang bayar aja," timpal Kevan santai.

Yuan melotot, "Gak ada kata terserah yang bayar! Sekali ini aja, paham?"

Semua tertawa melihat ekspresi Yuan yang pasrah.

Tak lama kemudian, makanan datang, dan mereka pun menikmati buka puasa dengan penuh kebersamaan. Suasana riang dan hangat menemani waktu makan mereka, menghapus rasa lelah setelah seharian berpuasa.



Haunted dormitory [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang