23 | Sesajen Baru

1.1K 81 5
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Saat memasuki hotel, Didin dan Marwan mengikuti langkah Bagja dan Rusna sampai ke depan lift. Setelah sepasang suami-istri itu menaiki lift dan pintunya tertutup, keduanya kembali mendekat agar bisa melihat lantai mana yang mereka tuju. Angka demi angka berganti, seiring dengan bergeraknya lift. Angka yang mereka perhatikan akhirnya berhenti, tepat pada saat Bagja dan Rusna tiba di lantai tujuan.

"Lantai lima," ujar Didin.

"Berarti sekarang kita hanya perlu mencari nomor kamarnya. Ayo, kita naik lift sebelah," ajak Marwan.

Didin segera mengikuti langkah Marwan. Mereka menaiki lift dan menekan tombol nomor lima agar bisa segera tiba di lantai tujuan. Lift itu bergerak dengan cepat, hingga tak terasa bagi keduanya telah sampai ke lantai yang dituju. Keberadaan Bagja dan Rusna jelas sudah tidak terlihat. Mereka pasti sudah masuk ke kamar dan tidak akan keluar lagi. Hanya saja, Marwan dan Didin jelas harus tetap mencari di mana kamar mereka. Karena untuk mencari tahu soal di mana ritual pesugihan itu dilakukan, mereka harus memeriksa sedetail mungkin apa saja yang ada di dalam kamar hotel.

Ketika sedang menatap satu-persatu nomor kamar yang tersedia di setiap pintu, pundak Marwan mendadak ditepuk oleh seseorang. Hal itu jelas membuat Marwan merasa kaget dan Didin ikut menatap orang yang saat itu tengah tersenyum ke arah Marwan.

"Pak Marwan? Sedang apa di sini, Pak? Lagi cari nomor kamar?"

"Pak Cecep? Pak Cecep kerja di sini?" kaget Marwan.

"Iya, Pak. Saya bekerja sebagai cleaning service di hotel ini. Setiap pagi, sore, dan malam biasanya saya diminta masuk ke kamar untuk membersihkan. Saya kerja khusus di lantai ini saja," jawab Cecep.

Cecep adalah salah satu orang yang pernah ia tolong dari gangguan makhluk halus kiriman. Dia tinggal di desa sebelah, namun masih ingat pada Marwan yang sudah lama tak bertemu dengannya.

"Saya lagi cari dua orang yang sedang menginap di sini, Pak Cecep. Dua orang itu adalah tetangga saya di desa, tapi saat ini mereka terlibat dengan ritual pesugihan. Saya mencari mereka agar bisa menghentikan ritual pesugihan itu, Pak," jelas Marwan.

Cecep pun langsung menoleh ke kanan dan kiri, lalu membawa Marwan dan Didin menuju ujung lorong lantai lima tersebut. Di sana, Cecep kembali mengamati situasi sebelum berbicara lagi dengan Marwan.

"Ada satu kamar yang selalu saya bersihkan setiap jam delapan pagi, Pak Marwan. Di dalam kamar itu ada bau kemenyan yang menyengat setiap kali saya masuk. Saya selalu bersih-bersih di sana, tapi ada satu ruangan yang enggak boleh saya masuki. Hanya ruangan itu yang enggak pernah saya bersihkan. Penghuninya suami-istri. Rambut suaminya agak beruban di bagian kanan dan kiri," jelas Cecep.

"Nah ... persis, Pak. Orang itulah yang kami cari. Jadi, kamarnya nomor berapa?" tanya Didin.

"Kamarnya nomor 130A, Pak. Tapi sebaiknya Bapak jangan masuk ke sana, soalnya akan terpantau CCTV," saran Cecep.

"Ya, terus mau gimana lagi, Pak Cecep? Kami enggak mungkin diam saja di luar. Kami harus masuk, kalau mau menghancurkan ritual pesugihan yang mereka lakukan," ujar Marwan.

"Kalau untuk perkara masuk ke sana, sih, gampang. Saya selalu dipanggil oleh suami-istri itu untuk membersihkan kamar mereka, kalau mereka akan keluar dari hotel. Besok pagi kalau saya masuk ke sana lagi, biar saya fotokan pakai ponsel seluruh isi kamarnya. Biar Pak Marwan dan teman Bapak ini aman, enggak terlihat di CCTV. Gimana, Pak Marwan?" tawar Cecep.

Marwan dan Didin pun saling melirik sekilas. Keduanya jelas takkan menolak tawaran Cecep, karena tahu bahwa itu adalah jalan satu-satunya yang bisa mereka dapatkan agar bisa melihat isi kamar Bagja dan Rusna.

"Oke, Pak Cecep. Saya setuju. Tapi ingat, Pak Cecep harus hati-hati," pinta Marwan.

Sebungkus keripik kentang berukuran besar berpindah-pindah tangan sejak tadi. Terkadang Arif yang memegangnya dan terkadang Aji juga ikut memegangnya, jika sadar bahwa keripik kentang yang mereka ambil beberapa keping sudah habis. Tatap mata kedua pria itu tak pernah lepas dari rumah milik Bagja. Meski sudah sore, para buruh bangunan belum juga terlihat akan selesai bekerja. Mereka tampak sedang dikejar untuk menyelesaikan pembangunan rumah itu secepat mungkin. Padahal jika diperhatikan, rumah itu kelihatannya memang sudah akan rampung tanpa perlu memaksa para buruh bangunan bekerja lebih keras.

"Itu mandor yang kemarin sok sibuk pas disuruh telepon ambulans, kayaknya aktif banget hari ini. Padahal kemarin kelihatannya dia lebih hobi bersantai, waktu ada buruh bangunan yang jatuh dan terluka," sebal Arif.

"Maklum. Dia sengaja bersantai karena memang disuruh sama Bibi Rusna dan Paman Bagja. Saking kepinginnya mereka mendapat tumbal secara instan, mereka sengaja menunda-nunda memanggil ambulans biar korban enggak sempat diberi pertolongan," balas Aji, yang kemudian kembali mengunyah keripik kentang.

Arif pun menatap ke arah Aji, saat ingat pada buruh bangunan yang kemarin terjatuh.

"Kamu sudah dengar kabar soal buruh bangunan itu? Apakah ada desas-desus yang beredar mengenai kondisinya?" tanya Arif, ingin tahu.

"Septi sudah menelepon perawat yang kemarin datang bersama ambulans. Perawat itu mengabarkan pada Septi, bahwa buruh bangunan itu selamat meski kepalanya mengalami cidera cukup serius. Sekarang dia sedang dalam tahap pemulihan, setelah cidera di kepalanya ditangani oleh Dokter ahli," jawab Aji.

"Alhamdulillah," lirih Arif, merasa lega.

Pocong-pocong pesugihan yang tengah Aji awasi terlihat semakin banyak di bagian halaman samping rumah itu. Mandor yang tadi mereka lihat terus berada di bagian halaman depan kini pindah ke halaman belakang. Pada saat itulah Aji baru menyadari, bahwa sudah ada satu tampah berisi sesajen baru yang diletakkan di halaman belakang rumah milik Bagja. Hal itu membuatnya segera mengeluarkan ponsel dari saku celana dan membuat Arif sedikit kaget.

"Kenapa, Ji? Ada apa?"

"Itu, Rif. Paman Bagja dan Bibi Rusna ternyata sudah menyimpan sesajen yang baru di belakang rumah mereka. Aku enggak menyadari itu dari tadi dan cuma fokus mengawasi keberadaan pocong-pocong pesugihan di halaman samping," jawab Aji.

"Memangnya kamu harus melapor sama Ayahmu, kalau sampai mereka kembali menyimpan sesajen yang baru?"

"Iya, Rif. Harus. Malah seharusnya dari tadi aku melapor, andai saja aku sadar kalau mereka sudah menyimpan sesajen yang baru."

Tatapan Arif pun tertuju pada tampah berisi sesajen yang sedang diawasi oleh mandor. Arif juga baru menyadari soal keberadaan sesajen itu, karena si mandor ada di dekatnya. Andai si mandor tidak mendekat ke sana, ia pun juga tidak akan menyadari bahwa ada sesajen yang diletakkan di bagian belakang rumah milik Bagja.

"Untuk apa sesajen itu ditaruh di sana, Ji?"

"Untuk persembahan pada Iblis, sebelum mereka menumbalkan seseorang. Tanpa sesajen itu, bisa jadi tumbal yang mereka berikan tidak akan diterima."

Arif pun hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, setelah mendengar penjelasan Aji mengenai fungsi sesajen yang sedang ia perhatikan. Ia benar-benar tidak habis pikir, tentang betapa dangkalnya pikiran Bagja dan Rusna hanya demi bisa cepat kaya-raya.

"Ada-ada saja kelakuan manusia," lirih Arif, lalu kembali mengunyah keripik kentang.

* * *

SAMPAI JUMPA BESOK 🥰

SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA
(bagi yang menjalankan 🥰🙏🏻)

Pocong PesugihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang